Siaran Pers
SAIFUL MUJANI RESEARCH AND CONSULTING (SMRC)
Jakarta, 12 Agustus 2022
Ilmuwan politik, Prof. Saiful Mujani, menyatakan manuver politik PKB dan Gerindra untuk membangun koalisi bukan berdasarkan kecenderung aspirasi pemilih PKB maupun massa NU yang menjadi basis konstituennya. Hal ini disampaikan dalam acara Bedah Politik episode “Top Down Koalisi Gerindra-PKB?” yang disiarkan oleh kanal Youtube SMRC TV pada Jumat, 12 Agustus 2022.
Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/NPfL2FlSaqM
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Mei 2022, menunjukkan bahwa dari total pemilih PKB, 40,7 persen menginginkan Ganjar Pranowo sebagai presiden. Yang mendukung Prabowo 22 persen dan Anies Baswedan 16,5 persen.
Ada dua model penentu koalisi, menurut Saiful. Pertama adalah model bottom-up. Model ini mendengarkan aspirasi dari bawah, konstituen, pemilih, atau kelompok-kelompok kepentingan yang dekat dengan partai. Model kedua adalah supply-side atau top-down. Dalam model koalisi ini, kebutuhan masyarakat diciptakan oleh elit.
Melihat kecenderungan pemilih PKB, ini menunjukkan, kata Saiful, manuver yang sedang dimainkan Muhaimin dan Prabowo untuk berkoalisi tidak mencerminkan demand-side atau aspirasi pemilih PKB, melainkan aspirasi elit.
Namun demikian, Saiful menyatakan bahwa politik acapkali bukan hanya sekadar kemenangan elektoral. Targetnya mungkin bukan Prabowo benar-benar menang sebagai presiden dan Muhaimin menjadi wakilnya, tapi untuk pertimbangan yang lain, misalnya dia ingin tercatat menjadi calon wakil presiden yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Ini satu langkah politik yang memiliki nilai tersendiri, kata Saiful. Dan ini juga mungkin bisa membantuk partai untuk melakukan mobilisasi.
Saiful melihat bahwa pengajuan Prabowo sebagai calon presiden selama ini juga punya tujuan untuk mobilisasi partai. Prabowo, kata dia, punya magnet untuk menggerakkan pemilih.
“Targetnya bukan Prabowo menjadi presiden, tapi setidaknya suara Gerindra cukup baik untuk mengamankan para politisi partai. Mungkin itu target minimal. Syukur-syukur kalau Prabowo jadi presiden.” kata Saiful.
Mengapa pemilih PKB cenderung memilih Ganjar Pranowo dibanding tokoh lain? Saiful melihat bahwa ini wajar karena secara sosiologis pemilih PKB dan Ganjar dekat. Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah basis utama massa pemilih PKB dan wilayah itu pula yang menjadi basis pendukung Ganjar.
Namun demikian, Saiful mengingatkan bahwa Muhaimin pernah melakukan tindakan politik yang menarik dalam kasus pemilihan gubernur Jawa Tengah. Dalam Pilkada tersebut, PKB tidak mendukung Ganjar Pranowo, melainkan mendukung pasangan Sudirman Said – Ida Fauziyah. Dalam kasus ini, Saiful melihat PKB memiliki pertimbangan lain di luar menang Pilkada. Karena itu, menurut dia, dalam kasus Pilpres, boleh jadi Muhaimin kembali memiliki pertimbangan lain di luar soal memenangkan Pilpres.
“Ada target lain yang bisa dicapai melalui koalisi itu, tidak hanya secara harfiah koalisi Capres dan Cawapresnya bukan hanya untuk menang menjadi pasangan presiden dan wakil presiden. Itu terlalu sederhana kita melihat makna di balik rencana koalisi itu sendiri.” Ungkap ilmuan politik lulusan Ohio State University, Amerika Serikat, ini.
Kalau dilihat dari aspek demand-side, mestinya koalisi PKB tidak dengan Prabowo Subianto. Tapi, lanjut Saiful, jika PKB mendukung Ganjar, tidak ada jaminan bahwa ketuanya, Muhaimin Iskandar, akan diusung menjadi calon wakil presiden.
“Semangat politik seperti itu (untuk masuk dalam bursa Capres-Cawapres) adalah hal yang normal di kalangan politisi,” kata Saiful.
Selain itu, PKB juga perlu mempertimbangkan suara dan aspirasi politik Nahdlatul Ulama. Menurut Saiful, ada hubungan yang sangat khusus antara NU dan PKB. Kita tidak bisa membayangkan PKB tanpa NU.
Saiful menyatakan bahwa manifestasi politik NU bisa dalam bentuk banyak partai atau orang NU bisa ada di pelbagai partai, salah satunya PKB. Tapi tidak sebaliknya, bahwa orang PKB bisa ada di pelbagai Ormas lain, tidak.
Karena itu, harus diperhitungkan apakah Ormas NU yang menjadi basis bagi PKB menghendaki koalisi tersebut. Sampai saat ini, kata Saiful, belum terdengar ada opini atau pendapat dari tokoh-tokoh NU tentang rencana koalisi PKB-Gerindra.
Saiful menegaskan bahwa NU secara resmi memang tidak berpolitik, tapi politik organisasi ini dilakukan tanpa lembaga, seperti yang dipraktikkan Makruf Amin, Hasyim Muzadi, atau Abdurrahman Wahid.
“Walaupun secara lembaga NU tidak berpolitik, tapi politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan orang-orang NU,” kata Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini.
Survei SMRC menemukan bahwa ada 9,7 persen publik Indonesia yang mengaku sebagai anggota aktif Nahdlatul Ulama (NU). Yang mengaku anggota NU tapi tidak aktif sebesar 18.1 persen. Artinya ada sekitar 27,8 persen publik yang mengaku sebagai anggota NU. Jumlah ini jauh lebih besar dari pemilih PKB yang hanya 9 sampai 10 persen.
Karena itu, Saiful menyatakan bahwa jika PKB ingin meningkatkan suara dalam Pemilu, caranya adalah dengan makin dekat intensif dengan NU.
“NU adalah ceruk alamiah PKB. Jangan lari ke mana-mana, anda sendiri (PKB) sudah punya kebun yang luas (NU), tinggal dimaksimalkan,” kata Saiful.
Di antara anggota NU yang aktif, 17,4 persen memilih PKB. Sementara anggota NU yang tidak aktif, 16,7 persennya memilih PKB. Yang menyatakan bukan anggota NU, hanya 2,3 persen yang memilih PKB.
“Itu artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara PKB dengan NU,” simpulnya.
“Melihat data hubungan ini, mestinya PKB bertanya pada NU sebelum membangun koalisi dengan Gerindra karena efek dari NU terhadap PKB sangat kuat. PKB tidak bisa mengabaikan unsur NU.” tegasnya.
Saiful mengingatkan bahwa PKB pernah hampir hilang pada Pemilu 2009 ketika mendapatkan suara hanya sekitar 5 persen dari sebelumnya sekitar 10 persen.
Pertanyaannya, siapa yang diinginkan oleh massa NU untuk menjadi presiden? Survei SMRC menunjukkan bahwa dari 9,7 persen warga yang mengaku sebagai anggota aktif NU, 37,8 persen memilih Ganjar Pranowo, 35 persen memilih Prabowo, 7,5 persen memilih Anies Baswedan, dan 19,7 persen belum menyebutkan pilihan. Dari 18,1 persen publik yang mengaku sebagai anggota NU tapi tidak aktif, 49,1 persen mendukung Ganjar Pranowo sebagai presiden, 18,6 persen Prabowo, 14,1 persen Anies, dan 18,2 persen belum menjawab. Sementara dari 68 persen publik yang mengaku bukan anggota NU, dukungan pada tiga tokoh ini merata.
“Basis PKB adalah NU, dan orang NU menginginkan Ganjar, bukan Prabowo maupun Anies,” jelas Saiful.
Karena itu, Saiful melihat, koalisi PKB-Gerindra dibuat berdasarkan model top-down, bukan bottom-up atau demand-side sebagaimana proses politik yang terjadi selama ini. Rencana koalisi PKB-Gerindra ini, kata Saiful, adalah pertimbangan elit yang kurang memperhatikan konstituen dan basis Ormas pendukung utama PKB.
Saiful juga menjelaskan bahwa koalisi PKB dan Gerindra tidak punya preseden. Dalam tiga kali pencalonan Prabowo, baik sebagai calon wakil presiden (2009) maupun calon presiden (2014 dan 2019), PKB tidak pernah adalah dalam barisan koalisi partai pendukung Prabowo. Pada 2009, partai ini menjadi pengusung Susilo Bambang-Yudhoyono, sementara dalam dua Pilpres terakhir, PKB mendukung Joko Widodo.
Survei SMRC ini dilakukan secara tatap muka pada 10-17 Mei 2022. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah Berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (stratified multistage random sampling) 1220 responden. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1060 atau 87%. Sebanyak 1060 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,07% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling).
–AKHIR SIARAN PERS–