Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan Anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif. Artinya, Anak wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, termasuk didalamnya Anak tidak boleh diperdagangkan.
Secara yuridis, pelarangan agar Anak tidak boleh diperdagangkan diantaranya terdapat dalam Pasal 76F Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak (UUPA), yang menegaskan bahwa: “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak”. Berdasarkan amanat Pasal 83 UUPA, maka setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F, akan di,pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Ironisnya, dalam UUPA tidak dijelaskan pada bagian penjelasan pasal demi pasal dan/atau tidak didefinisikan pada bagian ketentuan umum tentang apa yang dimaksud dengan perdagangan anak maupun apa arti dari penjualan anak. UUPA juga tidak menguraikan tentang apa perbedaan dari aspek hukum terkait dengan kedua istilah tersebut, terutama dalam hal makna, tindakan (proses dan cara) maupun tujuan atau akibat. Fakta ini merupakan salah satu cacat bawaan dari UUPA dan akan berdampak pada proses penegakan hukum. Sebab, setiap orang yang melakukan penjualan anak tidak dapat dipidana karena telah terbukti melakukan perdagangan anak dan begitu juga sebaliknya.
Terlepas dari cacat bawaan yang terdapat pada UUPA, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/UUPTPPO, terdapat 2 (dua) pasal yang secara khusus mengatur tentang perdagangan anak. Salah satunya adalah Pasal 6 UUPTPPO yang dihadirkan untuk tujuan melindungi Anak, agar tidak menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang/TPPO. Pasal 6 UUPTPPO dirancang untuk mempidanakan pelaku yang melakukan TPPO terhadap Anak, dengan rumusan delik sebagai berikut: “setiap orang yang melakukan pengiriman Anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Pada bagian Penjelasan Pasal 6 UUPTPPO, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan frasa “pengiriman Anak ke dalam negeri” adalah pengiriman anak antar daerah dalam wilayah negara Republik Indonesia. Sedangkan, istilah “eksploitasi” berdasarkan Pasal 1 angka 7 UUPTPPO diartikan sebagai tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Rumusan delik dari Pasal 6 UUPTPPO, pada intinya dirancang hanya untuk mempidanakan setiap orang yang melakukan pengiriman Anak. Sedangkan, proses perekrutan, pengangkutan, penampungan, pemindahan atau penerimaan Anak, tidak dapat dijerat dengan pasal ini. Frasa ‘dengan cara apapun’ yang terdapat dalam Pasal 6 UUPTPPO menunjukkan bahwa semua cara yang dilakukan oleh pelaku dan mengakibatkan tereksploitasinya Anak, termasuk cara-cara yang tercantum dalam Pasal 2 UUPTPPO, yakni: dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, dapat dijerat dengan Pasal ini.
Pasal 6 UUPTPPO ini didesain oleh para perumus sebagai delik materil. Artinya, TPPO sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UUPTPPO dikatakan telah sempurna dan pelakunya dapat dipidana, apabila unsur akibat yang dilarang telah terwujud. Karena dikonstruksi sebagai delik materil, maka aspek pencegahan terjadinya eksploitasi Anak dalam Pasal 6 UUPTPPO, terkesan diabaikan. Padahal, Pasal 56 UUPTPPO telah mengamanatkan bahwa tujuan pencegahan TPPO adalah mencegah sedini mungkin terjadinya TPPO. Bahkan, rumusan norma yang terdapat pada Pasal 6 UUPTPPO ini dikonstruksi dengan kurang mempertimbangkan hak-hak anak yang harus dilindungi. Hal ini bertentangan dengan semangat zaman (zeitgeist) yang terdapat dalam UUPA.
Konsekuensinya, perbuatan mengirim Anak ke luar negeri ataupun ke dalam negeri khususnya untuk tujuan eksploitasi, belum dapat dilakukan penegakan hukumnya, jika akibat dari perbuatan mengirim Anak belum terwujud. Artinya, Pasal 6 UUPTPPO hanya dapat dilakukan penegakan hukumnya apabila perbuatan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun, sudah menimbulkan akibat, yakni Anak tereksploitasi.
Dengan kata lain, untuk melakukan penegakan hukum berdasarkan Pasal 6 UUPTPPO, harus menunggu Anak yang dikirim ke luar negeri atau ke dalam negeri untuk dieksploitasi, sudah tereksploitasi di luar negeri atau di dalam negeri, sebagai akibat dari rangkaian perbuatan pengiriman Anak ke luar negeri atau ke dalam negeri.
Berpijak pada realita yang demikian, maka bisa ditarik suatu titik simpul bahwa UUPTPPO maupun UUPA tidak dapat menjangkau keseluruhan TPPO dengan korban Anak. Itu berarti, sudah saatnya Pasal 6 UUPTPPO harus disempurnakan, sehingga bisa diimplementasikan dengan tidak mengabaikan kepentingan terbaik Anak. Selain itu, sudah saatnya juga istilah perdagangan anak dan penjualan anak harus didefinisikan secara hukum dan dimasukkan dalam hukum positif, sehingga aspek kepastian, kemanfaatan dan keadilan yang adalah tujuan dari hukum, dapat diwujudkan.
ilustrasi : foto madaninews
Sumber : paulsinlaeloeblogspot
Oleh: Paul SinlaEloE – Aktivis PIAR NTT
Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam HU. Victory News, Jumat, 07 Agustus 2020