Oleh : Pdt. Frans Nahak
Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia tahun 2023 (World Suicide Prevention Day 2023) yang jatuh pada tanggal 10 September, mengangkat tema “Menciptakan Harapan Melalui Tindakan.”
Kematian karena bunuh diri merupakan kematian tertinggi ketiga di dunia. Berbagai faktor yang membuat seseorang mengakhiri nyawanya. Namun secara teori psikologis, seseorang yang melakukan bunuh diri karena penderitaan yang dialami tidak tertahankan lagi. Karena itu, tekanan pada tema tersebut adalah aksi nyata dalam pencegahan bunuh diri. Caranya adalah mengidentifikasi dan menemani mereka yang mengalami penderitaan yang tidak tertahankan tersebut. Mereka yang mau membunuh diri sebenarnya takut akan kematian namun tidak ada jalan lain selain mengakhiri hidup. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengisolasi diri. Untuk mencegah orang yang hendak membunuh diri yakni menemani mereka sampai mereka pulih dari kondisi yang mereka alami.
Saya tidak mengatakan bahwa Yesus hendak membunuh diri, tetapi saya mengajak kita untuk belajar bahwa jika seseorang mengalami penderitaan maka dibutuhkan orang lain untuk menemani mereka.
Dalam bacaan ini, Yesus sebagai manusia akan mengalami penderitaan yang sangat amat berat sehingga Ia mengajak murid-murid menyendiri ke taman Getsemani.
Dalam perjamuan malam itu, Yudas meninggalkan mereka karena dirasuki oleh Iblis, setelah itu Yesus bersama dengan murid-murid-Nya keluar dari kota Yerusalem dan pergi ke seberang sungai Kidron. Letaknya di sisi Timur bukit Zaitun yang berhadapan dengan Yerusalem. Jarak dari tempat perjamuan malam ke taman Getsemani hanya satu kilo meter. Pada waktu itu banyak orang telah berada di Yerusalem untuk merayakan Paskah. Yesus tahu bahwa Ia akan ditangkap sehingga Ia harus menghindar, selain berdoa, menghindar agar tidak terjadi kekacauan saat Ia ditangkap.
Di situ ada sebuah taman yang disebut taman Getsemani, yakni taman yang ditanami pohon-pohon Zaitun. Nama Getsemani itu berasal dari bahasa Aram yang berarti pengapitan Zaitun, karena di tempat inilah orang memeras buah Zaitun untuk mendapatkan minyak. Salah satu manfaat minyak Zaitun untuk menyembuhkan luka. Beberapa penafsir mengatakan bahwa Yesus memilih tempat itu hendak memberi kesan kepada murid-murid dan orang-orang percaya bahwa Ia akan “diperas” melalui penderitaan untuk menyembuhkan sakit dan luka umat manusia. Ia terluka agar manusia disembuhkan, Ia menderita agar kita memperoleh pembebasan, Ia mati untuk kita diselamatkan.
Sesampai di taman tersebut Ia menyuruh delapan orang murid-Nya duduk menunggu lalu mengajak tiga orang murid, yakni Petrus, Yohanes dan Yakobus untuk berdoa. Mengapa membawa ketiga orang ini? Menurut beberapa penafsir, bahwa Yesus membutuhkan teman dalam kesedihan-Nya. Namun ada penafsir lain yang menghubungkan dengan Yesus dimuliakan di atas bukit (Mar. 9:2-9), di mana mereka melihat keilahian Yesus, namun kini mereka akan melihat sisi kemanusiaan-Nya. Bagi Yakobus dan Yohanes, Yesus hendak menunjukkan bahwa duduk di kemuliaan kelak harus meminum cawan yang akan diminum Yesus. Hal ini berkaitan dengan permintaan Yakobus dan Yohanes untuk kelak mereka duduk di samping Yesus (Mar. 10:35-40). Walaupun dalam permintaan tersebut bernuansa politis.
Tetapi Yesus tidak memperoleh penghiburan dari ketiga murid ini. Mereka juga tidak merasakan perasaan yang dialami oleh Yesus karena mereka tertidur. Petrus yang sangat proaktif yang hendak menolong Yesus tidak dapat menahan kantuknya.
Yesus nampak sangat sedih. Sungguh dasyat apa yang akan terjadi, Ia sangat takut dan gentar, seperti mau mati rasanya (ay. 33-34). Lukas mengatakan bahwa saking takutnya ketika Ia berdoa, peluh-Nya seperti titik darah yang bertetesan ke tanah (Luk. 22:44). Surat Ibrani juga mengatakan bahwa Kristus telah menanggung suatu pergumulan yang luar biasa di dalam pikiran-Nya sehingga Ia mencucurkan darah, bergumul melawan dosa (Ibr. 12:3-4). Dari segi medis, peluh seperti tetesan darah dikenal dengan istilah hematidrosis, di mana seseorang mengalami kecemasan dan atau ketakutan yang sangat amat. Takut yang begitu kuat sehingga menyebabkan pembuluh darah kecil melebar sehingga mengeluarkan keringat seperti darah. Jadi kita bisa membayangkan ketakutan Yesus.
Dalam ketakutan itu Ia berdoa “ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” Tiga kali Yesus menyampaikan doa yang sama. Dalam perikop ini Markus memakai kata kerja berdoa sebanyak empat kali (ay. 32, 35, 38, 39). Ini menjadi indikasi bahwa tema doa memiliki peranan penting.
Yesus menggunakan sapaan “ya Abba” dalam bahasa Aramik, seruan ini menunjukkan betapa erat-Nya hubungan-Nya dengan Allah, tetapi ucapan Abba juga menunjukkan suatu permohonan yang amat sangat dan harus dikabulkan. Hanya tiga kali perkataan Abba tertulis dalam Alkitab (Rom. 8:15; Gal. 4:6).
Kalimat “tidak ada yang mustahil bagi-Mu,” menunjukkan bahwa Yesus mengenal benar Allah Bapa yang mempunyai banyak cara untuk menyelamatkan manusia, walaupun tidak melalui cara ini. Yesus berdoa meminta kepada Bapa-Nya agar cawan ini berlalu dari-Nya, namun doa Yesus tidak dikabulkan oleh Bapa karena Yesus sanggup meminum cawan ini. Mengapa harus melalui jalan ini? Hal ini berhubungan dengan penebusan dalam tradisi perjanjian lama. Darah binatang diganti dengan darah anak domba Allah. Penebusan untuk keselamatan umat manusia hanya karena anugerah Allah, bukan karena pengorbanan manusia.
Sebutan cawan adalah dari dunia Israel. Kebiasaan di antara orang-orang Israel pada waktu makan. Bapa kepala keluarga memberikan makanan dan minuman bagi anak-anak di sekeliling meja. Masing-masing mendapat bagiannya sebanyak yang dituangkan baginya, tetapi sesuai dengan kemampuannya. Allah memberi cawan ini kepada Anak-Nya, karena Ia tahu bahwa Yesus mampu memikul penderitaan ini. Penderitaan tersebut tidak mampu dipikul oleh manusia seperti saya dan Anda, karena itu penderitaan kitalah yang ditanggung-Nya (bdk; Yes. 53:4).
Menurut Bavinck, kita adalah anak-anak Allah. Allah menentukan bagian bagi setiap orang. Setiap orang menerima kesenangan, berkat, kesusahan dan duka dalam cawannya. Yesus pun menerima cawan dari Bapa-Nya yang rasanya sangat pahit dan sebenarnya adalah cawan yang harus diminum oleh manusia karena dosa pemberontakan manusia.
Yesus bergumul seorang diri dalam menghadapi penderitaan tersebut walaupun Ia sebenarnya membutuhkan murid-murid untuk menemani Dia. Tetapi murid-murid-Nya tertidur. Ia meminta kepada murid-murid untuk berjaga-jaga dan berdoa supaya tidak jatuh dalam pencobaan; sebab roh memang penurut tetapi daging lemah (ay. 37-38). Yesus menyebut Petrus secara khusus karena Petrus seorang murid yang selalu tampil di depan dan malam ini juga ia akan menyangkal Yesus.
Dalam situasi yang demikian, Yesus masih mengingatkan murid-murid. Yesus sangat mengasihi murid-murid-Nya. Bagi Yesus dalam situasi yang sulit, tak ada jalan, sahabat dan doa menjadi sangat penting agar manusia bertahan terhadap cobaan. Tiga kali Ia pergi berdoa kemudian datang menemui dan membangunkan mereka untuk berdoa.
Renungan
Pertama, menghadapi berbagai persoalan dengan doa. Doa membuat kita tidak merasa sendirian namun Allah bersama dengan kita. Keluarga, sahabat, saudara, pacar bisa meninggalkan kita namun Allah tidak pernah meninggalkan kita. Dalam bacaan ini murid-murid yang adalah sahabat Yesus tidak menemani Yesus berdoa karena mengantuk, namun Ia tetap berdoa. Dia adalah Tuhan yang bersama-sama dengan kita. Dia bukan manusia yang baru lima menit duduk berdoa di dalam gereja, di tempat persekutuan/rayon, tidak tenang karena cemas dengan ini dan itu.
Apakah Allah tidak mendengarkan doa Yesus? Mendengar, tetapi penderitaan itu harus dijalani oleh Yesus. Allah mendengar doa-doa kita, sebab Dia tidak pernah alpa dalam hidup kita. Mendengar belum tentu menjawab. Doa yang hendak kita panjatkan kepada Tuhan, tidak memaksa kehendak Tuhan. Kita belajar dari Yesus yang berkata dalam doa-Nya, “janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” Jadi dalam doa, kita harus mengenal mana kehendak kita dan mana kehendak Tuhan.
Kedua, mengingatkan mereka walaupun kita dalam penderitaan. Kita belajar dari Firman Tuhan saat ini, walaupun Yesus merasa sungguh amat takut, namun Ia tetap mengingatkan murid-murid untuk tetap berdoa. Ia tidak lari dari penderitaan yang akan dialami. Di zaman sekarang kita sulit mendapatkan orang yang sementara dalam keadaan sulit tetapi tetap menolong orang lain. Kita hanya akan mendapatkan orang yang hendak mencari selamat sendiri, mencari aman untuk dirinya bahkan cuci tangan terhadap penderitaan sesamanya.
Di minggu sengsara keenam saat ini, kita belajar dari Yesus yang tidak lari dari penderitaan, melainkan mengingatkan murid-murid tentang tantangan yang akan dihadapi. Kita sebagai gereja, tetap menemani mereka dalam masa-masa sulit dialami oleh umat Tuhan. Pertanyaan refleksi adalah: apa bukti kehadiran gereja dalam masa-masa sulit?
Ketiga, masing-masing orang memiliki tantangan dan penderitaan. Setiap orang memiliki cawannya. Kata Yesus, “barang siapa tidak memikul salibnya.” (Mar. 8:34). Kata “nya” huruf “n” ditulis dengan huruf kecil. Artinya itu salib kita. Bukan salib Yesus. Kita belajar dari Firman Tuhan di minggu sengsara keenam saat ini. Yesus meminum cawan yang adalah bagian yang harus Ia tanggung untuk keselamatan umat manusia. Murid-murid akan mengalami penderitaan. Kita sebagai murid-murid juga mengalami penderitaan dan tantangan tersendiri. Namun penderitaan tidak melampaui kekuatan dan kemampuan kita karena Yesus sendiri telah menanggung semua yang pahit. Rasul Paulus berkata, “sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membuatkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu” (I Kor. 10:13).
Keempat, dari Firman Tuhan saat ini, kita diingatkan untuk menjadi sahabat bagi mereka mengalami penderitaan. Kehadiran kita dibutuhkan untuk memulihkan mereka dari keterpurukkan hidup. Amin. FN.
sumber : Fb Frans Nahak II