Siaran Pers
SAIFUL MUJANI RESEARCH AND CONSULTING (SMRC)
Jakarta, 20 Oktober 2022
Ilmuwan politik, Prof. Saiful Mujani, menyebut bahwa faktor ideologi, bukan identitas agama, yang memiliki pengaruh pada pemilihan presiden dan legislatif. Hal ini disampaikan Saiful pada program ’Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ yang bertajuk ”Ideologi, Pilpers, dan Pileg” yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV, pada 20 Oktober 2022.
Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/5l7BdUGzYF0
Saiful menjelaskan bahwa dalam studi-studi Pemilu di luar negeri, faktor ideologi biasa dilihat apakah memiliki pengaruh atau tidak? Apa kecenderungan pemilih yang berideologi liberal atau konservatif dalam pemilihan umum? Di Indonesia, penting untuk dilihat apakah ada perbedaan antara yang pro-politik Islam dengan yang pro-politik UUD 1945 dan Pancasila. Walaupun mungkin ada yang menyatakan bahwa dua hal ini tidak boleh dikontraskan, namun ada yang memiliki kecenderungan lebih pada Pancasila atau lebih pada syariat Islam. Ada aspirasi warga yang menginginkan Indonesia berdasarkan syariat Islam. Namun ada juga aspirasi yang berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila. Apakah pandangan semacam itu di kalangan masyarakat memiliki pengaruh terhadap pilihan politik mereka dalam pemilihan umum?
Pada survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Maret dan Agustus 2022, ada 27,6 persen warga Indonesia yang menyatakan pro-terhadap politik berdasarkan syariat Islam. Menurut Saiful, angka ini tidak terlalu kecil. Bahkan tidak ada partai politik yang mendapatkan suara sebesar itu. Sementara yang pro-politik berdasarkan Pancasila sebanyak 59,8 persen.
PILPRES
Dukungan kepada Anies dari kelompok pemilih yang menyatakan pro-Pancasila sebanyak 23 persen, sementara dari yang pro-Islam 26 persen. Artinya dukungan dari yang pro-Islam lebih besar dari yang pro-Pancasila pada Anies. Pemilih Prabowo juga memiliki kecenderungan yang sama, dukungan dari pemilih yang pro-Islam lebih besar dari yang pro-Pancasila: 38 persen berbanding 32 persen.
Ini menarik, kata Saiful, karena Prabowo bukan tokoh Islam. Menurut dia, ini adalah efek dari mobilisasi dalam dua kali Pemilu (2014 dan 2019) di mana Prabowo banyak dihubung-hubungkan dengan gerakan-gerakan kelompok Islam yang tidak menghendaki Jokowi menjadi presiden ketika itu. Dan ini masih melekat sampai sekarang.
Sebaliknya pada Ganjar Pranowo, dukungan dari yang cenderung pada Pancasila 32 persen sementara dari yang pro-politik Islam 26 persen.
“Kalau dilihat dari proporsi pemilih yang pro-Pancasila itu mayoritas, maka kecenderungan pemilih Ganjar itu mengena atau sesuai dengan sentimen ideologis dari pemilih Indonesia secara umum,” jelas pendiri SMRC tersebut.
Lebih jauh, Saiful menyatakan bahwa temuan ini mengkonfirmasi perbincangan publik selama ini bahwa Anies lebih cenderung para politik Islam. Demikian pula dengan Prabowo yang dalam dua kali Pemilu terakhir cenderung mendapatkan dukungan dari kelompok Islam. Sementara Ganjar Pranowo, meneruskan kecenderungan pemilih Joko Widodo, secara proporsional lebih kuat pada pemilih yang berideologi pro-Pancasila.
“Bukan berarti Ganjar tidak diterima kelompok Islam. Dia diterima, tapi diterima secara proporsional.” jelas Saiful.
PARTAI POLITIK
Perbedaan orientasi terhadap Pancasila dan Islam juga memiliki pengaruh signifikan terhadap pilihan partai politik. Dukungan dari pemilih dengan orientasi Pancasila dan Islam pada PKB kurang lebih seimbang, 9 persen dari kalangan pro-Pancasila dan 10 persen dari pro-Islam. Pada Gerindra, dukungan dari kelompok pro-Islam (13 persen) lebih kuat dibanding dari yang pro-Pancasila (10 persen). Ini, menurut Saiful, konsisten dengan proporsi pemilih Prabowo Subianto.
Dukungan kepada PDIP dari kelompok ideologi Pancasila sebanyak 30 persen, sementara dari yang berideologi Islam 22 persen. Dibanding dengan partai-partai lain, proporsi pemilih PDIP dari kelompok pro-Pancasila jauh lebih kuat.
Dukungan untuk Golkar dari dua kutub ideologi ini tidak berbeda signifikan, 10 persen dari kalangan Pancasila dan 11 persen dari kelompok ideologi Islam. Sementara Nasdem 3 persen Pancasila, 5 persen Islam, PKS 5 persen Pancasila, 6 persen Islam, PPP 2 persen Pancasila, 4 persen Islam, PAN 2 persen Pancasila, 1 persen Islam, Demokrat 6 persen Pancasila, 9 persen Islam, dan partai-partai lain 5 persen Pancasila, 6 persen Islam.
Data ini menunjukkan bahwa yang terlihat paling berbeda adalah PDIP di mana dukungan dari kalangan ideologi Pancasila lebih kuat dari kalangan ideologi Islam. Ini berbeda dengan Nasdem dan Demokrat di mana kecenderungan dukungan dari pemilih dengan ideologi Islam lebih kuat dibanding dari yang memiliki kecenderungan pro-Pancasila.
“Ini membuktikan bahwa perbedaan ideologi berpengaruh dalam pilihan partai politik,” tegas Saiful.
Saiful mengingatkan bahwa walaupun pemilih PDIP lebih kuat pada kelompok pro-Pancasila, bukan berarti partai ini tidak diterima di kalangan pemilih berideologi Islam, tapi mereka diterima secara proporsional. Bahkan dibanding partai-partai lain, PDIP tetap paling banyak menarik pemilih dari kalangan Islam, 22 persen.
FAKTOR IDEOLOGI BERPENGARUH SIGNIFIKAN
Saiful melanjutkan bahwa jika dikontrol dengan variabel lain seperti ekonomi, pendidikan, dan agama, apakah pengaruh ideologi tetap signifikan? Dalam analisis multivariat ditemukan bahwa agama menjadi hilang pengaruhnya jika unsur ideologi dimasukkan dalam analisis. Faktor agama (Islam) pada Anies dan Prabowo memiliki pengaruh positif, tapi tidak signifikan, sementara pada Ganjar memiliki hubungan negatif tapi juga tidak signifikan. Sementara dalam ideologi (Islam versus Pancasila), ideologi Islam memperkuat secara signifikan pilihan pada Anies 0.09 poin dan memperlemah dukungan pada Ganjar 0.12 poin.
Kesimpulannya adalah bahwa semakin tinggi proporsi pemilih yang berorientasi pada syariat Islam maka suara Ganjar akan semakin tergerus 0.12 poin, sementara akan memperkuat dukungan pada Anies 0.09 poin. Sementara pengaruh ideologi pada pemilih Prabowo tidak berbeda signifikan secara statistik.
“Ini pertarungan antara Anies dengan Ganjar,” kata Saiful.
Saiful menyimpulkan bahwa data ini menunjukkan bahwa faktor ideologi lebih penting dari sekadar identitas agama Islam atau non-Islam.
“Bukan hanya karena dia (pemilih) beragama Islam, tapi beragama Islam yang diterjemahkan ke dalam komitmen politik ideologis, apakah menginginkan Indonesia diatur oleh syariat Islam atau tidak,” jelas Saiful.
Kalau unsur ideologis ini sudah masuk, lanjut Saiful, maka unsur pemilih beragama Islam atau tidak, hal itu menjadi netral pengaruhnya pada pemilih. Yang akan kuat bertahan dalam mempengaruhi pilihan pemilih adalah ideologi.
–AKHIR SIARAN PERS–