Oleh : Pdt.Semuel V.Nitti
Beta masuk SD GMIT Batuna (kini di desa Tunbaun Kec. Amarasi Barat) pada bulan Agustus tahun 1958 dan tamat 1964. Pada masa itu bangunan sekolah dikerjakan oleh masyarakat Batuna dan masih darurat: tiang kayu, dinding bebak dan atap daun gewang. Setiap kali ada kerusakan kecil pada dinding atau atapnya bocor, kami, anak-anak sekolah, membawa bebak dan atau daun gewang untuk memperbaikinya. Setiap hari kami membawa air pada wadah dari bambu untuk menyirami kelas bertanah tanpa semen. Anak-anak (murid) menata halaman depan termasuk membuat pagar indah dari kayu di sepanjang sisi jalan raya. Bagian depan dipakai sebagai lapangan upacara. Sedangkan bagian belakang ditata dan dirawat sebagai lapangan olahraga.
Jika kerusakan gedung sekolah terlalu besar untuk ditangani oleh anak-anak, maka Kepala Sekolah mengabari tiga orang Tamukung, yang anak-anaknya sekolah di SD tsb, untuk mengerahkan masyarakat memperbaiki gedung tersebut. Biasanya perbaikan itu hanya berlangsung satu hari sehingga tidak mengganggu proses belajar mengajar.
Rumah-rumah guru dibangun oleh masyarakat dari ketiga ketemukungan tersebut. Biasanya dibagi setiap temukung membangun dan merawat dua rumah guru.
Ketika dibuka lagi SD Inpres dan SD Negeri, sehingga SD bertambah banyak menjadi lima (1 SD GMIT, 2 SD Inpres dan 2 SD Negeri) maka pemerintah desa membagi anak-anak agar semua sekolah tersebut tidak kekurangan murid. Biasanya dibagi menurut wilayah Dusun yang berada di sekitar sekolah masing-masing. Pembagian ini berlaku sampai saat ini.
Yang hilang adalah peran masyarakat, dhi. pemerintah desa dan orang tua murid dalam hal merawat gedung dan membangun rumah guru.
Sekolah Rakyat Gereja di kampung saya itu (kemudian: SD GMIT) dibuka, sejauh saya ingat, pada tahun 1922 atau 1924. Kepala Sekolah adalah juga pendeta (dulu ada dua kelas pendeta dan pendeta yang Kepsek mungkin pendeta kelas 2). Semua anak – anak berusia 7 tahun wajib mengikuti pendidikan. Ketentuan umur diukur menurut jangkauan tangan kanan melewati kepala untuk menyentuh telinga kiri. Bila bisa dijangkau, paling kurang disentuh, berarti sudah berusia tujuh tahun dan boleh masuk kelas satu. Bila belum menjangkau berarti belum tujuh tahun jadi ditolak dan menanti satu tahun lagi. Sekolah-sekolah gereja ini dibuka sebagai sarana pekabaran Injil. Pada umumnya semua anak yang mengikuti pendidikan tidak beragama Kristen. Anak-anak inilah yang dibaptis
terlebih dahulu, baru kemudian orang tua mereka.
Pada waktu saya masuk sekolah tahun 1958 kebanyakan orang tua sudah dibaptis dan sudah ada tiga Jemaat GMIT di kampung Batuna. Hubungan SD dengan gereja amat kuat dalam hal pendidikan iman anak-anak. Hal ini ditandai dengan adanya salah seorang dari ketiga Utusan Injil menjadi pengajar agama Kristen di sekolah. Kemudian beliau mengikuti pendidikan PGA di Kupang dan diangkat menjadi Guru Agama dengan SK pemerintah. Selain itu setiap hari Senin, sesudah upacara bendera pada pagi hari, semua guru kelas memeriksa untuk memastikan bahwa pada hari minggu, kemarinnya, semua anak mengikuti Sekolah Minggu di gerejanya. Lalu disuruh menghafal nas alkitab yang ditentukan oleh guru Sekolah Minggu menjadi nas hafalan. Mereka yang tidak ikut Sekolah Minggu dan yang ikut tetapi tidak bisa menghafal nas hafalan itu pasti dihukum cambuk. Saya mengalami hal ini juga.
Kami yang dihukum pun tidak berani mengadu kepada orangtua, karena pasti mendapatkan hukuman yang bisa jadi lebih keras daripada hukuman di sekolah. Waktu itu HAM belum sampai di kampung, jadi kami bisa menerima didikan yang keras yang menjadi banyak yang “menjadi orang.”
Karena itu kebesaran GMIT saat ini tidak dapat dilepaskan dari jasa sekolah sekolah gereja tersebut. GMIT terpelihara oleh banyak penatua dan diaken yang menerima pendidikan iman yang memadai di sekolah-sekolah tersebut, bukan dari pendeta. Dalam hal ini GMIT, kita para pendeta yang terpelihara di GMIT sampai usia emeritus, kita semua yang tamat dari sekolah gereja bisa dianggap sebagai “kacang lupa kulit.”
Semua yang telah menyelesaikan kelas enam diberi Surat Tamat, tanpa harus mengikuti ujian akhir. Hanya mereka yang merencanakan untuk melanjutkan ke SMP dan atau yang dinilai cukup pandai saja yang mengikuti ujian akhir yang bersifat ujian negara dan pertanyaan-pertanyaan ujian disusun entah di Kupang entah di Jakarta, yang jelas tercetak rapih. Pada tahun 1964 jumlah murid kelas 6 di SR (atau: mungkin sudah SD) GMIT adalah 56 orang. Dan yang dipilih untuk mengikuti ujian akhir hanya 10 orang, termasuk saya. Ujian akhir itu diselenggarakan terpusat di pusat Kefetoran Baun, jadi peserta ujian dari semua sekolah di wilayah itu berkumpul dan menjalani ujian di satu SD saja. Percaya atau tidak, pada waktu saya mengikuti ujian akhir itu ada dua pertanyaan Berhitung (kini: matematika) yang para Kepala Sekolah yang hadir sebagai Pengawas ujian pun tidak dapat memecahkan (menjawab). Semua hasil kerja para peserta ujian akhir disegel dan dikirim (=diantar) ke Kupang, untuk diperiksa dan ditentukan lulus tidaknya di Kupang. Para Kepala Sekolah tidak ikut dalam proses pemeriksaan dan penentuan kelulusan. Para Kepala Sekolah wajib datang ke Kupang, waktu itu berjalan kaki, pada pertengahan bulan Juli untuk mengecek kelulusan peserta ujian akhir di sekolahnya. Saya mendengar cerita dari Kepala Sekolah SD GMIT Batuna bahwa ketika beliau menghadap pejabat di Kupang, dengan hati berdebar-debar, Pejabat tsb menyerahkan kepadanya sebuah daftar peserta ujian dari Wilayah Kefetoran Baun dan mempersilahkan beliau untuk memeriksa sendiri apakah kami lulus atau tidak dengan berkata: “Kau periksa saja, semua yang mendapat nilai 48 ke atas pada semua mata pelajaran teruji, dinyatakan lulus.” Dan kami semua lulus. Lalu beliau menerima Surat Tanda Lulus yang sudah ditanda-tangani oleh Pejabat tersebut. Selanjutnya beliaulah yang mengurus dan mendaftarkan tiga orang dari kami di SMP Negeri 1 Kupang dan seorang di SMP Frater Kupang. Enam orang yang lain tidak bersedia melanjutkan sekolah walau lulus. Jadi Surat Tanda Lulus mereka menjadi harta karun saja.
Mereka yang lulus ujian akhir itulah yang mendapatkan Surat Tamat dan Tanda Lulus, jadi bisa melanjutkan ke SMP. Mereka yang tidak lulus dan yang tidak mengikuti ujian akhir hanya menerima Surat Tamat saja. Tanda Lulus itu hanya kertas biasa saja. Di situ tertera data diri anak, tahun kelulusan, nama sekolah. Tanda Lulus itu tidak disertai foto (pasfoto) dan tidak ada tanda tangan anak yang lulus. Akibatnya anak lain yang ingin melanjutkan sekolah bisa memakai Tanda Lulus orang lain dan melanjutkan sekolah dengan memakai nama anak yang lulus. Mereka bisa menyelesaikan sekolah lanjutan dan bekerja sebagai pegawai dengan nama menurut Tanda Lulus SD. Sementara itu dalam lingkungan keluarga ia dikenal dan disapa dengan nama lain, nama aslinya. Hal ini mudah terjadi karena selain Tanda Lulus tidak dibutuhkan data diri lain seperti Akte Kelahiran atau Surat Baptis. (Saya baru mengurus dan mempunyai Akte Kelahiran pada tahun 1981, ketika sudah delapan tahun menjadi pendeta dan hendak mengurus pernikahan. Pada waktu itulah juga saya menerima Surat Baptis saya, padahal saya dibaptis pada tahun 1952. Surat Baptis saya itu ditanda-tangani oleh Syamas (kini: Diaken) sebagai Sekretaris, Utusan Injil, sebagai Ketua Majelis Jemaat, dan diketahui oleh Pendeta Wilayah Kependetaan Baun.
Kini di SD GMIT ada kekurangan guru. Begitu juga gedungnya kurang terawat, serta tidak ada rumah guru. Pada saat ini atas tanggungjawab (atau: sponsor) Ketua Klasis Amarasi Barat, sedang dibangun sebuah mess guru.
Saya menulis semua ini dengan rasa berhutang sambil mengingat bahwa sesungguhnya kalau Jemaat-Jemaat GMIT yang berdekatan dengan SD GMIT dan yang dulunya mempunyai hubungan istimewa dengan SD GMIT bisa mendaftarkan semua warganya yang berada di luar untuk memohon dukungan dana minimal Rp. 5000/orang/bulan, maka dana itu pasti memadai sebagai bukti bakti GMIT kepada Tuhan Yesusdan bukti karya terima kasih bagi SD GMIT yang merawat dan membesarkan banyak warga gereja dalam iman, ilmu dan moralitas.
Salam Bulan Pendidikan dari Oebufu!
#Ceritaito
sumber : Fb Pdt Semuel Victor Nitti (20/07/2024)