Senin, April 29, 2024
Google search engine
BerandaSAINSPendidikanHIDUP BERARTI DI PELOSOK NEGERI

HIDUP BERARTI DI PELOSOK NEGERI

Oleh: Alex Japalatu

Hidup Siti Saudah (32) dalam lima tahun terakhir ini berkisar antara kost dan SD Lawinu di Tanarara, Desa Katikutana, Kecamatan Matawai La Pawu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Kedua tempat ini terpaut satu kilometer.

Tanarara adalah daerah pedalaman di bagian selatan Kabupaten Sumba Timur. Perlu waktu sekitar 3 jam dari Waingapu, ibukota kabupaten, untuk tiba di sana dengan kendaraan double cabin. Kendaraan jenis lain bisa masuk, namun dengan waktu tempuh yang lebih lama. Sebab sebagian besar badan jalan telah terkelupas aspalnya, dan pada banyak bagian terdapat lubang menganga di tengah jalan.

“Di sini jauh dari keramaian tapi menyenangkan. Anak-anak mau menerima saya, juga masyarakat sangat baik,” kata Siti Saudah. Ia kami jumpai di SD Lawinu pada akhir Januari 2022 lalu.

Siti Saudah, yang disapa Rambu Halang oleh warga di sana, mengikuti Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) begitu lulus dari jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang pada 2011. Ia ditugaskan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Kawasan ini salah satu yang terdampak tsunami pada Desember 2004. Tapi lebih dari itu, orang Aceh terlanjur curiga terhadap pendatang dari luar, apalagi dari Jawa.

“Saya dicurigai sebagai mata-mata pemerintah. Tapi lama-kelamaan warga bisa percaya bahwa saya ke sana buat mengajar. Bukan untuk kepentingan politik,” jelasnya.

Usai menyelesaikan satu tahun pengabdiaannya di Aceh Besar, Siti Saudah mendapatkan bonus beasiswa kuliah PPG (Pendidikan Profesi Guru). Setelah lulus PPG ia mengajar di Pati, Jawa Tengah. Berarti ia pulang kampung. Jika ingin hidup nyaman, tak ada lagi “utang” yang perlu dibayarkan kepada pemerintah. Jalan menuju Pegawai Negeri Sipil terbuka lebar.

Mengajar di kota menjadi idaman banyak guru. Fasilitas yang menunjang proses belajar-mengajar tersedia dengan baik. Serta akses yang mudah ke sekolah. Dan informasi yang dapat diperoleh dengan gampang dari internet.

“Karier saya lumayan baik di sana dan banyak kemudahan karena tinggal di kota. Tapi hati kecil saya terusik. Saya teringat waktu mengajar di Aceh Besar. Ternyata masih banyak tempat terpencil di Indonesia yang membutuhkan guru seperti saya,” kata Siti yang pernah mengajar di SMA 3 Pati, antara 2014-2017.

Ketika kesempatan mengabdi sebagai guru di daerah 3T dibuka oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015, Siti masih mengabaikan tawaran itu. Ia merasa sudah nyaman mengajar di Pati. Pada tahun 2017 ketika kesempatan dibuka kembali Siti tak bisa mengelak. Panggilan jiwanya untuk mengabdi ke daerah tertinggal tak terbendung lagi.

“Di kota pasti banyak yang mau mengisi posisi saya. Tapi kalau saya tidak mau datang ke sana (daerah pedalaman), ya pasti tidak ada yang mau,” kata dia.

Namun ia kurang percaya diri juga. Beragam pertanyaan hinggap dalam pikirannya. Bagaimana kalau tidak betah? Bagaimana dengan budaya setempat? Bagaimana kalau pedalaman tempat ia bertugas sangat jauh dari kota? Bagaimana dengan transportasi, dan lain-lain hal.

“Saya bilang pada diri saya sendiri, ‘tokh, nanti kalau tidak betah, ya pulang saja’,” ia tertawa ngakak.

Ia memilih Pulau Lombok. Hitung-hitung agak dekat dengan Jawa. Namun pada penentuan terakhir, tak disangka ia mendapatkan kabupaten Sumba Timur. Yakni ke SD Lawinu. Kawasan ini berada di pinggir Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

Pulau Sumba belum pernah ia bayangkan.

Tetapi ia berani datang. Layar sudah terbentang. Perjalanan Waingapu-Tanarara sungguh menantang. Ia berkendara selama berjam-jam melingkari perut-perut bukit dan savana luas. Jalanan berlubang di sana-sini. Hanya ada kendaraan truk sebagai alat transportasi. Meskipun ada listrik, namun sesewaktu bisa macet, karena cuaca. Sinyal HP di daerah ini berada di titik “E”, sedikit di atas kecepatan GPRS. Padahal di sana ada tower sebuah provider selular. Suatu hari kelak, atas jasanya, operator menaikkan ke tingkat 4G untuk daerah itu.

“Hanya ngobrol biasa dengan operator di Waingapu. Mereka bilang tidak mungkin dinaikkan jadi 4G karena jarang yang punya android. Saya bilang, justru kalau dinaikkan, akan banyak yang punya android. Dan terjadi demikian,” jelas Siti.

Kendala lain segera menyambutnya. Ia menumpang tinggal di rumah seorang guru. Namun di sana sangat ramai sebab juga menampung anak-anak dari daerah yang jauh, yang bersekolah di ibukota kecamatan. Lebih dari itu, sebagai seorang muslimah, Siti Saudah cukup terganggu dengan hewan peliharaan berupa babi dan anjing yang dibiarkan berkeliaran.

Sebab itu ia hanya tahan dua bulan. Lalu mendatangi kepala desa dan minta diberi tempat tinggal sendiri.

“Yang penting saya tidak ikut orang agar bisa bebas menentukan apa yang akan saya lakukan. Kepala desa tanya ‘Ibu berani tinggal sendiri’? Saya jawab ‘asal masyarakat tidak ganggu saja’. Oh, ternyata di sini sangat aman. Saya diberi bangunan kosong yang lama tidak dipakai di sebelah Taman Nasional. Kami bersihkan, ditata lagi, jadilah saya tinggal di sana sampai sekarang,” jelas Siti.

Kondisi di SD tempat ia mengajar jauh dari ideal. Gedung sekolah berada di atas bukit, yakni dua unit bangunan yang mulai dimakan usia. Sementara murid-muridnya sebagian besar anak-anak petani yang datang ke sekolah bertelanjang kaki. Mereka berjalan selama satu jam atau lebih, mendaki bukit-bukit yang tandus dari kampung mereka nun di kaki bukit. Syukur-syukur bisa memakai seragam. Tingkat ketidakhadiran murid cukup tinggi oleh berbagai sebab.

“Saya langsung jatuh hati melihat mereka. Pikirku, kasihan sekali. Meskipun saya juga lahir dari keluarga kurang berada, namun hidup saya jauh lebih beruntung karena bisa sekolah di tempat yang bagus. Sedih saya lihat anak-anak itu. Saya hanya ingin bersyukur dengan keberuntunganku dengan mengabdi buat anak-anak ini,” kata Siti. Suaranya bergetar.

Hal yang segera menarik perhatiannya adalah kondisi pelaporan keuangan sekolah yang semrawut. Padahal ini poin yang penting sebab terkait dengan biaya operasional sekolah. Kalau administrasi keuangan tidak beres, bagaimana operasional sekolah bisa berjalan?

Sembari beradaptasi dengan lingkungan barunya, Siti mulai menata laporan keuangan sejak 2006 dengan membuat sistem pelaporan yang mudah dipahami. Setiap pengeluaran ada kuitansinya. Siti selalu mengajak guru-guru untuk mengikuti langkahnya bila melakukan hal-hal baru. Demikian pula dalam membuat laporan keuangan ini.

“Saya sadar tak akan selalu berada di sini. Sehingga kalau saya sudah pergi dari Sumba, mereka bisa melakukannya. Tak tergantung lagi,” prinsipnya.

Usai menangani administrasi keuangan, kini giliran tugas yang lebih berat yakni membuka wawasan rekan gurunya. Terutama yang terkait dengan pembelajaran dalam kelas dan penguasaan teknologi informasi.

Sekolah memiliki sebuah laptop yang tak berani disentuh oleh guru lain. Kecuali kepala sekolah. Sebab takut rusak. Siti mengajak mereka untuk berani mengoperasikan barang tersebut. Perlu waktu setahun untuk menumbuhkan keberanian dan berlatih. Kini sudah ada 9 laptop di sana dan sebuah PC. Setiap orang memakai satu laptop. Guru-guru sudah bisa browsing bahan pembelajaran dari internet, membuka email dan rapat melalui aplikasi zoom.

Tahun 2021 lalu ketika ada Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK), beberapa sekolah di sekitar mereka berkumpul di SD Lawinu untuk memakai fasilitas dan diajari cara memakai laptop oleh guru-guru di sana.

“Baru guru-guru di sini yang bisa pakai laptop,” kata Arce Babang Matang, S.Pd., Kepala Sekolah SD Lawinu.

Dalam hal pembelajaran, para guru menurut dia hanya mengajar sesuai tuntutan tugas dengan memakai metode lama. Yakni menyampaikan pelajaran dan siswa bertugas mendengarkan atau mencatat.

“Mereka tidak mengenali bagaimana kondisi setiap muridnya. Bahkan beberapa guru tak tahu nama dan latar belakang muridnya,” kata Siti.

Siti Saudah yang mengajar di kelas 4 mendapatkan kenyataan rendahnya kemampuan membaca dan berhitung siswanya. Dari seluruh siswa hanya 5 anak yang bisa membaca agak lancar. Enam orang bisa mengeja kata, dan enam orang lainnya sama sekali belum mengenal huruf.

“Saya bertanya-tanya dalam hati, kalau kelas empat saja masih seperti ini, bagaimana dengan kelas di bawahnya?” kata dia. Kenyataan di kelas bawah seperti dugaan Siti. Hampir seluruh siswa belum bisa mengeja dan menuliskan huruf.

Bertemu INOVASI
Awal tahun 2018 Siti dipilih menjadi salah satu Fasilitator Daerah (Fasda) untuk program literasi dan numerasi dasar, kerjasama Pemerintah Kabupaten Sumba Timur dan INOVASI. Kabupaten Sumba Timur adalah salah satu kabupaten yang tingkat literasi dan numerasi dasarnya tergolong rendah di NTT menurut hasil penelitian Program Kemitraan untuk Pengembangan Kapasitas dan Analisis Pendidikan (ACDP). Siti salah satu dari 62 Fasda yang direkrut Pemda.

Tugas mereka adalah melatihkan modul-modul pelatihan INOVASI kepada pendidik kelas awal (kelas 1, 2 dan 3) pada 13 kecamatan yang menjadi penerima program oleh daerah. Kecamatan-kecamatan ini merupakan kecamatan di luar empat kecamatan yang sudah menjadi dampingan dan dibiayai INOVASI, serta satu kecamatan lainnya yang ditalangi oleh INOVASI dan Pemda Sumba Timur.

Kehadiran Inovasi dalam pelatihan-pelatihan Fasda sangat membantu tugas Siti. Sebab melalui berbagai pendampingan dan pelatihan, Inovasi mengenalkan metode mengajar yang memudahkan siswa cepat menyerap pembelajaran.

Terutama tentang strategi mengajar, konsep belajar, guru kreatif, mengajar di kelas awal, dan cara meningkatkan kemampuan literasi siswa di kelas awal. Setelah mengikuti pelatihan, para Fasda akan menularkan ilmu yang didapat kepada guru-guru di sekolah mitra INOVASI. Diharapkan semua guru yang menjadi mitra INOVASI mempunyai kemampuan yang sama dalam mengajar.

Pelatihan yang diberikan oleh Inovasi menurut Siti, berisi pemahaman bahwa kompetensi inti dan kompetensi dasar guru perlu dikembangkan. Supaya sesuai dengan kebutuhan siswa. Sebab itu, guru perlu merancang media pembelajaran sederhana dengan memanfaatkan media belajar di sekitarnya. Mudah diperoleh, sederhana, murah namun efektif.

Antara lain Inovasi mengembangkan media big book yang berisi cerita sederhana disertai gambar. Satu gambar dalam big book dibuat sesuai dengan satu kalimat atau satu paragraf yang ada di buku cerita. Setiap kalimat atau paragraf memiliki gambarnya sendiri-sendiri. Hal ini yang akan menarik minat siswa untuk belajar dan fokus pada apa yang diceritakan. Media ini dibuat dengan ukuran yang besar sehingga siswa yang duduk di belakang tidak akan kesulitan melihatnya.

Para Fasda kata Siti, juga melakukan microteaching atau praktik mengajar untuk melatih kemampuan dalam mendampingi guru-guru di sekolah. Salah satu guru mengajar dan yang lain mengamati serta memberi masukan agar siap untuk mendampingi guru-guru di sekolah mitra INOVASI.

“Tugas saya memberikan pelatihan kepada guru kelas rendah se-Kecamatan Matawai La Pawu dan melakukan pendampingan untuk sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah sasaran. Sejak ada Inovasi kami sangat terbantu terutama dalam metode mengajar. Guru-guru juga sangat bersemangat,” kata Siti. Pada prinsipnya, kata dia, tugas Fasda adalah meningkatkan kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran yang maksimal di kelas.

Siti tak sekadar bicara. Ia memberi contoh dengan merancang sendiri bahan ajar yang mudah dipahami murid-muridnya. Ia menunjukkan materi Bahasa Indonesia sekaligus Sains tentang metemorfosis kupu-kupu.

Terdapat gambar kupu-kupu sejak dari kepompong. Disertai dengan kata-kata sederhana bagi yang belum bisa membaca. Dan menyusun kalimat untuk yang sudah mampu membaca.

“Kalau sudah lancar mereka saya arahkan ke bacaan. Meningkat dari bacaan pendek ke bacaan yang panjang,” jelas Siti.

Belajar Dalam Masa Pandemi
Tiba-tiba pandemi COVID-19 melanda dunia. Pemerintah menghentikan proses belajar-mengajar untuk mengurangi penularan virus ini. Sekolah tatap muka ditiadakan untuk sementara waktu.

Siti Saudah dan rekan-rekannya mengikuti aturan yg berlaku.

“Kalau masih zona hijau di kecamatan, kami tatap muka terbatas. Kalau zona kuning pakai titik kumpul. Kalau sudah zona merah kami hanya bisa kunjungan ke satu rumah. Kami ikuti petunjuk dari Kurikulum Khusus yang sudah diberikan oleh Inovasi,” jelasnya.

Rumah siswa yang jauh dan tidak bisa dimasuki kendaraan bermotor dijangkau dengan berjalan kaki. Siti sering berjalan kaki naik-turun bukit. Berjam-jam.

Untuk kunjungan rumah atau titik kumpul, menurut dia, para guru memberikan pembelajaran sekitar 1-2 jam sebelum membagikan lembar kerja secara individu untuk siswa belajar dari rumah. Lembar kerja ini mereka rancang sendiri sesuai dengan kebutuhan siswa.

Mengajar anak-anak di pelosok menjadi kesenangan bagi Siti Saudah. Setiap hari selalu ada hal baru yang ia dapatkan. Seperti kisah di bawah ini:

“Di mana ibukota Indonesia?”

“Kupang,” jawab anak-anak serempak.

“Tunggu kalau kalian sudah jadi Presiden bisa kasih pindah ibukota negara ke Kupang,” jawab Bu Siti.

Setelah itu anak-anak ramai unjuk jari. Mereka mau bicara.

“Kalau saya jadi presiden bisa buat bandara di sini kah?”

“Bisa pasang listrik juga kah?”

Oh, rupanya semua ramai-ramai ingin menjadi presiden.

“Saya bilang kepada anak-anak, tidak harus menjadi presiden dulu untuk bisa melakukan seperti yang kalian cita-citakan. Yang penting belajar dan bekerja keras,” kata Siti.

Semangat anak-anak untuk belajar ini yang membuat Siti Saudah betah mengajar di pelosok negeri yang jauh.

“Saya terikat oleh semangat mereka. Di sini semoga saya sedikit berarti bagi sesama,” kata dia. (Lex)

(sumber dan foto laman Facebook Alex Japalatu yang diposting pada Jumat, 8 Juli 2022)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments