Senin, September 30, 2024
Google search engine
BerandaKEBUDAYAANFilmFilm 'Maid' Perjuangan Korban KDRT yang Berani Keluar dari Rumah

Film ‘Maid’ Perjuangan Korban KDRT yang Berani Keluar dari Rumah

oleh : Hartoyo

Film serial berjudul “Maid” bercerita tentang perjuangan perempuan untuk lepas dari KDRT dan berani pergi dari suami untuk menyelamatkan hidupnya

Film “Maid” dibuka dengan seorang tokoh utama perempuan, Alex Russell (Margaret Qualley) bersama putri balitanya yang pergi meninggalkan rumah di malam hari, saat suaminya sedang tidur.

Alex Russel adalah perempuan berumur 25 tahun. Ia memutuskan lari dari suaminya, Sean Boyd (Nick Robinson), yang sudah banyak melakukan kekerasan.

Suatu malam setelah mereka bertengkar hebat, Alex secara diam-diam membawa putri yang baru berusia dua tahun, Maddy Boyd (Rylea Nevaeh Whittet) untuk kabur dari rumah. Mereka hanya membawa uang sekitar 18 dolar atau sekitar Rp. 270 ribu.

Mereka pergi tanpa kejelasan mau kemana, karena tidak tahu tempat yang harus dituju. Yang mereka butuhkan adalah ruang aman, minimal pada malam itu. Sampai akhirnya mereka harus tidur di dalam mobil di pinggir jalan

Pada adegan selanjutnya, mereka harus menjadi gelandangan dan keluar masuk perlindungan, sesekali numpang di rumah saudara dan teman.

Film “ Maid” adalah sebuah mini seri drama Amerika Serikat yang ditayangkan di Netflix dan dibuat oleh Molly Smith Metzler. Serial ini terinspirasi oleh memoar Stephanie Land, Maid: Hard Work, Low Pay, and a Mother’s Will to Survive . Ceritanya terfokus pada seorang ibu muda yang lolos dari hubungan yang kasar atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT, kemudian ia berjuang untuk menafkahi remaja dengan mendapatkan pekerjaan membersihkan rumah.

Maid adalah film yang mendapatkan banyak penghargaan seperti Penghargaan Serikat Penulis Amerika untuk Long Form – Adapted , AFI TV Programs of the Year sekaligus sejumlah penghargaan

Film Maid fokus pada isu Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Amerika dengan segala kerumitan persoalan yang dihadapi perempuan. Film yang cukup detail mengangkat kebutuhan dasar perempuan korban yang mungkin dianggap “kecil” oleh publik, tetapi menjadi pertimbangan besar bagi perempuan untuk memutuskan berani berpisah atau pergi dari pasangannya.

Ini bisa jadi refleksi bagaimana seorang perempuan korban KDRT berani pergi ke luar rumah dan menghadapi persoalan baru seperti bagaimana mendapatkan tempat tinggal, mencari nafkah, kebutuhan pangan, perawatan anak, dan cara untuk memenuhi kebutuhan primer lainnya?.

Setelah itu, Alex mendapatkan pekerjaan sebagai petugas kebersihan. Maka masalahnya selanjutnya adalah dimana ia bisa menitipkan anaknya?. Alex kemudian muncul pada satu pilihan yang tak mudah, yakni menitipkan Maddy kepada ibunya, Paula Langley (Andie MacDowell), seorang perempuan yang sedang mengidap bipolar. Kerisauan jantung terjadi, seharusnya ia bisa membantu ibu, namun ia jadi menambah berat beban ibu.

Maid menjadi film yang sangat istimewa karena banyaknya perjuangan Alex sebagai survivor digambarkan dengan detail sampai perjuangannya mendapatkan hak asuh anaknya ke pengadilan.

Walaupun Film ini berlatar belakang masyarakat di Amerika yang secara sistem sosial, politik, dan kondisi ekonominya lebih baik dibandingkan di Indonesia, namun permasalahan yang dihadapi oleh para perempuan korban KDRT di Indonesia tidak jauh berbeda.

Kita coba kontekskan pada kasus KDRT di Jakarta misalnya. Selama ini aku tinggal di daerah Rusun Cawang, Jakarta Timur, sebuah kawasan masyarakat kelas bawah dengan segala persoalan masyarakat perkotaan, sehingga isu-isu KDRT menjadi persoalan yang sering terjadi di daerah ini. Baru saja kudengar, ada seorang perempuan yang memiliki dua putri, remaja dan balita. Perempuan itu mengalami KDRT yang terus berulang namun terus kembali lagi pada suaminya.

Sampai para saudara dan tetangga seperti merasa “kelelahan”mengingatkan korban untuk berani pergi dari pasangannya. Padahal hubungan perkawinannya hanya ikatan perkawinan siri/perkawinan yang tak dicatatkan oleh negara. Ini adalah perkawinan siri kedua yang dialami oleh perempuan korban ini. Dari dua perkawinan ini, dua-duanya ia mengalami KDRT dengan beragam bentuk.

Saat ini korban tak mampu memutuskan untuk berpisah dari pasangan keduanya, alasan utamanya karena adanya kebutuhan tempat tinggal, pangan, pendidikan anak, pekerjaan dan perawatan kerja bagi anak. Kalau kebutuhan itu dilimpahkan pada keluarga besarnya, sementara keluarga besarnya juga dalam kondisi yang miskin juga, ini membuat sulit bagi korban untuk mengambil keputusan.

Cerita ini jadi contoh bahwa tidak hanya di Amerika, di Indonesia pun perempuan mengalaminya, yaitu untuk berjuang memenuhi kebutuhan dasar ini, terus sama yang dijelaskan dalam cerita film Maid. Ini yang membuat seorang perempuan korban KDRT membutuhkan kekuatan berkali-kali sampai berani akhirnya memutuskan berpisah secara permanen.

Itupun tidak semua perempuan korban berani mengambil keputusan, pada kasus lain ada banyak perempuan sampai akhir hidupnya mengalami KDRT dari pasangannya.

Para perempuan KDRT ini, tidak cukup hanya mendapatkan dukungan hukum atau psikologi saja, namun mereka harus mendapatkan akses pangan, rumah dan pekerjaan.

Jika dalam film Maid dijelaskan ada dukungan dari pemerintah dan organisasi sosial di Amerika seperti tempat tinggal dan akses pekerjaan untuk para perempuan korban KDRT, bagaimana dengan di Indonesia?

Dalam konteks Indonesia, konstruksi sosial menempatkan bawahan perempuan untuk mengurus ruang domestik, sehingga semakin sulit bagi perempuan untuk membangun kemandirian atas pencapaiannya. Ada banyak “kewajiban” dan label tanggung jawab pada diri perempuan sebagai istri maupun sebagai ibu. Sehingga situasi ini semakin membuat perempuan berani memutuskan sesuatu dalam hidupnya sendiri maupun untuk masa depan anaknya.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu melakukan pendekatan penanganan KDRT bagi perempuan secara komprehensif dan terintegrasi pada banyak sektor.

Banyak perempuan yang memilih bertahan terus menjadi korban KDRT, salah satu alasan utamanya karena tidak tersedianya dukungan penanganan yang menyeluruh bagi korban, baik untuk perempuan maupun anaknya. Kalau mau lepas dari pasangan, mau kemana?

Perempuan korban KDRT tidak tahu harus pergi kemana, sulitnya menemukan tempat yang aman dan terjamin kesejahteraan bagi dirinya maupun anaknya, minimal untuk proses pemulihan.

Situasi inilah yang dialami oleh perempuan korban yang ada di Rusun Cawang.

“Bagaimana dengan tempat tinggal, keamanan anakku jika saya akan memutuskan bekerja, mas?,” Ungkap korban saya.

Perihal ini aku lalu mencoba berkomunikasi dengan salah satu organisasi sosial yang fokus membantu perempuan korban KDRT, tapi ternyata juga tidak ada layanan komprehensif dan terintegrasi bagi perempuan korban dan anaknya di wilayah Jakarta.

Layanan dukungan yang diberikan oleh organisasi sosial dan pemerintah sebatas dukungan psikologis maupun bantuan hukum jika diperlukan sampai proses pengadilan. Padahal tidak semua kasus penyelesaian KDRT akan masuk ke proses hukum formal. Tetapi kebutuhan tempat tinggal, pangan, kerja perawatan, dan pekerjaan sesuatu yang pasti dibutuhkan korban, apalagi mereka yang berasal dari kelompok miskin.

Hal ini menjadi pemikiran penting oleh pemerintah pusat sampai daerah, lembaga independen untuk perempuan, dan para aktivis hak perempuan dapat mengembangkan kebijakan penanganan perempuan korban kekerasan berbasis gender secara komprehensif. Mulai dari kebutuhan paling praktis (jangka pendek), seperti rumah aman, pangan, kesehatan, dan perawatan kerja bagi anak maupun dirinya sendiri. Kemudian kebutuhan yang lebih jangka menengah-panjang, seperti akses keterampilan hidup, bantuan hukum, tempat tinggal, sampai akses pekerjaan untuk meneruskan hidup bagi korban dan anaknya.

Pendekatan komprehensif ini tidak dapat diselesaikan oleh satu institusi saja, atau diharapkan pada masyarakat sipil tetapi kolaborasi, baik pemerintah pusat sampai daerah, investor, masyarakat sipil, maupun swasta atau perusahaan.

Perusahaan atau swasta sangat dibutuhkan misalnya dalam konteks peningkatan keterampilan ataupun peluang pekerjaan bagi setiap korban kekerasan berbasis gender yang membutuhkan pekerjaan untuk kelangsungan hidup.

Cerita film Maid dan satu kasus perempuan korban KDRT di Rusun Cawang, menjadi bukti dan gambaran umum pentingnya dukungan komprehensif bagi penanganan perempuan dan anak korban.

Selain penanganannya, tentunya pencegahan juga harus terus menerus melakukan sosialisasi pada masyarakat tentang kekerasan berbasis gender, sehingga dari hulu sampai hilir dapat dilakukan secara masif oleh semua pihak.

*HARTOYO : Pengelola dan pendamping akses Adminduk, Jamsos dan kerja perawatan bagi transpuan di Indonesia.

sumber berita : konde.co

sumber foto : Netflix

1.Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2.Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau disebarkan ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan materi.

 

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments