Sabtu, November 16, 2024
Google search engine
BerandaPOLHUKAMPolitikRUMAH “WAKIL GUBERNUR” JADI TEMPAT SIMPAN GEROBAK

RUMAH “WAKIL GUBERNUR” JADI TEMPAT SIMPAN GEROBAK

Oleh: Matheos Viktor Messakh, Leiden University*

Ini adalah rumah Assistant Resident Timor yang terletak tepat di samping gereja Kota Kupang. Pernah menjadi kantor pemerintah namun sekarang dibiarkan terbengkalai dan menjadi tempat penyimpanan gerobak jualan.

Gedung ini pernah mau disewakan atau sudah disewakan kepada pihak swasta oleh Pemerintah Kabupaten Kupang, namun menimbulkan pertentangan sehingga tak tahu bagaimana kelanjutannya. Seingat saya sekitar tahun 2016 pihak swasta yang menyewa telah melakukan perombakan sehingga sejumlah pihak keberatan, termasuk saya datang untuk menghalangi alat berat yang telah menggali parit dan lokasi. Memang sangat berbahaya jika gedung-gedung bersejarah seperti ini diserahkan kepada sembarangan orang yang tidak memahami nilai sejarahnya.

Sejenak kembali kepada sejarah, apakah “Assistant Resident” itu? Assistant Resident adalah istilah untuk orang nomor dua dalam kepemimpin kolonial di suatu daerah setingkat provinsi. Jadi semacam wakil gubernur. Kalau ada assistant resident tentu ada Resident-nya.
Timor dan pulau-pulau lainnya yang kemudian menjadi propinsi NTT ini, dulunya adalah suatu residensi yang disebut Residensi Timor dan Pulau-Pulau Bawahannya (Resident van Timor en Onderhorigheden). Residensi ini dipimpin oleh seorang Resident dan seorang wakil yang disebut Assistent Resident.

Para Pejabat VOC

Kalau kita ingin melihat sejarah pemerintahan colonial di Timor dan pulau-pulaunya ini, harus dibagi dalam beberapa tahap. Tahapan yang pertama adalah masa VOC dan tahapan kedua adalah masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ini harus dibedakan benar-benar karena dari pelajaran sejarah yang kita dapatkan sejak SD, kita mendapat kesan seakan kita dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Padahal VOC itu walaupun adalah perusahaan Belanda, merupkan perusahaan multi nasional pertama di dunia yang sumberdaya manusianya tidak hanya orang Belanda. Bahkan kapal-kapalnyapun dibuat di luar Belanda. Selain itu Pemerintahan Negara colonial yang dimulai sejak bangkrutnya VOC pada tahun 1799, pernah terputus oleh penjajahan Inggris selama kurang lebih 5 tahun.

Dalam tahapan pertama penjajahan bangsa Eropa yaitu pada masa VOC, para pemimpin untuk setiap pos VOC disebut Opperhoofd. Mereka memimpin benteng, kota, atau post VOC di berbagai tempat mulai dari Tanjung Harapan di Afrika sampai Ambon, Mulai dari Desima di Jepang, Taiwan, sampai Rote atau Kupang. Semuanya berada di bawah Gubernur Jendral VOC di Batavia. Opperhoofd pertama di benteng Concordia Kupang mulai menjabat tahun 1655 yaitu Opperhoofd Jacob Verheyden. Sejak tahun 1655 silih berganti Opperhoofd menjabat di Kupang dan sampai dengan tahun 1810 telah ada 38 orang Belanda yang menduduki jabatan Opperhoofd (J.D.V. Alderwerelt, 224).

Para Pejabat Negara Hindia-Belanda

VOC sebenarnya telah dinyatakan bangkrut pada tahun 1799 sehingga segala hak, kewajiban, hutang dan kekayaan VOC diambil alih pemerintah Belanda. Namun pada saat VOC bangkrut itu, Negeri Belanda sendiri sedang diduduki oleh Prancis. Regim pro-Prancis yang dibentuk di Belanda namanya “Bataafsche Republik”. Raja Belanda sendiri, Willem V, mengungsi ke Inggris tahun 1795.

Oleh karena itu di Nusantara, armada-armada Inggris mau mengambil alih wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda. Itu terjadi di sejumlah wilayah nusantara selama dua tahun yaitu 1795-1797 namun setelah ada perjanjian perdamaian, maka pada tahun 1802 wilayah-wilayah itu diserahkan kembali ke Belanda. Jadi bisa dibayangkan pada saat itu betapa ribetnya urusan kekuasaan di Belanda apalagi di negeri jajahan.

Di negeri jajahan, khususnya di Kupang, selama masa-masa transisi VOC ke Pemerintah Kolonial ini, Inggris dua kali merebut dan menduduki Kupang.

Upaya pertama yang terjadi tahun 1797. Saat itu Malaka, Padang, Ambon dan Banda telah diduduki Inggris setelah melalui perlawanan kecil. Ternate bertahan selama beberapa tahun namun jatuh pada tahun 1801. Satu-satunya pos Belanda yang sukses melawan pendudukan Inggris adalah Kupang. Sejarawan B.H.M. Vlekke (1946:130) mengatakan bahwa “Di Timor keberhasilan diraih karena komandan lokal dengan bantuan pasukan budak dan orang-orang suku memukul mundur orang-orang Inggris dari benteng Kupang, yang sebelumnya telah dikuasai orang-orang Inggris.”

Pernyataan Vlekke ini sedikit berbeda dengan tulisan missionaris Heijmering (1847: 196-9) yang menyatakan bahwa orang-orang Inggris tiba di Kupang dengan sebuah kapal dan corvette dari Maluku pada awal Juni 1797. Mereka telah dinantikan namun kota ini tidak punya pertahanan yang kuat dan seakan telah disepakati bahwa melawan tidak ada gunanya. Tuan Wanjon, Opperhoofd pada saat itu sudah siap-siap menyerah dengan harapan agar Inggris tidak mengapa-apakan seisi kota. Orang kedua Wanjon, tuan Greeving di lain pihak tidak menyetujui sikap pasrah ini karena sebagai orang kedua di post VOC ini ialah yang memegang pembukuan VOC dan pembukuannya sedang kacau sehingga ia takut diketahui sejumlah korupsinya. Greeving kemudian memanggil rapat orang-orang Eropa dan membuat voting dengan membagi-bagikan kertas kepada setiap orang untuk menuliskan kata “menyerah” atau “melawan” pada kertas tersebut. Ternyata hanya Greeving sendiri yang menulis “melawan” dan Kupang akhirnya menyerah kepada Inggris pada 10 Juni 1797. Menurut sumber Inggris C.N. Parkinson, yang didasarkan pada catatan Inggris di India dan catatan Angkatan Laut, Kupang diduduki oleh sebuah garnisun kecil yang umumnya adalah prajurit Sepoy (India) dibawah komandan Letna Frost.

Namun penyerahan itu hanya berlangsung dalam hitungan hari karena para Mardjikers atau orang-orang merdeka dan orang-orang dari kerajaan sekitar Kupang justru membunuh sejumlah prajurit Inggris sehingga mereka berlari menyelematkan diri ke kapal mereka dan menembaki kota Kupang sebelum meninggalkan kota Kupang. Benteng Concordia hancur berat oleh meriam-meriam Inggri demikian juga rumah-rumah orang Cina yang terletak di pinggiran pantai.

Setelah upaya pertama ini, Kupang mengalami beberapa kali pergantian pimpinan secara cepat. Direktur Keuangan , Vekens, merekomendasikan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels agar Jacobus Arnoldis Hazaart, seorang pedagang dan mantan letnan dalam kapal VOC ditunjuk sebagai pimpinan di Kupang.

Karena VOC sudah bangkrut, maka Hazaart tidak lagi ditunjuk sebagai Opperhoofd, melainkan sebagai pejabat Negara colonial yang disebut Resident. Hazaart secara resmi menjadi Resident Pertama di Kupang pada 10 April 1810 alias hampir sebelas tahun setelah VOC bangkrut. Hazaart yang pada saat ditunjuk baru berusia 7 tahun ini adalah seorang Belanda keturunan yang lahir di Timor dan ia mempunyai yang cukup harum dalam catatan kolonial karena ia melakukan sejumlah terobosan tidak lazim saat berkuasa, namun hal ini akan dibahas dalam tulisan lain.

Baru setahun memerintah, kepemimpinan Hazaart terpotong lagi oleh intervensi Inggris terhadap Timor. Dalam serangan kedua pada 8 April 1911, Kapal Phoenix dibawah kapten James Bowen yang mendarat di Namosain berhasil diusir lagi oleh Hazaart dan orang-orang Eropa dengan bantuan orang-orang Amabi.

Dalam upaya ketika kalinya merebut Kupang barulah berhasil merebut dan menduduki kota ini. Pada September 1911 Gubernur Jendral Jan Willem Janssens di Jawa telah menyerah kepada Inggris dan juga menyerahkan pulau-pulau di luar Jawa. Dan saat itu Hazaart juga akan sulit mempertahankan Kupang karena bentengnya telah hancur, tidak ada bubuk mesiu, dan tidak ada uang untuk membayar tentara dan pegawai (Hazaart 1811a). Tanggal 10 Januari 1812 Inggris tiba di Kupang secara kebetulan. Kapten Charles Thruston dengan kapal Hesper sedang berlayar di Selat Bali dan terbawa oleh angina dan arus sampai ke Kupang. Karena melihat bendera Belanda sedang berkibar di benteng Concordia, Thruston menyuruh seorang anak buahnya turun dengan bendera damai untuk memberitahu perihal menyerahnya Belanda di Jawa. Hazaart masih kurang percaya akan hal ini sehingga Thruston mengancam menembaki benteng. Akhirnya menyerahnya Kupang hanyalah soal masalah siapa yang kuat mengertak, karena pasukan Thrustonpun sebenarnya dalam kondisi lemah dan kondisi pasukan bentengpun sebenarnya tidak beramunisi. Akhirnya Kupang menyerah dan Hazaart diangkat oleh Inggris menjadi ‘wakil gubernur’.

Hazaart terus memegang kekuasaan sebagai seorang Resident Inggris, bahkan hingga Thruston meninggalkan Kupang. Namun setahun kemudian ia digantikan oleh seorang Belanda yang bekerja pada dinas militer Inggris, C.W. Knibbe. Knibbe tiba dari Makasar pada 22 Maret 1812 hanya beberapa minggu setelah Thruston pulang ke Jawa. Knibbe sendiri dikirimkan untuk menjabat di Kupang karena memang Belanda telah menyerah kepada Inggris di Jawa, dan Knibbe tidak sadar bahwa sebelum ia tiba di Kupang Thruston telah merebut Kupang. Jadi jatuhnya Kupang setahun sebelumnya hanya sebuah kebetulan ada kapal Inggris yang lewat. Harusnya Kupang baru ditempati pejabat Inggris tahun 1812, namun yang terjadi Kupang sudah diduduki setahun sebelumnya dengan Hazaart sebagai wakilnya.

Jadi ketika Knibbe tiba, ialah yang menjadi Resident dan Hazaart sebagai assistennya. Knibbe hanya bertugas setahun di Kupang dan di gantikan oleh resident yang baru, Watson, seorang perwira Inggris. Watson pun hanya setahun di Kupang digantikan pada awal 1814 oleh seorang pejabat sipil bernama Burn dan sektretarisnya, Curtois. Sementara itu, Hazaart kembali menjadi pedagang dan tetap tinggal di Kupang. Burn kemudian meninggal mendadak dan Curtois menggantikannya sebagai Resident. Curtoispun kemudian meninggal dan karena tidak ada orang Inggris di Kupang, maka Hazaart begitu saja Hazaart menjadi pemimpin di Kupang sampai tahun 1816. Pemerintah Inggris di Makasar diam saja dan tidak secara resmi mengangkat juga tidak menolak kepemimpinan Hazaart di Kupang.

Lalu ketika Perang Napoleonik di Eropa berakhir dan Inggris mengembalikan pos-pos di Nusantara kepada Belanda, hal yang anehpun terjadi di Timor: di akhir tahun 1816 seorang perwira Inggris, Letnan Phillips, tiba di Kupang untuk menyerahkan kekuasaan Inggris kepada pejabat Belanda yang baru yaitu Hazaart sendiri. Hazaartlah satu-satunya orang yang dua kali menggantikan dirinya sendiri sebagai pemimpin pemukiman Eropa di Kupang dan menempati posisi tersebut dua kali untuk Inggris (1812 dan 1814-1816) dan dua kali untuk Belanda (1810-1812 dan akhir 1816 dan seterusnya). Periode selama 1812-1816 inilah yang disebut British Interregnum. Di Jawa masa ini dikenal dengan Pemerintah Gubernur Jendral Raffles.

Setelah menempati kembali posisi sebagai seorang Resident Belanda, selama hampir 20 tahun Hazaart melakukan sejumlah hal penting yang dampaknya masih bisa kita lihat sampai sekarang. Komponen penting dari programnya adalah mengakhiri pertikaian antara raja-raja lokal dan mengkhiri pemberontakan, memajukan penyebaran agama Kristen, dan memajukan perkembangan ekonomi di Timor dan pulau-pulaunya.

Segera setelah menduduki posisinya Hazaart mulai mendatangkan orang-orang Rote dan Sabu dalam jumlah besar di sepanjang pantai yang mengelilingi teluk Kupang. Tujuannya ialah untuk membendung kekuasaan Liurai Sonbai. Oleh karena itu bisa kita lihat sekarang komunitas orang Rote dan Sabu ada di Timor mulai dari Oepaha di ujung barat pulau sampai Oecussi di Timor-Leste sekarang. Dan kampung-kampung di pedalaman Timorpun sering merupakan kampung ganda, ada kampung Timor, ada kampung Rote, misalnya ada Manulai Timor dan Manulai Rote.

Pada tahun 1816 ia mendatangkan 300-400 orang Rote dari Ingu Fao ke Babau. Mereka bertikai dengan penguasa Kerajaan Termanu saat itu dan turunan dari orang-orang ini adalah misalnya keluarga Makh dan Ndaumanu di Babau. Dua atau tiga tahun kemudian (1818/1819) ia mendatangkan 200an warga dari Hoi Ledo, yang juga bertikai dengan penguasa Kerajaan Termanu, untuk ditempatkan di Pariti.

Di jaman Hazaart, hubungan Belanda dengan Portugis memanas pada masanya. Ia berhasil membujuk Raja Ambenu untuk mengibarkan bendera Belanda di Sutrana. Hazaart bahkan pernah dipanggil ke Batavia dan diskors gara-gara menghukum dera dengan rotan 25 kali terhadap orang menurunkan bendera Belanda di Atapupu tahun 1818. Ia direhabilitasi tahun berikutnya karena terbukti benar. Pada tahun 1817 keresidenan Timor digabungkan ke Gubernuran Maluku namun pada tahun 1819 dinyatakan berdiri sendiri dan langsung menerima instruksi dari Batavia.

Program lain dari Hazaart adalah memerintahkan mengerjakan kompleks sawah di Babau dan Oesao. Penanaman kelapa di Pariti, penanaman tebu di Sulamu dengan percobaan pabrik gulanya, pembakaran batu bata, penanaman tarum dan nila, usaha memperbaiki ternak kuda dan ayam, dan permulaan pembukaan jalan Kupang-Babau atas dasar ‘herendienst’ atau kerja bakti, pekerjaan yang mana baru dapat diselesaikan nanti oleh resident Sluyter. Hazaart juga yang pertama kali mendatangkan vaksin cacar.

Pada tahun 1829 ia sendiri memimpin ekspedisi ilmiah yang diasuh Dr. Muller masuk ke pedalaman Timor. Inilah kunjungan pertama kali seorang resident ke pedalaman Timor. Laporan kunjungan yang ditulis Dr. Miller masih dapat dilihat sampai sekarang.

Hazaart juga sangat membantu penyebaran agama Kristen, karena ada perubahan besar dalam gerakan missi menjelang akhir abad-18. Hal ini ditandai dengan berdirinya Masyarakat Missioner Belanda (Nederlandsche Zendeling Genootschap, NZG) pada tahun 1797. Utusan NZG pertama yang tiba di Kupang adalah Dr. R. Le Bruijn pada tahun 1819 beberapa tahun setelah Hazaart memegang kekuasaan. Peran Hazaart dalam penyebaran agama Protestan akan diceritakan dalam tulisan lain.

Hazaart yang lahir di Kupang pada 8 Januari 1773 ini minta dipensiunkan sebagai Resident pada tahun 1833, namun ia terus bekerja sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1838 ia mengunjungi Sumba untuk meneliti sejumlah sengketa antara para penguasa lokal di sana. Dalam perjalanan pulang ia singgah di Sabu dan meninggal di sana pada 19 Desember 1838 dan dikuburkan di pekuburan Nunhila, Kupang.

Hazaart digantikan oleh Spanoghe, seorang ahli biologi. Pada tahun 1838-1849 pada masa Resident Sluyter diselesaikanlah jalan raya Kupang-Babau pada tahun 1845, ia juga memperindah rumah jabatan Resident yang akhirnya terbakar seabad kemudian. Ia juga mendirikan air mancur untuk public yang sekarang di kenal dengan Fontein. Selain itu ia juga membangun tembok penahan ombak di pantai Tedys sekarang.

Nama-nama dan jumlah resident setelah Hazaart sampai dengan tahun 1943, belum diketahui dengan pasti. Masih harus dilakukan penelitian arsip kolonial untuk itu.

Yang jelas Resident terakhir saat invasi Jepang adalah C.W. Schuller yang ditahan di Sulawesi dan kemudian setelah Jepang menyerah, iapun kembali ke Kupang. Ia masih berkuasa sampai 1948 dan pada bulan Juli 1948 digantikan oleh A. Verhoef. Verhoef adalah resident terakhir di Timor.

Selama periode Schuller maupun Verhoef, kota Kupang dalam keadaan hancur oleh pemboman selama Perang Dunia II. Kantor-kantor pemerintahan dipindahkan ke Bakunase, dalam bentuk gedung-gedung semi permanen. Itulah sebabnya sampai sekarang tidak ditemukan satupun sisa-sisa gedung-gedung itu, walaupun ada sejumlah nama tempat di Bakunase yang mengindikasikan nama kantor pemerintah seperti orang biasa menyebut “bekas angkatan laut”, dst. Ataupun ada nama-nama tempat seperti Penjarum, atau Jan Van Eck (yang diucapkan orang Kupang dengan Yanvanek).
Rumah Assistant Resident yang ada alam foto ini adalah salah satu di antara sedikit gedung bersejarah yang tersisa dari pemboman Perang Dunia II. Gedung lain yang masih ada sampai saat ini adalah gedung Gereja Kota Kupang, Kelenteng Lay, Penjara Lama, Pabrik Es Minerva, Gedung Perusahaan Listrik, Bioskop di Kampung Solor, Rumah Pendeta Belanda yang pernah dipakai Yayasan TLM, dan sejumlah toko Cina yang perlu diinvestigasi lebih lanjut. Rumah Residen sendiri terletak di Kantor Bupati Kupang lama, dan masih ada setelah perang namun terbakar pada 23 Mei 1964.

Pada bulan Oktober 1949 Verhoef menulis laporan terakhir tentang Timor, karena pada 1 Oktober Residensi Timor dihapuskan. Sepanjang September kekuasaan dialihkan ke masing-masing daerah regional.

Pada 28 September Verhoef menyerahkan administrasi Timor dan Pulau-pulaunya kepada sebuah lembaga yang disebut College van Gecommitteerden (yang terdiri dari para anggota Dewan Raja-raja dan Dewan Ra’jat) yang diketuai oleh H. A. Koroh. Penyerahan itu dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, namun lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus, tidak muncul. Hal ini menurut pendapat Verhoef ‘meninggalkan kesan ketidaksetujuan’. Pengalihan kekuasaan ini dipimpin oleh I. H. Doko sebagai perwakilan pemerintah NIT. Segera setelah itu Verhoef meninggalkan Timor untuk seterusnya. (tulisan ini juga dimuat di Facebook Matheos Viktor Messakh-16 Mei 2022)

*Dewan Redaksi Taklale.Com

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments