Sabtu, November 16, 2024
Google search engine
BerandaVIEWSKolomIBADAT SYUKUR PANEN

IBADAT SYUKUR PANEN

oleh : Pdt.Semuel Victor Nitti

Kemarin rupanya banyak Jemaat GMIT yang merayakan Hari Pentakosta II sebagai Ibadat Syukur Panen. Teks yang dibaca adalah Imamat 23:15-22. Teks itu berbicara mengenai Hari Raya Tujuh Minggu, yang orang Israel kemudian namai juga Pentakosta, sementara beberapa teks PL menyebutnya perayaan panen. Ada tiga unsur dominan dalam bacaan itu yaitu persembahan syukur, korban pengampunan dosa dan mengingat orang miskin.

Bulan Mei adalah Bulan Bahasa dan Budaya. Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam ibadah tersebut diambil dari hasil karya UBB GMIT yang telah menerjemahkan banyak nomor lagu Kidung Jemaat dalam berbagai bahasa daerah di NTT. Sehubungan dengan budaya dan syukur panen saya mau menyampaikan dua hal untuk didiskusikan di Jemaat-Jemaat, khususnya di kalangan Jemaat yang mayoritas warganya bertani, khususnya di Timor.

Pertama, ungkapan LEL – USAF, lengkapnya Lele (=lene, rene) in usan. Bagaimana menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Istilah usaf menunjuk kepada usus. Saya menduga istilah ini lebih berhubungan dengan usus yang menghubungkan bayi dengan ari-ari, selama sang bayi dalam kandungan. Ia berfungsi sebagai pembawa makanan dari ari-ari kepada sang bayi, sesudah ari-ari menyerap makanan dari makanan yang dimakan oleh ibu dan telah dioleh di usus. Setelah bayi lahir barulah usus penghubung tsb dipotong. Seandainya dugaan saya benar maka lel – usaf menjadi tanda dan simbol pengakuan bahwa hasil kebun yang akan dipanen adalah hasil yang disalurkan oleh Sang Pemberi makan kepada manusia tani melalui lel usaf itu. Pengakuan ini direalisir oleh petani pada waktu panen, yaitu ia mengambil hasil dari lel-usaf itu terlebih dahulu dan menjadikannya persembahan kepada Sembahannya. Sesudah mempersembahkannya barulah ia menerima hak untuk makan dari hasil panennya.
Saya rasa para pendeta di desa-desa di Timor wajib mendalami hal ini untuk menjadikan ibadah syukur panen pada Bulan budaya benar-benar membawa pesan yang nyata.

Kedua, unsur pengakuan dosa. Seluruh liturgi GMIT disusun mengikuti pengakuan orang Israel bahwa manusia berdosa tidak dapat menghampiri Tuhan, termasuk untuk beribadat kepada-Nya. Hal ini terjadi karena Tuhan adalah kudus, dan manusai berdosa yang mendekati Tuhan yang kudus itupastilah mati. Karena itu dalam ibadat Israel selalu ada binatang korban penghapus dosa. GMIT tidak memakai binatang korban, tetapi tetap menempatkan pengakuan dosa pada awal ibadat, sesudah votum & salam serta nas pembimbing. Bagi GMIT, korban satu-satunya ialah Tuhan Yesus. Karena itu warga GMIT mengakui dosa berdasarkan korban pengampunan dosa yang telah dipersembahkan oleh Tuhan Yesus.
Namun dalam konteks GMIT dan dalam konteks Bulan Budaya, khususnya bagi orang Timor (atoni Meto’) ada semacam ritus pengakuan salah terhadap alam, tanah, tumbuhan dll (mungkin juga pengakuan kepada pemilik tanah, tumbuhan dan alam) bahwa selama mengolah tanah, petani telah melakukan kekerasan terhadap tumbuhan dan tanah yaitu menebang (= membunuh) dan membakar. Ritus pengakuan petani Atoin Meto’ disebut Hainikit. Apakah aspek ini bisa dihidupkan untuk mengembangkan kesadaran bahwa manusia tidak boleh berlaku semena-mena terhadap alam. Selain itu apakah termasuk juga pengakuan dosa petani dan keluarga yang mungkin bertengkar, mengomel dan kehilangan sukacita waktu mengolah tanah dan merawat tanaman, namun tetap menerima hasil sebagai tanda pemeliharaan Tuhan. Saya kira Bulan Budaya akan menjadi Bulan Berteologi dalam arti aktif mendialogkan Injil dengan praktek budaya untuk mendapatkan suatu praksis kristiani yang berbasis budaya dan setia pada iman kristen.

Ini hasil tanganga nikmati teks Imamat 23:15-22.
Salam dari Oebufu !

#ceritaito

sumber : Fb Pdt.Semuel Viktor Nitti

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments