Siaran Pers SAIFUL MUJANI RESEARCH AND CONSULTING (SMRC)
Jakarta, 25 April 2022)
Religiusitas warga memiliki pengaruh dalam pilihan politik, tapi terbatas. Demikian dikemukakan ilmuan politik, Prof. Saiful Mujani, pada program Bedah Politik episode “Apakah Agama Penting dalam Pilihan Politik?” yang tayang di kanal Youtube SMRC TV pada Senin, 25 April 2022.
Video utuh pemaparan Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/VlRUm5TKldI
Saiful menjelaskan bahwa untuk mengukur tingkat religiusitas warga, ada sejumlah indikator yang digunakan, antara lain intensitas beribadah di rumah ibadah, perasaan ketaaan pada perintah agama, frekuensi untuk mempertimbangkan agama dalam setiap pengambilan keputusan, intensitas menjalankan ritual keagamaan, dan identifikasi diri dalam tiga tipologi keagamaan yang dibuat oleh Clifford Geertz: santri, abangan, dan priyayi.
Saiful menunjukkan hasil survei nasional yang dilakukan oleh SMRC pada Maret 2022 tentang religiusitas warga. Pada survei itu, mayoritas warga mengaku selalu atau cukup sering melakukan ibadah di rumah ibadah, 62 persen. Yang mengaku jarang 31 persen. Yang mengaku sangat jarang atau tidak pernah hanya sekitar 5 persen.
Saiful menyatakan bahwa data ini cukup reliable. “Dilihat secara umum untuk semua agama, sekitar 2/3 masyarakat kita cukup religius,” tegasnya.
Pada pertanyaan tentang ketaatan terhadap perintah agama di mana responden diminta menilai level ketaatannya sendiri, pengakuan subjektif mereka yang menyatakan taat dan sangat taat sangat besar. Yang menyatakan sangat atau cukup taat sebesar 86 persen. Yang mengaku kurang atau tidak taat sama sekali sebesar 12 persen.
Frekuensi mempertimbangkan agama ketika membuat keputusan penting dalam hidup juga sangat besar, 84 persen publik yang menyatakan selalu atau cukup sering mempertimbangkan agama dalam membuat keputusan penting dalam kehidupan mereka. Hanya 13 persen yang menyatakan jarang atau tidak pernah.
Khusus untuk yang beragama Islam, yang mengaku rutin menjalan ibadah puasa adalah 67 persen. Yang rutin melakukan salat lima waktu 49 persen. Salat sunnah 14 persen.
Menurut Saiful, dilihat dari hirarki ritualnya, data ini logis atau reliable.
Berdasarkan tipologi keagamaan, khusus untuk warga Muslim, walaupun tidak lebih dari 50 persen, publik paling banyak menempatkan diri sebagai santri, 41 persen. Yang mengaku abangan 26 persen. Yang priyayi 2 persen. Dan ada 30 persen yang tidak bisa mengidentifikasi diri.
Saiful menerangkan bahwa santri adalah tipologi warga Muslim yang taat menjalankan agama. Sementara yang abangan kurang taat, yaitu mereka punya bentuk ritual yang berbeda, berhubungan dengan kepercayaan atau keyakinan leluhur. Namun, lanjut Saiful ketika bertanya pada masyarakat, peneliti tidak memberi penjelasan santri, abangan dan priyayi itu apa. Karena hal itu menyangkut identitas.
Dilihat dari data-data ini, kata Saiful, walaupun tidak begitu tinggi, masyarakat Indonesia secara umum religius dan mengaku bahwa agama itu penting dalam hidup mereka.
Bagaimana efek beragama terhadap pilihan partai politik? Saiful menunjukkan bahwa sebetulnya yang paling kuat hubungannya dengan pilihan politik adalah identitas beragama. Walaupun pengaruhnya kuat, tambah Saiful, tapi terbatas. Kalau yang bersaing antara PKS dan PDIP, maka faktor identitas agama ini akan muncul. Tapi kalau, misalnya, yang bersaing adalah PDIP dengan Nasdem, faktor ini menjadi kurang penting.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor santri, abangan, dan priyayi tidak penting.
“Tesis Clifford Geertz yang melihat tipologi priyayi, santri dan abangan mempengaruhi perilaku politik, data SMRC tidak menunjukkan itu,” jelas Saiful.
Sementara intensitas beribadah di rumah ibadah memiliki hubungan signifikan dengan perilaku politik warga, tapi terbatas pada PKS dan PDIP. Salat lima waktu juga demikian, berpengaruh tapi terbatas.
“Jadi kalau pertanyaannya apakah religiusitas itu memiliki pengaruh dalam perilaku politik? Punya, tapi terbatas,” terang Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini.
Saiful melanjutkan bahwa kalau agama betul-betul tidak penting dalam politik, tidak mungkin ada partai seperti PKS. Kenyataannya ada, tapi kekuatannya terbatas. Selama ini, partai agama seperti PKS tidak pernah mendapatkan dukungan dalam Pemilu menembus dua digit, selalu di bawah 10 persen. Demikian pula partai Islam lain seperti PPP.
Apakah kecenderungan orientasi politik masyarakat Indonesia nasionalis? Saiful menyatakan, ya. Itu yang menjelaskan, kata dia, mengapa yang mendapatkan suara terbesar dalam setiap Pemilu adalah partai-partai nasionalis, yang orientasi keagamaannya moderat, walaupun religius.
Doktor lulusan Ohio State University, Amerika Serikat, ini menekankan bahwa pengaruh religiusitas dalam politik Indonesia memang ada, tapi terbatas. Kalau pengaruhnya besar, maka partai-partai seperti PKS akan membesar. Tapi sejauh ini, sejak Pemilu 1955, kekuatan politik identitas Islam semakin kecil. Dulu pada Pemilu pertama, 1955, gabungan partai-partai Islam di parlemen sekitar 46 persen. Sementara sekarang partai yang kelihatan kuat Islamnya hanya PKS dan PPP. Kalau dijumlahkan tidak lebih dari 15 persen.
“Artinya dari waktu ke waktu, kecenderungan politik Islam makin kurang kuat. Walaupun masyarakatnya cenderung religius,” pungkasnya.
–Akhir Siaran Pers–