Sabtu, April 27, 2024
Google search engine
BerandaPOLHUKAMPolitikJaya Suprana, ‘Presiden Kelirumologi’: “Sekarang ini bukan Demokrasi tapi Democrazy

Jaya Suprana, ‘Presiden Kelirumologi’: “Sekarang ini bukan Demokrasi tapi Democrazy

Yogyakarta–TAKLALE.COM, Menanggapi undangan panitia dari FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) yang mengadakan diskusi ‘Mengintip Demokrasi Lewat Lubang Humor’ (7/12/2023), Jaya Suprana mengajukan kritik. Menutur Pendiri Pusat Studi Kelirumologi ini, judul yang diskusi yang diberikan panitia harus diganti.

“Apa yang terjadi di panggung politik Indonesia masa ini kurang layak disebut sebagai demokrasi, namun lebih layak disebut sebagai democrazy,” kata Jaya Suprana, lalu ia melanjutkan, “apa yang terjadi sekarang ini sama sekali tidak lucu untuk disebut sebagai humor, tetapi lebih layak disebut sebagai horor sehingga sebagai Pendiri Pusat Kajian Humorologi saya protes keras, karena judulnya mencemarkan citra demokrasi dan citra humor, sehiggga judulnya harus diganti menjad Mengintip Democrazy lewat lubang horor.”
Selain Jaya Suprana, Direktur MURI (Museum Rekor Indonesia), para pembicara lainnya adalah komedian Anang Batas, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UAJY, Ranggabumi Nuswantoro, dan dosen Program Studi Sosiologi UAJY, Lucinda, dan Dominggus Elcid Li, peneliti Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC).

Lucinda, dosen sosiologi Univ. Atma Jaya Yogyakarta mengingat bahwa fenomena munculnya humor yang berkembang di Tengah masyarakat yang kerap muncul menjelang reformasi, mengingatkannya pada berbagai humor yang muncul di seputar Gus Dur atau era menjelang reformasi.
Kondisi ini pula yang membuat di tahun 1996 para aktivis mahasiswa FISIP UAJY kala itu mengadakan Seminar Mengintip Demokrasi Lewat Lubang Humor. Para pembicaranya saat ini yang masih ada adalah Jaya Suprna, sedang para pembicara lain sepeti Emmanuel Subangun, Wimar Witoelar, Darmanto Jatman, dan G.M.Sudarta semuanya sudah berpulang.

Yohanes Widodo yang menjadi ketua Senat Mahasiswa FISIP UAJY di tahun 1996 yang merupakan penggagas diskusi kalau itu mengatakan bahwa kondisi humor yang muncul saat ini agak berbeda. Saat itu menurutnya humor muncul sebagai fenomena kritis terhadap kekuasaan. “Humor saat ini terasa lebih getir,” katanya.
Anang Batas, MC kondang yang juga raja plesetan juga menampilkan berbagai gambar lucu seputar Pemilu. Menurut komedian Anang Batas, humor itu serius, menyenangkan tapi juga membahayakan. Hal ini tergantung pada materi apa, siapa yang menyampaikan, tepat tempat, dan tepat audience.

“Humor bisa jadi nilai plus tapi bisa jadi minus ketika kita bersuara bukan di ranah atau di tempat yang tepat,” ujar Anang.
“Humor zaman dulu tidak pernah sevulgar sekarang, mencubit tak bikin sakit. Tapi komedi sekarang, sudah vulgar tapi tidak terasa,” tambah Anang.

Terkait plesetan, Anang menjelaskan bahwa jenis humor ini sudah ada sejak abad 8 dan mendapat ruang yang penting di kerajaan. Ketika itu, abdi dalem raja diminta untuk menghibur rajanya. Abdi dalem boleh mengkritik rajanya lewat humor.
Sebagai komedian Anang mengaku ia juga berhati-hati dalam menyampaikan humor. Sebagai comedian ia juga tak lepas dari tekanan, dan kadang tekanan yang datang membuatnya perut mules dan harus ke belakang berkali-kali.
Diskusi yang mengkombinasikan nada humor dan horor yang sedang melanda proses demokratisasi Indonesia ini disambut dengan bervariasi.

Satir sebagai tautology displacement
Sedangkan pembicara lain, Elcid Li, peneliti IRGSC mengatakan bahwa trend komik satir yang mengulas soal Gibran-Prabowi-Jokowi yang beredar di kalangan pendukung Ganjar sebenarnya merugikan Ganjar-Mahfud.
“Karena itu merupakan strategi reversed social engineering, dengan menampilkan Gibran secara terus menerus meskipun nadanya negatif, membuat ruang untuk mengekspos Ganjar menjadi mengecil, posisi aman yang ditunjukkan oleh paslon Amin jauh lebih pas karena hanya menonjolkan program mereka,” katanya.

Menurut Elcid Li humor dalam bentuk komik pun bisa dilihat sebagai strategi tim Prabowo untuk menyasar pemilih muda. Dengan memanfaatkan keunggulan big data yang mereka punyai, dengan memanfaatkan analisa computational politics, mereka bisa menentukan strategi sesuai dengan selera pasar. Menurutnya hal seperti pelanggaran HAM yang lekat dengan figur Prabowo tertutupi dengan model kampanye menggunakan figur komik.

Dengan metode penghitungan kuantifikasi perilaku pemilih dan kekuatan finansial, amat mudah siapa pun yang memahami algoritma internet memanipulasi selera populer, dan datanya pun bersifat real time, dan tak lagi bergantung pada hasil survey.
Hal dominan yang sekarang terjadi adalah praktik populisme politik populer berbasis pemetaan big data para pemilih membuat manuver politik semakin bisa dihitung. Ini membuat model pengerahan massa cenderung tak lagi terlihat, selain hanya hadir sebagai prasyarat produk visual kampanye, tetapi tidak lagi menjadi penentu dalam pengambil Keputusan para pemilih.

Rekayasa Sosial
Perang di jagat maya ini berhasil membuat seluruh kritik dibungkam. Menurut Elcid Li, salah satu kekeliruan utama yang biasa diterima secara normatif adalah ‘anak-anak muda sekarang seleranya lain’. Persoalannya, orang tidak melihat bagaimana fenomena ini terbentuk. Misalnya, dengan membuka rekayasa sosial (social engineering) yang dimungkinkan dengan politik komputasi (computational politics) yang bisa memanipulasi hingga ke tingkat individual.
“Jangan heran ketika perdebatan yang sifatnya substantif di level kenegaraan, ketika turun ke level bawah, jatuhnya hanya soal kibasan tangan, isu rumah tangga, dan lain-lain,” ujar Elcid.

Orang yang memiliki pengetahuan tentang orang lain bisa mendesain dan memanipulasi kawanan lain karena pengetahuan yang tidak berimbang (epistemic asymmetry).
“Bagi saya, bukan lagi soal perilaku Gen Z sebagai pemilih terbesar, tetapi soal computational logic yang dijalankan secara efektif dalam memanipulasi perilaku pemilih. Tak hanya computational politics, dengan kombinasi kekuasaan presiden yang mendekati absolut, membuat social engineering menjadi sempurna,” tambahnya.
“Siapa pun yang mampu secara riil memetakan sampai ke level bawah, penguasaan terhadap data, penguasaan berbagai instrumen kekuasaan, sumberdaya yang sangat kuat, tidak usah berbuat apa pun, dia akan menang,” ujar Elcid.

Menurut Elcid, dengan kondisi demikian, kelihatan sekali saat ini posisi Prabowo-Gibran di atas angin karena epistemic asymmetry, juga karena technocratic dominance ala Jokowi. Target dari tim Prabowo, dengan modus teleological replacement adalah dengan mendesain atau mengatur agar Gibran menjadi sasaran target dari pendukung Ganjar.

Antitesis pada Pemilu 2024
Mengutip buku “Kuasa Rakyat”, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta Rangggabumi Nuswantoro menjelaskan tiga pertimbangan seorang pemilih ketika menentukan pilihannya.
Pertama, pertimbangan sosiologis, khususnya berbasis agama. Kedua, seiring berjalannya waktu beralih ke pertimbangan psikologis, bagaimana calon memberikan rasa aman, rasa nyaman. Ketiga, yang ideal, adalah pertimbangan rasional.
Ketika perilaku pemilih bergerak maju, ujar Rangga, semakin hari kita melihat kenyataan yang berbeda. Pemilu 2014, seperti ada angin segar.

“Dari masa konsolidasi demokrasi, kita melihat sebuah harapan ketika pemimpin seperti Jokowi lahir dari bawah. Masyarakat kita mulai melihat aspek psikologis dan melihat sesuatu yang lebih substansial,” ujar Ranggabumi.
Yang menarik, kata Rangga, pada 2024, ada antitesis yang muncul. Pada 2016, saat pilkada Jakarta, kita berpikir bahwa masyarakat Indonesia makin rasional. Tahun 2024 tampaknya kita masih punya pekerjaan rumah bagaimana sebagai masyarakat kita bisa semakin rasional.

Humor untuk Mengingat Horor
Menurut Rangga, rasionalitas politik kita seakan-akan dijebak pada kondisi yang akhirnya kita dituntut untuk mempertahankan apa yang disebut zona nyaman.
“Selama sembilan tahun kita diberi narasi akan menjadi bangsa besar, bonus demografi, yang membuat masyarakat melihat kondisi ini adalah kondisi yang nyaman. Ada sebuah ketakutan jangan-jangan kita tidak bisa melanjutkan situasi yang baik,” kata Rangga.

‘Dibalut dengan politik riang gembira, humor tidak lagi dilihat sebagai kritik, tapi menjadi meninabobokan rasionalitas. Kita perlu melihat, pada Pemilu 2024 sebanyak 60 persen diikuti usia di bawah 40 tahun ke bawah atau generasi yang lahir pasca 1998. Mereka tumbuh dengan narasi yang sudah lepas dari horror 1998 dan Indonesia akan menjadi negara besar di tahun Indonesia emas.

“Saat ini ada kecenderungan untuk lebih menyukai pendekatan yang menawarkan kesenangan, membuat kita happy. Ini banyak dimainkan oleh media. Artinya, di dalam narasi yang dimunculkan menjauhkan politik dari hal-hal yang sifatnya substansial,” ujar Rangga.

Kita perlu memunculkan narasi tandingan yang mengajak orang muda untuk berpikir lebih substantif karena arena itu kini hanya diisi dengan narasi yang meninabobokan.
Sambil bercanda, Rangga mengajak para komedian untuk turun gunung karena humor saat ini justru dipakai untuk meninabobokan daya kritis publik. “Seolah kalau ada yang mengkritik, kita dianggap menjadi pihak yang mengingingkan politik tidak damai,” tambahnya.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments