Senin, Mei 13, 2024
Google search engine
BerandaVIEWSOpiniMartin Luther dan Alkitab

Martin Luther dan Alkitab

oleh: Denni H.R. Pinontoan*

Tanggal 31 Oktober 1517, Martin Luther menyatakan protesnya kepada kepausan dengan menulis dan menyatakan kepada publik 95 dalil. Kemana dan apa yang dilakukan oleh Luther ketika dia dinyatakan sebagai musuh gereja?

Luther tinggal di Kastil Wartburg. Di sini dia bekerja keras menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke dialek Jerman Saxony. Ketika kembali ke Wittenberg dia segera mencetak hasil terjemahannya itu. Sebanyak 3000 eksemplar dicetak dan segera menyusul lebih banyak.

Luther menggunakan teknologi termutakhir waktu itu untuk misinya: mesin cetak. Tahun 1450-an sebelumnya, Johannes Guttenberg, seorang ahli logam dari Mainz berhasil mendesain teknologi mesin cetak yang lebih canggih. Mesin cetak desainnya itu juga dipakai untuk mencetak Alkitab, dan konon termasuk surat indulgensia yang dikecam oleh Luther itu.

Namun, Alkitab yang dicetak oleh Luther adalah sesuatu yang sangat berbeda: Alkitab berbahasa Jerman, khusus dialek Saxony. Revolusioner. Sebab, dengan adanya Alkitab terjemahan dalam dialek Saxony maka orang-orang Jerman dari berbagai lapisan dapat membaca langsung Alkitab. Berabad-abad sebelumnya mereka hanya mendengar doktrin dari kepausan, bukan “suara Tuhan” melalui tulisan.

Terjemahan Luther ke dalam dialek Saxony itu adalah terjemahan kedua dalam sejarah penerjemahan Alkitab dari bahasa Ibrani dan Yunani. Terjemahan pertama yang sudah lama sekali adalah Vulgata (terjemahan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-4). Berarti pula selama berabad-abad lamanya kebudayaan Jerman berada dalam dominasi kebudayaan Latin.

Sedikit banyak, gerakan reformasi Luther yang bagian dari itu adalah tentang literasi, yaitu penerjemahan Kitab sebagai sumber untuk banyak hal ke dalam dialek bahasa umum telah memberi sumbangan kebangkitan nasionalisme Jerman. Selama ini, Roma adalah pusat dari kekuasaan melalui kerjasama yang sempurna antara agama dan politik.

Dalam Kata Pengantar untuk tafsir Mazmur 119 , Luther menulis: “Pengabaian Kitab Suci, bahkan oleh para pemimpin spiritual, adalah salah satu kejahatan terbesar di dunia. Segala sesuatu yang lain, seni atau sastra, dikejar dan dipraktikkan siang dan malam, dan tidak ada akhir kerja dan usaha; tetapi Kitab Suci diabaikan seolah-olah tidak diperlukan”.

Luther dengan yakin melanjutkan: “Tetapi kata-katanya, seperti yang dipikirkan beberapa orang, bukan sekadar sastra; itu adalah kata-kata kehidupan, yang dimaksudkan bukan untuk spekulasi dan khayalan tetapi untuk kehidupan dan tindakan…”

Waktu itu tentu Luther berbicara sebagai orang Kristen Jerman. Namun, beberapa abad kemudian, Kekristenan dan arti Alkitab telah berkembang luas menjadi “monisme moral” Kristen Barat. Bagaimanapun, kekristenan tidak segera menjadi universal dalam arti sebagai sistem nilai. Kekristenan adalah Barat, dan Alkitab lalu dipakai sebagai alat untuk menyatakan superioritas.

Pada tahun 1814, di Belanda berdiri Nederlands Biblegenooschap (NBG). Pada tahun 1804 sebelumnya di Inggris telah berdiri British and Foreign Bible Societies (BFBS). NBG bekerja menyebarluaskan Alkitab, dan juga melakukan penerjemahan.

Di Hindia Belanda, termasuk di Minahasa dan beberapa wilayah misi lainnya NBG mengirim ahli-ahli bahasa untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa setempat. Itulah sehingga Alkitab terjemahan ke dalam bahasa Melayu yang dikerjakan oleh M. Leijdecker pada abad ke-18 dicetak ulang NBG pada abad ke-19. Alkitab dalam bahasa Jawa diterbitkan pada tahun 1854. Di Minahasa terjemahan kitab-kitab tertentu ke dalam bahasa Tontemboan, Tombulu juga digiatkan. Awal abad ke-20 barulah terbit semacam penceritaan kembali seluruh kitab ke dalam bahasa Tontemboan.

Pengurus NBG adalah para ahli bahasa. Keyakinan NBG bahwa melalui penerjemahan Alkitab maka peradaban dunia akan semakin maju. Bangsa-bangsa yang menurut mereka belum beradab, dengan Alkitab dapat dibuat menjadi maju dan beradab. Tentu yang mereka maksudkan kemajuan peradaban menurut Kristen Eropa.

Luther mungkin tidak membayangkan sejauh itu. Seperti juga dia tidak membayangkan bahwa dari kerja penerjemahan Alkitabnya itu akan mengubah peradaban Jerman dan Eropa pada umumnya. Luther sebenarnya lebih memusatkan perhatian pada situasi kekristenan hingga masanya yang tidak lagi seperti keyakinannya secara spiritual maupun intelektual. Dia berhadapan dengan gereja yang korup dan penuh manipulasi dengan menjadikan tradisi sebagai legitimasi kekuasaan elit. Lalu, semua seolah benar adanya karena dikukuhkan dengan tafsir terhadap Alkitab yang tidak berbicara tentang iman kepada Allah dan anugerah keselamatan yang juga berpusat pada Allah.

Reformasi 31 Oktober 1517 lalu menjadi gerakan yang luas, tidak hanya keagamaan, tapi juga sosial dan politik, dan termasuk ekonomi. Artinya reformasi adalah juga gerakan kebudayaan karena ia mencakup kesadaran religius, spiritual lalu mempengaruhi intelektualitas. Pada hal ini, gerakan Reformasi Luther telah melampaui apa yang dipikirkan oleh Luther. Sebab, peristiwa 31 Oktober 1517 rupanya telah digerakkan oleh suatu daya.

Daya itu melampaui kemampuan manusia. Daya itulah yang terus menggerakkan orang-orang yang menemukan kebenaran ketika membaca Alkitab. Ia diterjemahkan ke dalam banyak bahasa bangsa-bangsa. Dibaca oleh orang-orang, laki-laki maupun perempuan. Dibaca untuk menemukan kebenaran melawan otoriterisme. Ditafsir dan dipahami kehendak Allah untuk praksis pembebasan dan kemerdekaan dari penjajahan. Alkitab, tentu bagi mereka yang mempercayainya, didialogkan dengan zaman dan macam-macam ideologi.

Artinya, Alkitab telah berfungsi untuk menggerakkan kehidupan. Di dalam Alkitab terdapat daya hidup dari Allah. Tapi celakanya, Alkitab juga sering dipakai sebagai alat legitimasi untuk memusuhi dan memberangus yang lain. Problem gereja menjadi alat kekuasaan dengan mengatasnamakan Alkitab selalu membayangi-bayangi kehidupan Kristiani dan peradaban pada umumnya. Alkitab kadangkala dipakai sebagai kitab hukum yang memvonis orang ke neraka.

Maka, itulah sehingga reformasi tidak sudah selesai pada tanggal 31 Oktober 1517 itu. Gereja yang terus membaharui tidak pula harus dengan cara-cara paksa. Gereja yang menggerakkan kehidupan juga selalu dilakukan dengan cara-cara kreatif dan konstruktif. Membaca Alkitab bagi Luther juga bukan suatu kegiatan intelektual semata, tapi terutama sebagai suatu perenungan spiritual dalam keseharian. Dia terus merenungi kebenaran Firman dalam waktu senggang.

Membaca Alkitab bagi Luther rupanya adalah aktivitas bercakap-cakap dengan Allah secara spiritual. Itulah sehingga, sola scriptura bagi Luther adalah keyakinan pada upaya untuk terus berusaha memahami kehendak Allah dari Alkitab. Kebenaran di dalamnya diperoleh dari dialog terus menerus. Ini tentu berbeda dengan doktrin konservatif Kristen, kebenaran adalah yang tertulis (tekstual) bukan pengertian dan pengetahuan yang diperoleh dari percakapan secara kritis dan konstruktif (kontekstual). Juga berbeda dengan para liberal Kristen yang memahami Alkitab sebagai tekstual sejarah yang harus diuji kebenaranya secara rasionalistis.

Melalui pemahaman Alkitab oleh Luther ini maka manusia kembali dihadirkan sebagai orang percaya yang terus mencari pengertian. Tidak ada pengetahuan apalagi doktrin yang mutlak dalam proses manusiawi ini, sebab hanya Allah yang mutlak. Percakapan atau dialog dengan Alkitab mesti terus dilakukan dalam kehidupan bergereja yang kemudian pengertian dan pengetahuan yang diperoleh darinya dikonstruksi menjadi praksis untuk mengembangkan dan melestarikan kehidupan.

Demikianlah sehingga seharusnya sejarah Reformasi untuk hari ini tidak untuk suatu pembenaran dari kehendak sendiri atas gereja atau kehidupan. Sebab, pertama-tama reformasi Luther, dkk mengingatkan kita tentang kemutlakan Allah dalam kerapuhan manusia dan segala yang dibuatnya. Bagi Luther, memang pertama-tama hanya Alkitab, tapi bukan tentang tekstualnya melainkan Kebenaran Allah. Luther tentu tidak bermaksud bahwa dengan “sola scriptura” maka cara hidup harus kembali pada zaman Alkitab ditulis. “Sola scriptura” berarti pula hanya Allah yang absolut, yang lainnya adalah relatif yang perlu terus dibaharui.

“Kita harus mengkhotbahkan Firman, tetapi hasilnya harus diserahkan semata-mata pada keridhaan Tuhan…” kata Luther.

Demikianlah, pun termasuk narasi sejarah Reformasi itu sendiri adalah relatif secara ruang dan waktu. Artinya bagi gereja masa kini bukan terutama 95 dalilnya secara material, bukan peristiwa 31 Oktober secara historis, bukanlah pula tokoh-tokohnya secara personal. Reformasi bermakna bagi gereja masa kini karena peristiwa itu sudah melampaui hari kejadiannya, dan gagasan yang sudah melampaui para tokohnya. Semangatnya telah hadir dan mengada di sini dan kini untuk pembaharuan tanpa titik. Dengan cara bagaimana itu dilanjutkan, tentu dengan cara orang-orang di sini dan kini yang membaca Alkitab dengan cara mereka pula. (Kuranga, 31 Oktober 2021, Hari Reformasi)

*Alumni Sekolah Pengelolaan Keberagaman (SPK IV) CRCS UGM 2014

*Keterangan gambar: Martin and Katie Luther with their children and a visiting student, singing together. Print from The Miriam and Ira D. Wallach Division of Arts, Prints, and Photographs of the New York Public Library.

**Sumber gambar dan kutipan-kutipan dalam teks serta informasi-informasi sejarah mengenai Luther dan kegiatannya menerjemahkan Alkitab dari https://hbu.edu/museums/dunham-bible-museum/tour-of-the-museum/past-exhibits/martin-luther-and-the-scriptures/

Sumber : Laman Facebook Denni Pinontoan – 31 Oktober 2021

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments