oleh: Matheos Victor Messakh
Diposkan pada untuk Satutimor.com
Sekitar bulan Oktober 1746 telah terjadi sebuah peristiwa di Namodale, Termanu yang dalam dokumen-dokumen VOC lebih dikenal dengan Peristiwa Meulenbeek. Peristiwa ini dikenang kemudian dalam tuturan lisan orang Rote sebagai perisitiwa terbunuhnya Raja nusak Thie, Foe Mbura yang adalah Raja Rote yang dibaptiskan dengan nama Benjamin Messakh pada tahun 1729. [i]
Pemicu dari peristiwa ini adalah tour rutin opperhoofd VOC Jan Anthony Meulenbeek di berbagai nusak di pulau itu pada bulan itu. Menurut Hans Hagerdal (Hagerdal, 2012), peristiwa ini layak diselidiki secara lebih mendetail karena dua hal: pertama, karena peristiwa ini masih dipelihara secara baik dalam tradisi lisan Rote dan itu menunjukkan bahwa garis-garis konflik tradisional dan Eropa bisa menjadi kabur.
Meulenbeek yang baru bertugas pada tahun 1744 menggantikan opperhoofd Christiaan Fredrik Brandenburg (bertugas Oktober 1740-1744) ini kurang diplomatis dan popular jika dinilai dari dokumen-dokumen VOC pada waktu itu.[ii] Dengan menggunakan tipuan ia menangkap tiga pemimpin pemberontak dari nusak Landu yang dirundung konflik, dan mengirimkan mereka ke Termanu, sekutu dan andalan Belanda pada waktu itu.
Ketika para tawanan ini melarikan diri, Meulenbeek marah dan mencambuk raja Termanu, Fola Sinlae. Ia mengancam akan membakar Termanu jika penduduk setempat tidak mengembalikan para tahanan itu. Meulenbeek, dengan 36 orang Belanda dan Mardijkers memerintahkan para petugas artileri untuk mengambil meriam dari kapal dan membawanya ke dalam pagar batu VOC di Termanu. Dia juga memerintahkan Fola Sinlae untuk mencari para buronan, meskipun Fola Sinlae telah memperingatkan bahwa jika ia tidak ada untuk menenangkan amarah para penduduk bisa terjadi masalah.
Bersama dengan Meulenbeek waktu itu adalah Benjamin Messak, raja Kristen Thie, yang bermusuhan dengan Termanu dan mungkin akan dengan senang hati melihat Termanu terbakar. Di Rote ada kebencian yang meluas terhadap Termanu, yang diduga menggunakan kedekatannya dengan VOC untuk menekan nusak lainnya.
Hari berikutnya opperhoofd melanjutkan untuk menangkap dua pemimpin pemberontak itu. Ia kemudian masuk ke rumah seorang perempuan bangsawan, janda dari mantan manek, Ndaomanu, yang konon memiliki hiasan dada emas. Dia menelanjangi perempuan itu dan mempertontonkannya di depan orang banyak. Janda yang sangat dihormati ini lalu bertanya kepada orang-orang banyak apakah mereka masih mentolerir perilaku ini.
Manek dari nusak Dengka, yang mendampingi Meulenbeek, menyadari bahwa ini hanya akan menyebabkan lebih banyak masalah dan lalu berusaha untuk menenangkan orang Eropa keras kepala ini. Orang-orang mulai kerumunan di dekat mereka, dan beberapa orang berteriak mengutuk Meulenbeek. Seorang kopral menghunus pedangnya dan mulai mengarahkannya ke kerumunan itu. Meulenbeek sendiri mengokang pistolnya, namun manek dari Dengka menghantam lengannya sehingga tembakannya melayang ke udara. Ketika para budak Meulenbeek yang melihat hal ini mereka juga menembak ke kerumunan massa, tetapi waktu itu, banyak orang Termanu sudah memiliki senapan, dan mereka balas menembak. Opperhoofd dan seluruh anak buahnya mundur ke arah pagar batu. Laporan resmi tentang insiden ini layak untuk dikutip secara penuh:
Istri opperhoofd memberi perintah kepada penjaga untuk melepaskan dua temukung yang telah ditangkap. Dia meminta mereka untuk tidak marah tentang apa yang telah terjadi karena suaminya gila, dan meminta mereka (kedua temukung itu) untuk memastikan bahwa orang-orang kami [Belanda] tidak diapa-apakan. Keduanya menjanjikan hal itu. Temukungdari Oenale masih ragu-ragu untuk pergi tanpa persetujuan dari sang opperhoofd. Dalam situasi ini, semua mengambil untuk minum sampai benar-benar mabuk. Sepanjang sore itu semua mereka (selain Opperhoofd) tergeletak di sana-sini di tanah, meskipun raja Thie saat itu telah tertembak mati di dalam pagar batu tersebut.
Menjelang malam opperhoofd mengutus bendaharawan Gonst untuk keluar melihat apa yang mungkin bisa dilakukan. Segera setelah ia keluar ia ditangkap, dilucuti dan diikat. Meulenbeek kemudian mengibarkan bendera putih dan meminta belas kasihan, menawarkan emas dan budak. Namun para orang Termanu sebaliknya menuntut agar Raja Thie harus diserahkan kepada mereka, dan berjanji akan berdamai dengan mereka [orang Belanda]. Mayat Foe Mbura dilemparkan keluar pagar dan kemudian dicincang-cincang oleh orang Termanu.
Namun, karena [Termanu] tidak puas dengan itu, dan tidak ada tawaran yang diterima, sang opperhoofd melucuti anak buahnya dan mengunci senjata dalam peti. Kemudian mereka bersama-sama mulai minum lagi, sampai dengan malam mereka sekali lagi terjaga dan sadar. Para prajurit dan Mardijkers meminta Meulenbeek untuk mengembalikan senjata mereka sehingga mereka bisa mencoba untuk menerobos kerumunan, sehingga mereka bisa pergi naik kapal lagi. Istrinya memintanya untuk menunjukkan belas kasihan pada dirinya. Jika ia sendiri tidak akan setuju dengan permintaan itu, [maka setidaknya] para laki-laki diizinkan untuk menyelamatkannya dan membawanya ke atas kapal. Namun, Yang Mulia benar-benar menolak untuk menyerahkan senjata. Ia berkata kepada istrinya yang kurang beruntung bahwa di mana ia tinggal, sang istripun harus tetap bersamanya, tanpa mempedulikan air mata dan tangisnya.
Namun ia berjanji bahwa ia akan berdamai dengan orang-orang Termanu keesokkan harinya. Mereka akan diberikan emas sebanyak yang mereka inginkan, dan dengan itu semua masalah akan selesai. Di pagi harinya, Yang Mulia mengambil semua emasnya dan istrinya bahkan mengambil emas beugeltas-nya dan menyerahkannya kepada [kepala] Edon di luar pagar.
[Orang-orang Termanu] berjanji, melalui Edon, bahwa mereka akan berbaikan lagi dan segera mengirimkan air dan beras (yang sangat diperlukan pihak Belanda). Beberapa saat setelah dia menarik diri, orang-orang kita [Belanda] diserang sekali lagi. Saat pagar itu ditembus, beberapa orang tertembak dan terbunuh. Sementara itu, sang opperhoofd, masuk ke dalam rumah, membakar rumah itu (bukan karena takut, kata mereka), sehingga mereka yang tidak terlalu mabuk berdiri dan melarikan diri – selain nyonya Meulenbeek yang tidak pernah keluar dan tinggal menjadi abu. Suaminya berlari keluar seperti orang gila, diserang, berakibat pada beberapa luka [mematikan].
Demikian juga, seluruh rakyat dan raja Lole semua meninggal, selain seorang prajurit, seorang wanita bebas dan tiga orang Mardijkers. Mereka diikat dan disiapkan oleh Edon dan Patola untuk disembelih, dalam rangka memperagakan pemali mereka atau pemujaan satanis untuk menegaskan sumpah yang telah dibuat, untuk menyerahkan diri mereka kepada Portugis dan menjaga agar Compeni Yang Mulia keluar dari Rote selamanya. Para prajurit artileri (yang sementara itu telah kembali dari Thie) ditetapkan [dikutuk] untuk disembelih di depan raja Landu, yang bendaharawan Gonst disembelih di depan raja Bilba, dan sang tentara di depan Ringgou. [Orang Termanu] kemudian mengirimkan utusan kepada para raja ini untuk meminta persetujuan mereka akan hal ini.[iii]
Kemarahan terhadap Belanda kemudian memunculkan sebuah deklarasi penuh hikmat untuk bergabung dengan Portugal, sebuah entitas yang sebelumnya Termanu telah mempunyai sedikit kontak.
Orang Rote mengalami dua penguasa asing yang akan secara langsung saling berlawanan, di mana penolakan terhadap yang satu berarti berarti kepatuhan terhadap yang lainnya. Tak satupun pengobanan manusia yang tekah direncanakan – jika itu bukan hanya merupakan produk dari imajinasi orang Belanda – diperbolehkan oleh Fola Sinlae, dan para survivor yang ketakutan selamat berlayar kembali ke Kupang.