Minggu, April 28, 2024
Google search engine
BerandaKEBUDAYAANFilmNatal yang Sekularitas

Natal yang Sekularitas

Upaya menafsir dan cara merekonstruksi serta menghadirkan makna Natal Yesus Kristus, pada banyak hal justru terjadi secara kultural. Ini bukan sesuatu yang baru. Tanggal 25 Desember yang dirayakan sebagai kelahiran Yesus Kristus, sejak awalnya memang berasal dari unsur budaya tertentu.

Lalu, menyusul setelah itu tradisi Sinterklaas, pohon Natal, kue Natal, pesta keluarga dan komunitas di sekitar hari Natal, semuanya adalah produk kultural. Jadi, perayaan Natal Yesus Kristus, tentang yang rohani itu lebih dominan adalah aspek kulturalnya ketimbang dogma atau ajaran resmi gereja yang bersumber dari Alkitab.

Tadi malam saya menonton film berjudul “Last Christmas” yang berkisah tentang seorang perempuan muda bernama Kate Andrich (Emilia Clarke) dari keluarga Yugoslavia yang bermigrasi ke London, Inggris karena perang. Di Indonesia, film ini dirilis November tahun 2019.

Kehidupan Kate sangatlah kacau di tengah kota London. Ia diusir dari apartemennya. Ia bekerja sebagai penjaga toko pernak-pernik Natal milik seorang perempuan Asia. Ibu Kate mengalami trauma berkepanjangan dengan perang.

Dan lagi, ia sangat rentan oleh karena penyakit yang pernah dideritanya. Ia mesti menjalani transplantasi jantung hingga bisa sembuh.

Suatu hari Kate bertemu dengan seorang pria misterius, Tom Webster (Henry Golding). Seorang yang mengubah hidupnya. Tapi, Tom adalah sosok “ada dan tiada”, mungkin penulis film ini berpikir tentang Malaikat atau siapa, entahlah.

Tentang detilnya film ini, baiknya anda menontonnya sendiri. Tapi, pesan yang saya peroleh adalah bagaimana makna Natal Yesus Kristus, yaitu cinta, rekonsiliasi, solidaritas serta perdamaian dihadirkan kembali benar-benar secara sekuler. Hanya adegan pembuka di gedung gereja yang menampilkan unsur rohani Kristen dalam film itu. Selebihnya adalah tentang kehidupan sekuler di London pada bulan Desember.

Iya, memang ada yang umum berlaku dalam perayaan Natal sebagai akibat dari globalisasi kekristenan. Misalnya pohon Natal, Sinterklaas dan sudah tentu tanggal 25 Desember. Namun, selebihnya adalah adaptasi dan kontekstualisasi dengan budaya lokal. Di Minahasa misalnya, keramaian dan kenikmatan Natal terjadi sepanjang bulan Desember yang berlanjut hingga bulan Januari. Mengapa? Inilah Natal menurut budaya Minahasa, yang di zaman leluhurnya ritual-ritual agama adalah pesta komunitas.

Artinya, ritual religi Minahasa di masa leluhur itu telah dikonstruksi dan dihadirkan kembali dalam nuansa kekristenan. Lalu, perayaan Natal sebagai ritual Kristen telah ditafsir, dikonstruksi dan dihadirkan kembali oleh orang-orang Kristen Minahasa dengan caranya. Inilah juga yang berlaku pada perayaan Natal di London seperti yang tergambar dalam film Last Christmas tersebut, juga di banyak negara dengan budaya yang beragam.

Apakah esensi makna teologis perayaan Natal menjadi hilang karena sekularisasi atau kontekstualisasi dengan budaya setempat? Ini tidak langsung dapat dijawab, sebelum menjawab pertanyaan ini: “Adakah yang disebut budaya Kristen”?

Agama Kristen, yaitu ajarannya dan teologinya memang fakta mempengaruhi budaya di mana kekristenan itu hadir. Namun, oleh karena Kristen Eropa yang berarti saling pengaruh antara ajaran Kristen dengan budaya Eropa, maka budaya Minahasa memang dipengaruhi oleh Kristen Eropa tapi tidak menghilangkan seluruhnya budaya setempat. Pun, jika kembali ke sejarah, bukankah apa yang disebut agama Kristen awalnya adalah suatu fenomena keagamaan yang dipengaruhi oleh budaya Yahudi dan juga Yunani?

Jadi, jika demikian kekristenan itu boleh dikatakan sistem nilai dan praktek keagamaan yang terbuka pada budaya dan hal-hal sekuler dalam peradaban. Pada ruang budaya dan kehidupan sekuler justru kekristenan menemukan wujud ekspresinya. Dan, mesti juga diterima bahwa nilai-nilain budaya memberi sumbangan konstruksi makna bagi kekristenan.

Jadi, adalah suatu keniscayaan jika kehadiran agama Kristen dalam wujud sistem ajaran, teologi atau institusi mesti berbentuk ekspresi-ekspresi kultural atau bahkan sekuler. Contoh film Last Christmas tersebut, yang bahkan di dalamnya menghadirkan narasi kehidupan lesbian dalam tokoh Marta, kakak Kate yang bersama pasangannya pada hari Natal yang sungguh bermakna itu duduk semeja dengan keluarga imigran ini.

Jika begitu Natal Kristus adalah tentang dunia atau surga?

Kehidupan yang sesungguhnya dalam narasi Natal adalah dialog antara kehidupan sekuler dan supranatural (dunia dan surga). Itulah sehingga kekristenan tak perlu berjuang secara keras untuk suatu kerajaan surga yang harus berdiri di tengah-tengah kehidupa sekuler secara fisik. Atau, tidak mempermasalakan secara serius nama Tuhan Minahasa, “Opo Kasuruan” disebut dalam ibadah-ibadah di gereja.

Dan, bukankah memang begitu makna teologis Natal: Allah yang telah menjadi manusia di dalam Yesus untuk dunia? Itulah Allah yang telah mengada dalam kehidupan sekuler agar supaya kehidupan di dunia ini dapat bermakna cinta.

Seperti Tom, pria misterius dalam film Last Christmas yang telah mendonorkan jantung bagi Kate agar ia dapat terus menjalani kehidupan di dunia, dan memberi makna cinta terhadapnya.

“Last Christmas, I gave you my heart
But the very next day, you gave it away (you gave it away)
This year, to save me from tears
I’ll give it to someone special (special)”

Ya, film Last Christmas itu katanya terinspirasi dari lagu yang berjudul sama. (dennipinontoan, 7 Desember 2021)

ditulis oleh Denni Pinontoan pada laman facebooknya tanggal 7 Desember 2021

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments