Siaran Pers
SAIFUL MUJANI RESEARCH AND CONSULTING (SMRC)
Jakarta, 1 September 2022
Fenomena swing voters atau pemilih yang bisa berpindah dari satu partai ke partai lain masih cukup besar di Indonesia. Pemilih swing ini bisa mengubah komposisi dukungan partai-partai politik di Indonesia pada Pemilu 2024. Ada dua partai yang memiliki pemilih loyal dan tidak mudah pindah, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat. Sementara dua partai yang terancam kehilangan kesempatan lolos ke Senayan adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan.
Demikian analisa ilmuwan politik Prof. Saiful Mujani dalam program Bedah Politik bertajuk ”Pergeseran Pemilih Partai Menjelang Pemilu 2024” yang tayang di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 1 September 2022. Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/y8fONfZEq88
Saiful menjelaskan bahwa dari Pemilu ke Pemilu, partai yang mendapatkan suara terbanyak bisa berganti-ganti secara ekstrim. Ini disebut sebagai fenomena swing voters. Tapi dalam dua Pemilu terakhir, kata Saiful, komposisi perolehan suara partai relatif stabil. Hanya saja, ada partai yang hilang, juga ada partai yang melemah. PDIP, misalnya, naik sekitar 1 persen dibanding Pemilu 2014. Artinya pasti ada partai yang jadi korban, walaupun itu hanya 1 persen. Bisa dilihat bahwa partai yang cukup besar turun suaranya adalah partai Golkar.
Bersamaan dengan naiknya PDIP, juga bisa dilihat kenaikan yang cukup signifikan pada partai Gerindra. Dilihat dari total suara, pemilih Gerindra lebih banyak dibanding Golkar, walaupun kursi Golkar di parlemen lebih banyak dari kursi Gerindra, karena nilai suara di basis-basis Golkar lebih murah dibanding Gerindra.
Juga ada kenaikan suara pada Nasional Demokrat (Nasdem), dari 7 persen menjadi sekitar 9 persen. Pada saat yang sama, ada penurunan cukup tajam pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Artinya, menurut Saiful, ada perubahan-perubahan pemilih. Yang tadinya, misalnya, memilih PPP menjadi tidak memilih partai tersebut, pindah ke partai yang lain.
Untuk melihat partai mana yang memiliki pemilih yang loyal dan tidak, SMRC melakukan survei opini publik secara nasional dengan mengajukan pertanyaan pada para pemilih yang ikut Pemilu 2019: “kalau bapak atau ibu memilih sekarang, partai mana yang akan dipilih?”
PDIP DAN DEMOKRAT STABIL
Hasilnya adalah pemilih PDIP di 2019 yang menyatakan akan kembali memilih PDIP sekarang sebanyak 73,9 persen. Apakah artinya pemilih PDIP yang lain tidak loyal? Saiful menyatakan belum tentu karena untuk kasus PDIP, tidak ada angka yang signifikan yang pindah ke partai yang lain. Ditemukan ada 2,7 persen pemilih PDIP yang pindah ke Golkar, tapi ini angka yang tidak signifikan secara statistik. Pada kasus pemilih PDIP yang tidak menyatakan akan memilih kembali PDIP ini justru lebih banyak masuk ke kelompok yang belum menentukan pilihan atau wait and see, sekitar 16,7 persen.
“Dibanding dengan partai yang lain, pemilih PDIP relatif stabil,” kata pendiri SMRC tersebut.
Dalam kondisi ini, kata dia, jika PDIP berhasil merebut dan menampung perpindahan pemilih dari partai lain, partai berlambang banteng dengan moncong putih ini memiliki potensi untuk mengalami kenaikan suara. Alasannya adalah karena yang menyatakan akan pindah ke partai yang lain sangat tidak signifikan. Sementara yang menyatakan tidak tahu atau tidak jawab juga relatif normal atau tidak terlalu besar dibanding dengan partai-partai lain, sekitar 16,7 persen
Partai kedua yang memilih pemilih yang relatif solid adalah Partai Demokrat. Ada 73,6 persen pemilih Demokrat 2019 yang menyatakan akan kembali memilih Demokrat. Yang belum menentukan pilihan cukup kecil, 7,7 persen. Sementara yang akan mengancam adalah PDIP dan Gerindra (5,7 persen dan 5,4 persen).
Saiful menyebut PDIP dan Gerindra sebenarnya satu warna dengan Demokrat. Dia menjelaskan bahwa dalam kasus Pemilu 1999, PDIP mendapatkan suara 34 persen sementara Partai Demokrat belum ada. Pada 2004, ketika Partai Demokrat muncul dan mendapatkan suara 7 persen, sementara PDIP mengalami penurunan suara yang cukup tajam menjadi sekitar 18 persen. Artinya ada irisan antara pemilih PDIP dan Demokrat.
Selain itu, keluarga tokoh utama kedua partai juga berasal dari wilayah yang sama, Jawa Timur. SBY orang Pacitan dan keluarga Soekarno berasal dari Blitar.
GERINDRA, GOLKAR, PKB, NASDEM, DAN PKS DINAMIS
Selain PDIP dan Demokrat, partai-partai lain mengalami perubahan komposisi suara yang dinamis.
Ada 9,6 persen pemilih Gerindra yang pindah ke Golkar pada survei ini. Yang pindah ke PDIP 4,8 persen dan PKS 3,9 persen. Sementara yang tetap akan memilih Gerindra sebesar 62,7 persen. Ada 13,5 persen yang belum menjawab. Saiful menyebut bahwa Golkar, PDIP, dan PKS mengganggu stabilitas suara partai Gerindra.
Mengapa Golkar potensial menarik sebagian suara Gerindra? Saiful menjelaskan bahwa dalam banyak hal, pemilih kedua partai tersebut beririsan.
Saiful menyatakan bahwa Prabowo sendiri awalnya adalah orang Golkar dan pernah maju menjadi bakal calon presiden dari Golkar. Dia adalah mantan tokoh Golkar. Jadi logis kalau kadang-kadang pemilihnya ke Gerindra dan kadang-kadang pindah ke Golkar.
“Mereka (Gerindra dan Golkar) berada di dalam ceruk pemilih yang sama,” kata Saiful.
Sementara alasan pindah ke PDIP karena Gerindra dan PDIP juga memiliki kemiripan ideologis. Sama-sama partai nasionalis. Dan dalam beberapa hal, Prabowo juga sering meniru sosok Soekarno. Ada simbol-simbol tentang politik kerakyatan dan nasionalisme yang kuat yang ditunjukkan oleh Gerindra.
Saiful juga menjelaskan kepindahan 3,9 persen pemilih Gerindra pada 2019 ke PKS sekarang. Saiful menyatakan bahwa selama ini Prabowo didukung oleh para pemilih PKS. Dengan masuknya Prabowo ke dalam koalisi pemerintahan, ada unsur di dalam Gerindra yang anti-pemerintah yang kemudian pindah ke PKS. Di dalam Gerindra, kata Saiful, ada unsur kelompok oposan pemerintah. Itu logis karena itu merupakan hasil mobilisasi sebelumnya untuk melawan kelompok politik pemerintah. Kelompok oposan ini kemudian melihat PKS sebagai wadah untuk menampung aspirasi mereka.
Sementara pemilih partai Golkar yang loyal 60,7 persen. Perpindahan pemilih partai ini lebih banyak ke PDIP (10,7 persen) dan Gerindra (5,4 persen). Ada 15,1 persen yang belum menjawab.
“PDIP yang mengancam Golkar dalam hal ini,” kata Saiful.
Hal yang sama terjadi pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pemilih PKB paling potensial pindah ke PDIP. Dalam survei ini, ada 8,5 persen suara PKB di 2019 yang pindah ke PDIP. Ada 10,4 persen yang belum menentukan pilihan.
“PDIP banyak mengambil dan menampung pemilih dari partai-partai lain,” simpul Saiful.
Saiful melihat perpindahan suara PDIP dan PKB relatif bisa terjadi karena kedua partai ini memiliki basis wilayah yang mirip, keduanya kuat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Karena itu kalau ada pemilih yang kadang masuk ke PKB dan di lain kesempatan masuk ke PDIP, itu logis.
Yang mengancam suara partai Nasional Demokrat (Nasdem) juga adalah PDIP. Survei ini menunjukkan ada 20 persen pemilih Nasdem di 2019 yang sekarang pindah ke PDIP. Sementara yang belum menjawab sebanyak 14,8 persen.
“Yang sangat signifikan yang bisa mengancam Nasdem adalah PDIP,” kata Saiful.
Swing voters PKS lebih banyak pindah ke partai Demokrat, 10,5 persen. Partai kedua yang bisa menarik pemilih PKS adalah Gerindra (7 persen) dan Golkar (5,2 persen). Hanya saja, masih cukup banyak pemilih PKS yang belum menentukan pilihan, 20,3 persen. Sementara yang stabil akan tetap memilih PKS sekitar 52,5 persen.
Salah satu penjelasan, menurut Saiful, mengapa yang belum menentukan pilihan dari pemilih PKS cukup banyak adalah karena munculnya tokoh-tokoh PKS yang mendirikan partai baru seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah.
Namun Saiful memberi catatan bahwa walaupun 20,3 persen ini pindah ke partai baru bentukan Anis Matta, ini memang akan mengurangi suara PKS sekitar 1 sampai 1,5 persen, tapi tidak akan menghalangi partai untuk lolos ke Senayan.
PAN DAN PPP TERANCAM
Selanjutnya PAN. Yang menarik dari partai ini adalah karena cukup besar pemilihanya di 2019 yang sekarang belum menentukan pilihan atau wait and see, 31,2 persen. Suara yang stabil PAN sekitar 54,2 persen. Saiful menganalisa bahwa karena suara PAN pada Pemilu terakhir 6,8 persen, maka jika yang kembali memilih partai ini hanya separuhnya, maka ada kemungkinan PAN tidak akan lolos ke parlemen pada Pemilu mendatang.
Besarnya pemilih PAN yang masih menunggu ini kemungkinan ditarik oleh partai baru yang didirikan oleh Amin Rais, Partai Ummat, kata Saiful. Mereka mendukung PAN selama ini kemungkinan karena ada tokoh seperti Amin Rais.
“Begitu Pak Amin Rais tidak ada di situ, dan karena mereka loyal pada Pak Amin Rais, mereka akan hijrah juga,” jelas Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta tersebut.
Saiful melanjutkan bahwa jika kelompok ini tidak menambah atau menarik suara partai lain, maka baik PAN pimpinan Zulkifli Hasan maupun Partai Ummat bentukan Amin Rais akan mengalami kerugian karena terancam tidak lolos parliamentary threshold 4 persen.
“Keduanya bisa sama-sama tidak lolos kalau mereka tidak menambah kekuatan dari partai lain,” kata Saiful.
Saiful melihat kelompok politik ini menghadapi dua front: di dalam dan di luar. Di dalam, kubu Amin Rais harus memastikan bahwa Amin Rais adalah pemimpin yang sebenarnya dari komunitas politik ini. Demikian pula kelompok PAN harus memastikan bahwa PAN ada di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan.
Sementara PPP memiliki 56,7 persen pemilihnya di 2019 yang sekarang akan kembali memilihnya. Ada 22,5 persen yang sekarang menyatakan memilih Partai Demokrat dan PDIP 8,3 persen. Yang mengkhawatirkan bagi PPP, kata Saiful, adalah karena pemilih PPP yang belum menentukan pilihan atau wait and see cenderung sedikit, 11 persen.
“Ini berbahaya. Kalau tidak ada upaya yang ekstra, mungkin partai yang akan mengikuti Hanura yang tidak lolos ke Senayang padahal pernah ada di Senayan, adalah PPP,” kata Saiful.
Saiful mengingatkan bahwa perolehan suara PPP pada Pemilu 2019 adalah 4,5 persen. Jika setengahnya berkurang, maka partai ini akan tidak lolos ke Senayan. Sementara PPP sejauh ini belum mampu menarik pemilih dari partai-partai lain.
Secara keseluruhan, jelas Saiful, jumlah swing voters di Indonesia cukup besar, terutama pada partai tertentu. Partai yang relatif stabil adalah PDIP dan Demokrat. Sementara yang paling mengkhawatirkan tidak masuk ke Senayan pada 2024, jika tidak ada kerja ekstra keras, adalah PAN dan PPP.
“PAN karena ada konflik kepemimpinan internal. Sedangkan PPP karena tidak cukup kompetitif menarik pemilih partai lain. Bahkan sebaliknya, pemilih yang sudah ada pun tidak mampu dijaga,” pungkasnya.
–AKHIR SIARAN PERS–