Minggu, April 28, 2024
Google search engine
BerandaPOLHUKAMPemiluSMRC: Program 1 Keluarga Miskin, 1 Sarjana dan Perlindungan KDRT Paling Dibutuhkan...

SMRC: Program 1 Keluarga Miskin, 1 Sarjana dan Perlindungan KDRT Paling Dibutuhkan Publik

Siaran Pers
SAIFUL MUJANI RESEARCH AND CONSULTING (SMRC)

 

Jakarta, 11 Januari 2024

Program 1 keluarga miskin, 1 sarjana dan perlindungan ibu dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi program unggulan yang paling dianggap penting oleh masyarakat. Namun program-program ini kurang terasosiasi dengan calon presiden (capres) dan dan calon wakil presiden (cawapres) pengusungnya sehingga tidak memiliki efek elektoral signifikan.

Demikian temuan studi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dipresentasikan Prof. Saiful Mujani dalam program ’Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode ”Program-Janji dan Elektabilitas Capres” yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 11 Januari 2023. Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/rfbfd7qOPK8

Saiful menjelaskan bahwa dalam perbincangan media atau media sosial, banyak yang menyatakan bahwa debat capres dan cawapres sangat penting. Ada asumsi yang menyatakan bahwa keunggulan dalam debat atau keunggulan meyakinkan publik dalam debat tersebut adalah unsur yang sangat penting memengaruhi pemilih.

Ada banyak program dan janji yang ditawarkan oleh capres dan cawapres. Seberapa penting program dan janji kebijakan yang ditawarkan oleh para calon tersebut, baik lewat debat, iklan, dan lain-lain, menurut masyarakat?

Dalam penelitian ini, publik diminta mengurutkan tiga program yang paling dibutuhkan. Dari tiga program yang ditawarkan, 48 persen publik menilai program 1 keluarga miskin, satu sarjana berada di urutan pertama yang paling dibutuhkan. Yang menyebut tunjangan ibu hamil 32 persen makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah 20 persen.

“Per-program ini, jika ketiganya diadu, yang unggul di mata pemilih adalah program 1 keluarga miskin, 1 sarjana,” jelas Saiful.

Pertanyaannya, lanjut Saiful, apakah masyarakat tahu siapa yang menawarkan program-program tersebut? Untuk program tunjangan ibu hamil, hanya 16 persen yang tahu program itu dari pasangan Anies-Muhaimin dan 84 persen yang tidak tahu. Dari 16 persen yang tahu program Anies-Muhaimin tersebut, 63 persen menyatakan yakin pasangan itu bisa mewujudkannya jika mereka terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, 33 persen tidak yakin, dan 4 persen tidak menjawab atau tidak tahu.

“Walaupun ada 32 persen yang menyatakan program tunjangan ibu hamil itu penting dan dibutuhkan, tapi yang tahu bahwa program itu diusulkan pasangan Anies-Muhaimin hanya 16 persen,” jelas Saiful.

Karena itu Saiful menyatakan program ini tidak akan banyak punya efek. Walaupun banyak yang menyatakan program itu penting, namun yang tahu hanya sedikit. Karena itu, menurut Saiful, perlu ada kampanye atau sosialisasi mengenai program tersebut agar memiliki efek elektoral pada pasangan Anies-Muhaimin yang mengusungnya.

“Debat saja tidak cukup. Mungkin perlu iklan yang lebih massif untuk program ini,” tambahnya.

Untuk program makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah, hanya 25 persen yang tahu atau pernah mendengar bahwa pasangan Prabowo-Gibran memiliki program unggulan tersebut, selebihnya, 75 persen tidak tahu atau tidak pernah mendengar. Namun dari yang tahu, sebanyak 73 persen yakin Prabowo-Gibran mampu mewujudkan program tersebut jika mereka terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.

Minimnya pengetahuan publik tentang usulan program pasangan capres membuat aspek ini kurang bisa memiliki efek untuk menaikkan suara. Bahkan Saiful menyatakan bahwa efek debat kemungkinan tidak banyak berpengaruh.

“Mau ada debat atau tidak ada debat, pengaruhnya pada elektabilitas pasangan tidak signifikan. Walaupun publik merasa program seperti makan siang gratis itu penting, tapi jika mereka tidak mengetahui siapa yang mengajukan program tersebut, ya tidak banyak pengaruhnya,” ungkap Saiful.

Menjadi lebih problematik karena hanya 20 persen masyarakat yang menganggap program makan siang gratis itu penting. Karena itu, mengharapkan dapat suara besar dari program tersebut akan memiliki kemungkinan yang kecil.

Demikian pula dengan program Ganjar-Mahfud tentang 1 keluarga miskin, 1 sarjana. Walaupun program ini dibutuhkan oleh sekitar 48 persen warga, namun yang mengetahui bahwa pasangan Ganjar-Mahfud mengusulkan program tersebut hanya 17 persen, yang tidak tahun 83 persen. Dari yang tahu, sebanyak 62 persen menyatakan pasangan Ganjar-Mahfud akan bisa mewujudkannya jika mereka terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, 35 persen tidak yakin, dan 3 persen tidak tahu atau tidak jawab.

“Apa yang Anda bisa harapkan dari janji-janji itu kalau masyarakat tidak tahu? Bahwa program 1 keluarga miskin, 1 sarjana sebagai program menarik, memang ya. Tapi siapa yang menawarkan ini? Masyarakat tidak tahu. Oleh karena itu, efek elektoralnya tidak diperoleh dari sini,” kata Saiful.

Saiful menegaskan bahwa debat pada akhirnya hanya menarik bagi kalangan tertentu dan mungkin untuk mereka yang sudah fanatik memilih calon atau pasangan tertentu. Mereka memilih bukan karena terpengaruh debat, mereka nonton justru karena sudah punya pilihan. Mereka menonton debat karena ingin melihat calon yang didukungnya keren atau tidak dalam debat.

“Karena itu, debat tidak memiliki nilai elektoral,” ungkapnya.

Selanjutnya dalam perbandingan tiga program lain, ada 47 persen publik menjadikan program perlindungan ibu dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai program yang paling dibutuhkan, kartu anak sehat untuk menekan angka stunting 37 persen, dan pendampingan 1000 hari pertama kelahiran 16 persen.

Saiful menjelaskan bahwa program perlindungan ibu dari KDRT adalah gagasan yang menurut publik menarik. Ada banyak isu perempuan, menurut Saiful, tapi salah satu isu yang kongkrit dan banyak dirasakan oleh masyarakat adalah kasus KDRT. Bahkan isu ini dianggap paling penting bukan hanya oleh perempuan (48%), melainkan juga laki-laki (47%).

“Laki-laki juga memiliki kepedulian pada KDRT, walaupun yang melakukan KDRT umumnya adalah laki-laki,” kata Saiful.

Namun ketika ditanya apakah tahu atau pernah mendengar bahwa pasangan Anies – Muhaimin memiliki program unggulan berupa perlindungan ibu dari KDRT, hanya 12 persen yang menjawab ya, selebihnya, 88 persen, menjawab tidak. Sementara dari yang tahu, 76 persen menyatakan yakin Anies-Muhaimin bisa mewujudkan hal tersebut jika terpilih, 21 persen tidak yakin, dan 3 persen tidak jawab.

Saiful menjelaskan bahwa program perlindungan ibu dari KDRT dianggap penting oleh publik, tapi umumnya tidak mengetahui bahwa program ini berasal dari pasangan Anies – Muhaimin. Seharusnya, menurut dia, program semacam ini disosialisasikan dengan massif karena potensial bisa mendongkrak suara.

Sementara yang mengetahui bahwa Prabowo – Gibran memiliki program unggulan Kartu Anak Sehat sebesar 20 persen. Dari yang tahu, 83 persen yakin pasangan tersebut bisa mewujudkannya jika terpilih, 15 persen tidak yakin, dan 2 persen tidak jawab.

Adapun program 1000 hari pertama kelahiran, hanya 12 persen yang tahu program tersebut diusung oleh pasangan Ganjar – Mahfud. Dari yang tahu, 67 persen yakin pasangan ini akan mampu mewujudkannya jika terpilih, 31 persen tidak yakin, dan 2 persen tidak tahu.

Secara keseluruhan, kata Saiful, ada sejumlah program yang sangat penting di mata pemilih. Namun program-program tersebut tidak cukup teridentifikasi dengan pasangan calon presiden tertentu. Karena itu, program-program tersebut tidak bisa banyak membantu untuk mendongkrak elektabilitas pasangan Capres yang mengusungnya.

“Mengidentifikasi masalahnya sudah bisa. Tapi mengambil masalah itu sebagai program unggulan dia dan dikenal oleh publik, itu menjadi persoalan yang lain,” pungkasnya.

Metodologi

Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih sampel secara random (multistage random sampling) 2500 responden dengan jumlah proporsional menurut provinsi. Untuk keperluan analisis dilakukan oversampel di 8 provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Sulawesi Selatan) masing-masing menjadi 420 responden, sehingga total sampel menjadi 4540 responden. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid dan tidak ada aparat saat proses wawancara) sebesar 3555 atau 78%. Sebanyak 3555 responden ini yang dianalisis. Pembobotan data dilakukan sedemikian sehingga profil demografi sampel yang dianalisis menjadi proporsional terhadap populasi dari sisi wilayah, gender, kelompok umur, agama, etnisitas, dan pendidikan. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 2.0% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi stratified random sampling). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan 29 November– 8 Desember 2023.

–AKHIR SIARAN PERS–

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments