Rabu, Mei 1, 2024
Google search engine
BerandaKEBUDAYAANSastraCerita Lagu Ofa Langga Soba Soba

Cerita Lagu Ofa Langga Soba Soba

Setiap orang Rote pasti mengenal lagu Ofa langga. Tapi tentang apa sebenarnya lagu itu? Sekilas dilihat dari liriknya lagu itu seakan berkisah soal suka duka orang Rote dalam pelayaran melewati selat antara pulau Timor, pulau Semau dan Pulau Rote, yaitu selat Pukuafu, atau juga sering disebut Lolok oleh sebagian orang Rote. Bahkan ada yang menyebut selat berbahaya itu sebagai “kuburan orang Rote”. Namun sebenarnya lagu itu punya konteks personal dan politis yang membuatnya menarik.

Konon lagu ini berkisah tentang dilema sepasang  muda-mudi Rote di masa pendudukan Jepang. Penulis populer masyarakat Rote, Paul A Haning, menyebut konteks penciptaan lagu ini sekitar tahun 1943, dimana banyak pemuda Rote, oleh Jepang dikirim secara paksa (forced migration) ke Kupang dan beberapa tempat lain untuk kepentinganromusha. Jarak Kupang dan Rote seorang mungkin bukanlah sebuah jarak bagi bagi orang dengan kemudahan transportasi yang nama, namun Kupang dan Rote di tahun 1940-an tentu berbeda, apalagi kepergian sang pemuda bukalah untuk wisata atau mengunjungi keluarga, melainkan untuk kerja paksa bagi kepetingan balatentara Jepang.

Menurut Paul A. Haning, sebuah kapal pengangkut menunggu di Pelabuhan Pantai Baru untuk mengangkut romonganromusha ke Kupang. Para romusha datang dari berbagai wilayah di Rote. Bisa anda tebak sendiri bagaimana kisah perpisahan antara sang pemuda dan tunangannya. Dalam rombongan romusha itu ada seorang pemuda lain yang pandai menyanyi dan mencipta lagu. Kisah sepasang muda-mudi ini kemudian dituliskan dalam lagu Ofa Langga Soba-soba atau sering disingkat Ofa Langga.

Sangat menarik jika bisa kita dapatkan dokumentasi (deskripsi dan statistik) pengangkutan romusha dari Rote ke Kupang pada masa pendudukan Jepang. Ini akan memberi sedikit gambaran yang lebih jelas soal konteks lagu ini.

Dari segi syair, ada sejumlah hal yang bisa diinterpretasi. Walaupun ada berbagai versi dengan perbedaan di sana sini, saya mengutip versi yang dituliskan oleh Paul A. Haning bersama Ena Hayer Pah

Ofa langga adinda soba-soba Haluan perahu mencoba-coba

Ofa langga adinda soba-soba Haluan perahu mencoba-coba

Soba nita adinda tasi anin Mencoba akan laut dan angin

Soba nita adinda tasi anin Mencoba akan laut dan angin

Soba sayang kasian susi ana Mencoba sayang, kasihan susi ana

Lu reme adinda susi matan Airmata menetes dari mata susi

Se tanggon pinu rembe Siapa yang menanggung ingus dan airmata

bu bo’i susa hati Bu sayang bersusah hati

 

Ref: Se nae dae ki, dae ki tua meko Konon di negeri (sebelah) utara, sebelah utara tua meko

Se nae dae kona, kola de’a Pante Baru Konon di negeri selatan, merangkai kata, Pantai Baru

Nae lena seri tadadi lena seri Ingin menyebrang tak bisa menyebrang

Nae nasafali tadadi nasafali. Ingin berbalik tak bisa berbalik

Kata adinda yang dipakai adalah kata bahasa Melayu adinda yang sangat mungkin menunjuk kepada sang gadis. Pemakaiannya di tengah kalimat jika diterjemahkan akan mengganggu pengertian syairnya, namun harus dipahami kata ini dipakai sebagai rhima dalam lagu ini.

Kata bu adalah sebutan untuk kakak laki-laki dalam bahasa Rote yang sangat mungkin adalah pengaruh dari katabung dalam bahasa Melayu. Sedangkan kata susi adalah sebutan untuk kakak atau saudara perempuan dalam bahasa Rote yang sangat mungkin dipengaruhi oleh kata bahasa Belanda zusje artinya saudara perempuan.

Pulau Rote adalah pulau yang membujur timur barat sehingga dae ki menunjuk kepada pantai utara Rote yang biasanya banyak digunakan sebagai jalur pelayaran ke Kupang, juga di mana sepanjang pantai utara ini terdapat sejumlah pelabuhan seperti Oelua di nusak Dengka (sekarang Kecamatan Rote Barat Laut), pelabuhan Baa di Nusak Baa (sekarang masuk ke dalam Kecamatan Lobalain), pelabuhan Pantai Baru di Nusak Korbafo (sekarang termasuk dalam kecamatan Pantai Baru), dan pelabuhan Papela di Nusak Ronggou (sekarang bagian dari kecamatan Rote Timur).

Sebaliknya, dae kona menunjuk kepada wilayah dan pantai selatan pulau Rote. Nusak Thie yang berada di bagian selatan, dikenal dengan nama lain Rene Kona yang berarti sawah (di sebelah) selatan. Jadi si pencipta lagu kemungkinan berusaha mengungkapkan luasnya dampak atau jangkauan rekruitmen untuk romusha yang meliputi berbagai nusak/kerajaan di Rote. Sang penyair juga berusaha mengambarkan dilema sepasang muda-mudi ini dengan gambaran “maju tak maju, mundur tak mundur” bagaikan kapal yang terombang ambing. Dan dalam kenyataannya sang pemuda berangkat dalam kapal serupa. Kalimat “kola de’a, Pantai Baru” menunjukkan terjadinya sebuah pembicaraan yang maju dan mundur seakan tak kunjung selesai di (pelabuhan) Pantai Baru.

Makna dan perlambangan dimainkan dengan cantik di sini. Bukan hanya hati kedua insan yang terombang ambing, tetapi sang kapal pun akan terombang ambing menghadang angin dan gelombang. Sekarang ini, dengan ada moda transportasi modern seperti ferry, jarak Kupang dan Rote hanya ditempuh dalam waktu dua sampai empat jam. Bukan jarak yang luar biasa. Juga terpaaan gelombang relatif lebih ringan jika dibanding menggunakan perahu layar. Walaupun ferry pun pernah tenggelam di selat yang bernama Pukuafu itu. Apalagi dulu, dimana perlayaran Rote-Kupang dapat ditempuh lebih dari sehari, bahkan bisa berminggu jika berhadapan dengan angin dan gelombang. Pada saat itu Kupang dan Rote bukanlah jarak yang dekat. Itulah sebabnya dalam lagu yang lain dengan judul yang sama, Fridel Eduard Lango memasukan dalam syairnya: “Kota nai kota de, Lote nai Lote de” (Kupang adalah di Kupang dan Rote adalah di Rote).

Walaupun pencipta lagu ini tidak dikenal, Paul A Haning menyatakan bahwa bagian ini sedikit mengungkapkan identitas sang penyair. Haning (dalam bukunya Sasando, alat Musik Tradisional Masyarakat Rote Ndao, 2009) menyatakan bahwa penulis lagu ini adalah orang Thie dengan mengacu kepada pengunaan kata bo’i yang menurutnya di masa lalu hanya terdapat dalam dialek Thie, walaupun kita telah dipakai dalam beberapa dialek Rote yang lain.

Bo’i dalam dialek Thie adalah bentuk pendek dari kata bonggi yang berarti beranak atau kandung. Ungkapan ini biasa dipakai untuk mengungkapkan kedekatan hubungan atau afeksi dan penghormatan kepada seseorang, dalam pengertian persaudaraan. Jika seorang Rote menyebut anda sebagai mama bo’i atau papa bo’i, tidak dimaksudkan secara harfiah bahwa anda adalah ibu kandung/ibu yang mengandung atau ayah kandungnya, melainkan ia sedang mengungkapkan afeksi dan kedekatan hubungan personal dengan anda, seakan menyatakan bahwa kasih sayangnya kepada anda adalah sama dengan kasih sayangnya kepada ayah atau ibu kandungnya sendiri.

Memang di Rote bagian timur, antara lain di Landu dan Ringgou, kata bo’i juga eksis namun mempunyai arti yang lain yaitu payudara. Jadi kesimpulan tentang identitas pencipta lagu ini bisa mendekati kebenaran jika dilihat dari penggunaan kata ini.

Sebagai lagu rakyat, lagu ini punya beberapa versi yang berkembang di masyarakat. Ada sebuah versi mempunyai judul yang sama namun berbeda dalam irama dan syair yaitu versi penyair kenamaan Rote, Fridel Eduard Lango. Versi F.E. Lango adalah sebagai berikut:

Ofa langga soba-soba

Soba nita tasi anin

Soba sayang kasian

Lu leme susi matan

 

Nae lena seli tadadi lena seli

Nae nasafali tadadi nasafali

Adu kasian, adu kasian mama boi ee

Rote nai Rote dei

Kota nai Kota dei

Mama boi ee, Dandi daen tou daen

Sopa oen tou oen

Lamatuak ifa au

(sumber: satutimor.com)

 

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments