Senin, Mei 13, 2024
Google search engine
BerandaINKLUSIReligi dan SpiritualitasKasih Kristus Menggerakkan Persaudaraaan

Kasih Kristus Menggerakkan Persaudaraaan

Kasih Kristus Menggerakkan Persaudaraan
I Petrus 1:22
Ebenhaizer Nuban Timo

Tema perenungan Natal tahun 2021 yang ditetapkan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) adalah “Kasih Kristus Menggerakkan Persaudaraan.” Ayat Alkitab yang menjadi rujukan adalah I Petrus 1:22. Mari kita bacakan ayat itu bersama-sama dengan suara keras:

Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.

Ada dua pokok pikiran di ayat itu. Pertama, taat pada kebenaran menyucikan kehidupan kita. Kedua, kehidupan yang suci terlihat dalam dua praktek nyata: mengamalkan kasih persaudaraan dan saling mengasihi dengan segenap hati. Dua pokok ini menarik secara khusus untuk kondisi Indonesia belakangan ini. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia tentu punya alasan memilih tema ini.
Semua agama yang dianut oleh penduduk Indonesia mengajarkan hal yang sama: yakni manusia harus menjalani kehidupan yang suci. Dalam agama Islam salah satu tanda kehidupan yang suci adalah menjauhi hal-hal yang haram. Berwudhu menjadi salah satu syarat kalau hendak menjalankan ibadah. Orang-orang yang berserah diri kepada Allah, swt haruslah suci lahir dan batin.
Dalam agama Kristen, gereja-gereja arus utama menempatkan pengakuan dosa sebagai salah satu unsur penting dalam akta liturgi. Tiap-tiap kali jemaat bertemu untuk beribadah selalu ada akta pengakuan dosa. Di situ secara terbuka umat diminta mengaku betapa hina, nista keji dan penuh aib hidup yang sudah dijalani. Umat diminta mengakui dosa dan aib itu sebelum berjumpa dengan Tuhan.
Tidak ada satu pun peserta ibadah yang merasa tersinggung. Semua ramai-ramai mengatakan hal itu dalam doa. Bahkan terkadang di ujung Doa Pengakuan Dosa umat malah bernyanyi: (menyanyikan kalimat ini) “Di muka Tuhan Yesus, betapa hina diriku. Kubawa dosa-dosaku, di muka Tuhan Yesus” (KJ. 29:1).
Ok. Sampai di sini umat dua agama besar di Indonesia berada dalam satu gerbong kereta api. Tak kenal Islam, tak peduli kristen semua sama-sama mengaku bahwa hidup yang mereka jalani penuh dosa dan nista. Kesucian adalah sebuah pemberian. Kehidupan yang bersih dan noda adalah hadiah dari Allah. Pembersihan dari dosa diperoleh dalam akta ibadah.
Salah satu guna dari ibadah berjemaat adalah menyadarkan manusia agar tidak terus terlena dalam dosa dan tenggelam dalam kehidupan yang kotor. Kita memang belum sepenuhnya bebas dari aib, kesalahan dan dosa. Hidup di luar tempat ibadah selalu saja diwarnai berbagai intrik, sikut menyikut dan persaingan jahat. Dan sering kali kita tidak berdaya menghadapi godaan dan rayuan untuk berlaku serong. Tapi kita tidak boleh kehilangan harapan dan menyerah. Ibadah-ibadah berjemaat berguna untuk membuat nyala api perjuangan melawan dosa tidak padam. Allah yang kepadanya kita datang saat ibadah siap memberikan pengampunan dan pembersihan hidup dari semua noda dan dosa.

Semua kita sama-sama tahu bahwa ibadah-ibadah berjemaat bukan tujuan kehidupan beriman. Pertemuan-pertemuan mingguan yang disebut kebaktian bukan inti kehidupan beragama. Ibadah-ibadah yang terjadwal tiap minggu tidak lain adalah latihan-latihan. Kebaktian adalah momen pemanasan, warming up. Kita berkumpul di ruang kebaktian untuk berlatih bagaimana menjalani hidup yang kudus, suci dan berkenan kepada Allah. Mutu dalam Latihan itu dinilai bukan di ruang doa, tempat bersemedi atau ruang meditasi, tetapi di ruang kehidupan.
Inilah yang ditegaskan dalam I Petrus 1:22. Di situ kita baca dua hal tadi: kehidupan yang suci terlihat dalam dua praktek nyata: mengamalkan kasih persaudaraan dan saling mengasihi dengan segenap hati. Tempat bagi dua praktek ini tidak di gedung kebaktian atau ruang doa dan meditasi, tetapi di ruang kehidupan, tempat kerja dan kehidupan keluarga. Anda boleh memperbanyak aktivitas dosa, melipatgandakan kegiatan memuji, juga menjalani dengan ketat dan tertib puasa serta perenungan firman, tetapi kalau di keluarga, tempat kerja dan ruang kehidupan anda kikir, egois, pelit, suka menyebar gossip, menfitnah sesama, curiga terhadap orang lain, menyebar tuduhan, melakukan pembunuhan karakter, menindas orang kecil, memperkaya diri sendiri, maka ratusan aktivitas doa dan kegiatan memuji serta puasa dan perenungan firman hanyalah sebuah kesalehan kosong, sebuah sandiwara penuh kebohongan.

Hidup beragama orang-orang Indonesia masih belum bagus di poin kedua, yakni mengamalkan kasih persaudaraan dan saling mengasihi dengan segenap hati. Kalau di poin satu, hidup keagamaan orang Indonesia bisa dikasih jempol dua tangan. Lihat saja gedung-gedung ibadah umat penuh sesak dalam acara-acara doa bersama. Tetapi apakah masyarakat kita sudah bebas korupsi, tidak ada lagi kekerasan dalam rumah tangga dan cekcok dalam keluarga, serta berbagai praktek ketidakadilah dan penindasan?
I Petrus 1:22 menegaskan bahwa kehidupan yang suci terlihat dalam dua hal: mengamalkan kasih persaudaraan dan saling mengasihi dengan segenap hati. Kesucian bukanlah sebuah prinsip untuk dihafal, dijadikan bahan ceramah, khotbah atau sekedar diucapkan. Kesucian itu wajib dipraktekan. Ruang untuk mempraktekkan kesucian itu, menurut I Petrus 1:22 ada dua. Perhatikan penggunaan kata yang berbeda: kasih persaudaraan dan mengasihi.

Ungkapan kasih persaudaraan menunjuk kepada ruang praktek pertama, yakni kasih di dalam keluarga: antara orang tua dan anak-anak, antara kakak dan adik, antara ipar dengan ipar, antara om-tante dan keponakan-keponakan, juga antara keluarga inti dan keluarga besar. Ungkapan “mengasihi dengan segenap hati menunjuk kepada ruang kedua, yakni dalam masyarakat, yakni dengan tetangga, orang-orang satu kampung, satu kota dan satu negara, bahkan seluruh penduduk dunia. Di ruang kedua ini termasuk juga mengasihi alam dan lingkungan hidup.

Kalau dua poin ini kita ringkas maka hasilnya adalah sebagai berikut. Poin pertama, cintailah keluargamu (love your family). Poin kedua, kasihilah sesama dan bumi (love your neighbor and the earth). Keluarga atau family, menunjuk kepada semua yang memiliki hubungan darah, marga atau kerabat, sedangkan sesama adalah semua orang yang kita temui, tak peduli jenis kelaminnya, usianya, gajinya, warna kulitnya, asal sukunya, agama yang dipeluknya dan negara asalnya. Orang-orang yang sudah disucikan oleh Allah wajib menunjukkan kesuciannya dalam dua aras ini.

Love your family. Cintailah keluargamu. Itu kira-kira wujud pertama dari mempraktekan kesucian hidup. Keluarga kita tidak pernah sempurna. Istri bukan pribadi tanpa kelemahan. Suami bukan juga superman, anak perempuan dan laki-laki dalam perkawinan bukan malaikat-malaikat tidak bercacat. Kalau anda hidup hanya untuk menghitung kekurangan, kelemahan, keterbatasan ayah atau ibu, kakak atau adik, om atau tanta, pasti anda akan kecewa berat memiliki mereka. Tidak boleh begitu. Jangan hitung kelemahan dan keburukan saudaramu, tetap perhatikan kebaikan dan kasih yang mereka berikan dan akan selalu berikan. Maka pasti anda bersyukur karena punya adik dan kakak; om dan tante.
Kalau kita periksa cerita-cerita dalam peristiwa kelahiran Yesus perhatian pada mencintai keluarga adalah jelas dan tegas. Allah Bapa bisa bisa saja mengutus Yesus ke bumi tanpa harus lewat keluarga. Tapi, Allah Bapa tidak mau hal itu terjadi. Yusuf dan Maria bukan keluarga ideal. Rumah tangga Zakaria dan Elizabet tidak bebas masalah. Tetapi Allah mau pakai mereka untuk jadi mezbah kelahiran Yesus.
Leluhur-leluhur Yesus, seperti Daud, Betseba, Isai, Obed, Rut, Rahab, Tamar, Yehuda, Yakub, Isak, Abraham, bahkan Habel sampai Adam dan Hawa justru terbelit banyak masalah: cekcok, putar balek, konflik, berebut harta, saling klaim batas tanah, dst. Yesus lahir di tengah-tengah keluarga seperti ini, bukan untuk melanggengkan konflik dan pertikaian. Yesus datang untuk menunjukkan kepada mereka ada jalan keluar dari kerumitan-kerumitan yang membusukan hubungan-hubungan persaudaraan.
Contoh konkretnya kita lihat dalam cerita Yusuf yang diam-diam berencana untuk menceraikan Maria tunangannya. Tapi Malaikat datang untuk mengingatkan Yusuf bahwa menceraikan Maria bukan penyelesaian masalah yang terbaik. Anggota-anggota keluarga tidak boleh keluar di jalan, bertemu RT atau mencari pengacara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Melakukan itu sama dengan mempermiskin diri yang sebenarnya sudah miskin, karena harus bayar pengacara untuk urusan keluarga. Yang harus dilakukan ialah anggota keluarga bertemu untuk mencari jalan keluar bersama. Itu yang kita terus-menerus dengar dalam cerita hidup para bapak leluhur Yesus.
Kain dan Habel pernah menyelesaikan masalah kakak-adik dengan keluar di jalan dan mulai baku pukul, dan baku bunuh. Tetapi apa hasilnya. Darah Habel yang meleleh ke tanah berteriak kepada Allah, dan tanah itu tidak bersedia menerima Kain. Itu sebabnya Kain menjadi orang yang terusir jauh dari tanah di mana darah adiknya menetes. Love your family. Cintailah keluargamu. Itulah kualitas pertama dari kehidupan orang-orang yang hidupnya disucikan oleh Allah. (Jedah sejenak)
(menyanyikan bagian ini) Sungguh! Alangkah baik, alangkah baik dan alangkah indah. Alangkah baik…, bila saudara diam bersama. Bila sesama saudara hidup rukun. Diam bersama dengan rukun. Alangkah indah hidup rukun…. (membacakan bagian ini) Karena ke sana Tuhan memrintahkan…. Berkat kehidupan selama-lamanya. (lalu ajak peserta ibadah untuk menyanyikan bersama penggalan kalimat terakhir tadi). Inilah bobot pertama dari kehidupan orang-orang yang merayakan Natal. Amin, saudara?
Ok sekarang bobot kedua dari kehidupan orang-orang yang merayakan Natal. Kasihilah sesamamu dengan segenap hatimu. (jedah agak lama…) “dan siapakah sesamaku manusia itu?” Walaupun ini adalah pertanyaan ahli Taurat kepada Yesus, tetapi pertanyaan ini patut kita perhatikan karena kita seringkali membatasi sesama hanya pada orang-orang satu darah, satu kampung asal, satu profesi, satu derajat sosial atau orang yang berbuat baik kepada kita. Ini betul, tetapi orang bukan kristen dan yang tidak pernah merayakan Natal juga melakukan hal yang sama.

Orang kristen harus beda dengan orang-orang dunia, juga dalam hal pandangan terhadap sesama. Di peristiwa kelahiran Yesus, Allah memperlihatkan bahwa sesama bukan hanya orang satu keluarga, satu kampung asal, satu agama atau yang suka puji-puji dan sanjung-sanjung. Orang yang berbeda kampung dan beda agama juga adalah sesama. Lihatlah pada Orang-Orang Majus yang dibimbing oleh Allah lewat sebuah bintang ke Betlehem. Mereka tidak seagama dengan Yesus. Lihat juga gembala-gembala yang dianggap kaum gembel dan gelandangan. Mereka juga diundang Allah datang ke palungan.
Kasihilah sesamamu. Atau lebih tepat, jadilah sesama bagi orang-orang yang ada di sekitar kita, apa pun juga pekerjaannya, tanpa peduli bagaimana tampang dan penampilan luarnya. Yesus datang untuk mengajar kita menjadi sesama bagi orang-orang yang sering dianggap bukan manusia (nobaodies). Bagi orang-orang beragama di Indonesia poin kedua ini masih merupakan pekerjaan rumah melelahkan. Kalau PR ini tidak berhasil dikerjakan, makin sulit bagi Indonesia ke depan.

Tapi jalan keluar tentu akan selalu terbuka, asal kita, terutama mereka yang merayakan Natal mulai mempraktekan dua poin tadi. Selamat Hari Natal. Yesus datang untuk menggerakkan persaudaraan dan menghapuskan kebencian, irihati dan permusuhan. Tuhan kiranya menolong kita 💓🎄🙇‍♂️.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments