Taklale.Com-Kupang, Bahasa Melayu Kupang, atau sering disebut bahasa Kupang, bukan varian lain dari bahasa Indonesia, bukan juga “adik” dari bahasa Indonesia melainkan keduanya sama-sama varian yang berkembang dari bahasa Melayu. Karena itu bahasa Kupang disebut Melayu Kupang, bukan Bahasa Indonesia Kupang.
Bahasa ini berkembang dari sebuah bahasa Pijin (pidgin language) kemudian menjadi bahasa kreol (Creol) seperti yang kita gunakan sekarang. Perkembangan Bahasa Melayu keluar spherenya telah berlangsung sejak awal era Masehi akibta hubungan perdagangan dengan India. Bahasa ini dengan segala variannya (varian istana/sastra maupun varian pasar) tersebar jauh ke timur Nusantara bahkan sampai Kalimantan, Maluku dan Filipina.
Pernyebarannya sangat didorong oleh perdagangan dan karena itu pengaruhnya sangat kuat terutama di Kota-kota pelabuhan di timur seperti Manado, Ambon, Kupang, dan Larantuka. Ketika masih sebagai bahasa pidgin, cakupan dan penggunaannya sangat terbatas terutama untuk transaksi dagang. Demikian juga kosa katanya terbatas. Tetapi ketika sudah sangat sering digunakan dan bahkan digunakan oleh sebuah komunitas maka penggunaan sudah semakin kompleks bukan hanya untuk perdagangan saja. Itulah bahasa kreol. Walaupun grammar dan sebagian besar kata-katanya adalah kata bahasa Melayu, tetapi bahasa Melayu versi setempat ini biasanya juga menyerap kosa kata dari kebudayaan dominan yang berlangsung pada masa tertentu. Misalnya kebudayaan kolonial pernah menjadi dominan maka kata-kata Belanda pun ada yang diserap. demikian juga suku tertentu yang dominan dalam pergaulan komunitas baru yang terbentuk akan menyumbang kosa kata lebih banyak ke dalam bahasa kreol ini.
Itulah sebabnya dalam Melayu Kupang misalnya terdapat banyak kata bahasa Belanda, kata bahasa Portugis. Jadi backbonenya adalah bahasa Melayu pasar, tetapi kosa katanya beragam tergantung siapa yang dominan. Dalam Melayu Kupang juga bisa dijelaskan mengapa kosa kata suku tertentu seperti kosa kata bahasa Rote banyak mendominasi. Karena suku Rote cukup dominan dalam pergaulan sosial politik di kota Kupang misalnya.
Tidak heran kata-kata seperti kaboak, raroso, mastunu, masnanaok ada dalam bahasa Kupang. Orang Kupang mungkin tidak tahu lagi dari mana tepatnya asal kata-kata itu dan apa artinya sebenarnya. Kadang artinya sudah bergeser jauh. Jadi coba perhatikan. Bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Kupang sama-sama meminjam dari bahasa Portugis, namun ada kata-kata yang hanya ada dlm bahasa Kupang dan tidak ada dalam bahasa Indonesia. Itu karena keduanya adalah sama-sama berkembang dari bahasa Melayu.
Jadi bahasa Kupang bukan dari Bahasa Indonesia. Kotong ame contoh beberapa kata sama ke anonak, harbabiruk, kintal, lencu, kujawas, anteru, kunyandu, nyora sonde ada dalam bahasa Indonesia. Kunyandu misalnya, ame dari kata Portugis cunhado yang artinya ipar laki-laki. Kalau ipar parampuan namanya cunhada. Ma karna kotong pung laki-laki jarang kawin deng parampuan Portugis, hanya laki-laki Portugis yang datang sini ko kawin deng kotong pung parampuan maka yang jadi terkenal hanya kata kunyadu. Kotong hanya tau kata Kunyadu. Sadangkan kata Kunyada amper-amper kotong son kenal. Kata nyora berasal dari kata Portugis senhora. Di bahasa Indonesia itu kata jadi “nyonya” sementara di bahasa Kupang jadi “nyora”. Bahkan pada jaman Belandapun, guru-guru pung bini biasa dipanggil nyora. Bet pung nene yg istri guru dulu orang dong pange “nyora Lenggu”. Bt the way, rasa to kalau beta tiba tiba tulis dlm bahasa Malay Kupang?
Jadi bahasa Kupang bukan bahasa pasar dari bahasa Indonesia ya. Keduanya berkembang dr akar yg sama. Bahkan bisa dipastikan secara formal bahasa Melayu Kupang lebih tua karena ketika Sumpah Pemuda pada 1928 barulah Bahasa Indonesia diaku sebagai bahasa dari bangsa wannabe Indonesia. Sedangkan bahasa Kupang sudah digunakan secara luas saat itu. Juga bahasa Indonesia harus mengalami beberapa Kongress bahasa dan harus “dibaptis” mengalami sejumlah formalitas perubahan ejaan sampai jadi seperti sekarang, sedangkan bahasa Kupang aman-aman saja, meluncur trus.
Sama halnya dengan varian bahasa Melayu lainnya di timur Indonesia seperti Melayu Ambon, Manado, Makassar, dan Larantuka. Bahasa-bahasa ini bukan versi “pasar” dari bahasa Indonesia melainkan sama2 berkembang dari Bahasa Melayu. Untuk kasus Melayu Larantuka malah lebih tua lari karena dipopulerkan para Portugis Hitam (Topas) dan keturunannya.
Peleburannya dg bahasa daerah juga sdh sangat kuat sehingga hampir hsmpir tidak direconize sbg bahasa Melayu lagi. Masih ingat lagu tahun 70an yg dinyanyikan Ingrid Fernandes? ‘Bale Nagi’? Mirip mirip Melayu kan? Bale=kembali, Nagi = negeri. Kembali ke negeri alias pulang kampung kan? Jelas unsur Melayunya kuat. Dan bahasa Larantuka itu ada jauh sebelum ada bahasa Indonesia ya, sebelum ada lembaga buatan Belanda seperti Balai Pustaka. Jelas lebih tua dong dari Bahasa Indonesia dong.
Untuk informasi lebih lanjut lihat Pengantar yang saya tulis tentang Sejarah Bahasa Melayu Kupang yang saya tulis untuk buku Romo Amanche F. Oe Ninu, “Siklaloti”.
Sumber : Fb Matheos Viktor Messakh