Oleh: Felix Nesi
Koreksi jika saya salah. Peraturan Presiden No 10 th 2021 adalah untuk membuka investasi industri alkohol di 4 provinsi — yang beberapa tahun ini ditutup dan terdaftar sebagai investasi negatif. Tidak serta merta untuk membuat kita merayakan alkohol dan menganggap negara mendukung orang untuk mabuk-mabukan, atau semacam itu.
Bagaimanapun, saya melihat bahwa cara masyarakat tradisional di bagian timur Indonesia — setidaknya NTT (yang lain saya tidak tahu) dalam memandang alkohol berbeda dengan cara orang-orang di barat, di Jawa. Di timur, minuman beralkohol punya nilai tinggi, sebagai media pemersatu masyarakat dengan leluhur, pemersatu yang hidup dan yang mati, sebagai penanda sahnya suatu ritual, dst. Sementara di barat, ia hanya minuman rekreasi-persahabatan untuk rileks atau bahkan mabuk-mabukan – CMIW.
Kembali ke Perpres, saya perajin minuman tradisional. Saya membutuhkan surat dari Kementerian Perindustrian jika ingin memulai industri. Tahun lalu saya tidak bisa mendapatkannya, karena sudah tidak diterbitkan. Saya kira tahun ini saya akan bisa mendapatkannya karena Perpres ini.
Lalu apakah Perpres ini akan membantu perajin minuman tradisional? Nanti dulu. Kita perlu bikin batasan apa itu minuman tradisional.
UU Cukai No 11 tahun 1995 telah membebaskan perajin minuman tradisional dari pajak. Batasan tradisional menurut UU itu adalah usaha yang -saya kutip- “…dibuat oleh rakyat di Indonesia secara sederhana, semata-mata untuk mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran.”
Diskusi panjang saya dengan kawan-kawan dari Bea Cukai adalah, selama ini, saya memproduksi Sopi Timor secara tradisional, dengan skala rumahan (tidak lebih dari 25 liter/hari), tapi saya menjualnya dengan label Tua Kolo, dengan kemasan yang tidak kalah dari minuman impor. Sementara dalam UU Cukai di atas, yang dibebaskan dari pajak adalah minuman tradisional yang tidak dikemas.
Di sini kan saya bingung. Lah kalau “semata-mata untuk mata pencaharian” tetapi poin selanjutnya adalah “tidak dikemas untuk penjualan eceran”, terus saya dapat uangnya dari mata pencaharian yang mana ya? Sesudah produksi duduk minum sendiri sampai mabuk dan pergi bobol bank begitu? Jual pakai jeriken plastik yang bikin sopi jadi rusak? Aneh kan?
Meski demikian, sebagai warga negara yang baik, sejak awal saya memang ingin agar minuman saya kena pajak. Siapa tidak bangga jika hasil tangannya memberi pemasukan– juga untuk negaranya? Orang Timor siapa tidak bangga kalau Sopi Timor yang dibikin ibu bapak dari pondok yang sederhana punya pita cukai? Jadi sejak awal beroperasi, saya yang pertama-tama datang ke kantor Bea Cukai di Atambua untuk melaporkan usaha saya, menanyakan kelengkapan syarat.
Persoalan kemudian adalah tingginya pajak. Pajak Cukai 250% untuk minuman beralkohol, jika diterapkan ke minuman tradisional, akan membuat kita bertanya kembali apa itu tradisional — apa itu usaha rakyat secara sederhana untuk mata pencaharian.
Ambil contoh Sopi Insana yang saya produksi dan kemas. Sejak sebelum saya lahir, Kecamatan Insana sudah terkenal karena memproduksi sopi yang berkualitas baik. Orang menyebut produknya dengan nama TNI atau Tua Nakaf Insana. Banyak perajin sopi turun-temurun — kakek kandung saya mati sesudah jatuh dari pohon lontar – setiap membaui sopi saya merasa dekat dengannya.
Jadi saya membuat batasan, bahwa yang disebut Sopi Insana, yang disebut TNI/Tua Nakaf Insana, adalah hasil distilasi nira lontar, dengan media bambu dan periuk tanah, dan diolah di Insana.
Maka, jika Perpres ini diharapkan akan membantu perajin sopi tradisional, pertanyaannya: SATU, dengan media bambu dan periuk tanah, berapa liter alkohol yang bisa dihasilkan? Bukankah sangat sedikit? Sekarang, jika investasi dipakai untuk membeli alat distilasi modern yang bisa meningkatkan produksi, sebut saja kita datangkan boiler besar dengan sistem reflux bertingkat-tingkat yang 100% copper, kita gunakan fermenter dan distilleryyeast yang proper dan modern – dst, apakah hasil olahannya masih akan kita sebut sebagai sopi tradisional/sopi Insana/sopi Timor?
DUA, nira lontar adalah bahan dasar sopi yang tersedia musiman. Ia akan tersedia sekitar bulan Maret-November. Sudah berapa bulan ini kami tidak produksi Sopi Timor. Pertanyaannya, investasi besar dan kewajiban pajak yang tinggi itu apakah nanti bisa diterapkan pada sopi tradisional yang bahan dasarnya hanya tersedia sekitar 8 bulan pertahun?
Perlu dingat, nira lontar yang musiman ini, oleh banyak orang dilihat sebagai kekurangan — tetapi saya melihatnya sebagai pemenuhan dari apa yang kita sebut sebagai tradisional. Orang tradisional itu, Sayangku, beda dengan orang modern yang bekerja sepanjang musim dikejar waktu dan setoran. Orang tradisional di Timor akan masak sopi selama musim kemarau, berhenti saat musim hujan untuk menggarap ladang, lalu kembali masak sopi menjelang musim panen — agar saat panen jagung mereka bisa persembahkan jagung sekalian dengan sopi untuk leluhur, raja, dan Gereja. Slowlife – Belanda masih jauh — semua ada siklusnya, tidak ada investor yang kejar mereka untuk tingkatkan produksi.
Persoalan lain yang perlu kita bahas sekalian adalah, tahun 2019 gubernur NTT mengeluarkan PergubNo 44 ttg Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Beralkohol. Saya kira ini juga perlu kita kaji karena ada poin yang melarang petani menjual langsung minumannya, tetapi harus disetorkan kepada produsen besar untuk dilakukan pemurnian dan pengemasan sebelum dijual. Sejujurnya saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan pemurnian, mohon infonya, sebab setahu saya pemurnian adalah sebutan lain untuk distilasi — hal yang telah dilakukan dengan media tradisional: bambu.
Akhirnya, setiap kebijakan ttg alkohol, terlebih di bagian timur Indonesia akan menjadi diskusi panjang karena perlu menjembatani tradisi leluhur, ekonomi masyarakat, dan kesehatan – fisik dan mental. Kita akan jarang lihat ormas razia minuman, tapi kita juga perlu hati-hati jika ada perajin dan penadah sopi yang merusak kualitas dan atau mencampurkan bahan yang membahayakan — atau menjual sopi kepada anak SMA yang baru naik badan dong.
Hasil distilasi nira lontar telah lama punya nilai yang tinggi di Timor — sebelum tahun 1600-an sudah ada sebagai minuman yang berharga dan selalu ada dalam setiap upacara adat. Ia menjadi pemersatu kita dengan leluhur, penanda setiap ritual. Tiap menenggaknya orang akan menuangkan sedikit ke tanah dan mengatakan hal kira-kira akan mengandung ungkapan: tahattabua, tinuttabua — (kamu di alam yang lain, tetapi kita tetap makan dan minum bersama).
Bagaimanapun kita berharap agar setiap kebijakan yang dibuat, pada penerapannya bisa menyentuh masyarakat tradisional. Jadi jika ada pandangan lain atau punya informasi terkait minuman beralkohol (kebijakan atau hal lain), atau ingin meluruskan pandangan saya di atas, minta komentarnya yaa. Agar kakek saya, dan setiap orang yang mati di naungan pohon lontar, tetap tersenyum melihat bagaimana kita memperlakukan lontar hari ini, bagaimana kita menciptakan dan menanggapi kebijakan-kebijakan maupun kerja-kerja tentangnya.
*Perajin Minuman Tradisional
(sumber: Facebook Felix Nesi tanggal 1 Maret 2021 dan dimuat kembali seijin dari penulis)Â