Kamis, November 21, 2024
Google search engine
BerandaINKLUSIReligi dan SpiritualitasKelahiran Raja Damai, Harapan di Tengah Kesesakan

Kelahiran Raja Damai, Harapan di Tengah Kesesakan

Kelahiran Raja Damai, Harapan di Tengah Kesesakan
Yesaya 9:1-6
Ebenhaizer I Nuban Timo

Nabi merupakan satu dari tiga tokoh menonjol dalam kehidupan Israel kuno. Dua tokoh lainnya adalah raja dan imam. Di telinga warga gereja nabi dipahami sebagai seorang yang dipenuhi Roh Allah. Dia tampil ke depan publik mewartakan pertobatan. Dia seumpama bentara yang berlari di depan kereta pembawa Mesias, membunyikan sirene, memanggil umat memenuhi sisi kiri dan kanan jalan raya untuk menyongsong sang penyelamat itu. Semua yang dikatakan dan diperagakan nabi adalah sepenuhnya dari Allah. Nabi hanya alat, mikrofon. Yohanes Pembaptis dilihat sebagai personifikasi sejati dari nabi.

Dengan persepsi ini warga gereja memahami hampir semua teks kenabian PL sebagai yang menubuatkan kedatangan Yesus. Salah satu teks di antaranya adalah Yesaya 9:1-6. Ayat 5 dari teks itu: “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang Penasehat Ajaib, Allah Yang Perkasa, Bapak yang Kekal, Raja Damai” biasanya langsung dihubungkan dengan kelahiran Yesus.

Tentu saja pandangan seperti ini tidak salah, tetapi kita tetap harus berhati-hati menjelaskannya. Nabi-nabi Israel memang memiliki kemampuan melihat masa depan dan meramalkan peristiwa-peristiwa di hari esok untuk memperingatkan Israel. Tetapi harus juga kita ingat bahwa bahwa nubuat para nabi sebagian besar digenapi pada masa mereka hidup. Artinya masa depan yang ditunjuk para nabi adalah kejadian yang pada masa depan Israel yang relatif segera, dan bukan masa depan gereja yang masih jauh dan masih lama. Nabi-nabi umumnya mengalami penggenapan dari nubuat mereka.

Yang ada di pikiran para nabi saat menubuatkan sebuah kejadian adalah masa depan yang segera Israel hadapi, masa depan yang satu dua tahun lagi akan terjadi atas mereka. Itu terjadi misalnya dalam Yesaya 7:14.

“Sesungguhnya seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan ia akan menamakan dia Imanuel. Ia akan makan dadih dan madu sampai ia tahu menolak yang jahat dan memilih yang baik. Sebab sebelum anak itu tahu menolak yang jahat dan memilih yang baik, maka negeri dan kedua rajanya engkau takuti akan ditinggalkan kosong.”

Gereja suka memakai ayat ini untuk mengatakan bahwa perempuan muda itu adalah Maria dan anak bernama Imanuel itu adalah Yesus. Cara memberi arti seperti ini sangat terburu-buru. Pertama, Yesaya mengatakan hal ini kepada raja Ahas bin Yotam raja Yehuda yang sedang dalam ketakutan karena dikepung oleh pasukan perang dari dua orang raja: Rezin dari Aram dan Pekah dari Israel (Yes. 7:1).

Waktu Ahas gelisah, takut dan ingin cari bantuan militer dari Mesir, Yesaya datang. Dia meminta Ahas untuk tidak perlu kuatir karena ancaman itu hanya seperti “puntung kayu apa yang berasap” (Ys. 7:4). Ancaman itu tidak akan lama. Asapnya akan hilang kalau api di puntungnya sudah padam. Sedikit waktu lagi seorang perempuan muda akan melahirkan. Pada waktu itu kedua raja dan pasukannya akan berhenti mengepung Israel.

Bayangkan, kalau Maria adalah perempuan muda itu dan bayinya adalah Yesus. Itu berarti nubuat nabi Yesaya tidak dipenuhi di masa Ahas karena harus menunggu penggenapannya selama 900 tahun. Nabi apa ini karena membohongi raja dengan janji manis, jago PHP (Pemberi Harapan Palsu)?

Kalau begitu siapa perempuan muda dan anak yang dinamakan Imanuel oleh Yesaya? Yang pasti ini bukan tentang Maria dan Yesus. Yesus anak Maria tidak makan dadih dan madu. Pada zaman Yesus Israel hanya dijajah oleh satu raja: Roma, bukan dua raja. Lalu siapa?

Ahli-ahli yang menyelidiki PL menunjukkan hal berikut. Yesaya memiliki dua orang istri. Pertama adalah seorang nabiah yang memberikan baginya dua anak: Syear Yasyub (Yes. 7:3) dan Maher-Syalal Hash-Bas (Yes. 8:1). Istri kedua Yesaya adalah seorang gadis muda. Anak dari istri kedua inilah yang Yesaya sebutkan sebagai tanda bagi Ahas untuk tidak perlu takut terhadap ancaman Aram dan Israel.

“Nabi suka membicarakan hal-hal detail mengenai apa yang akan segera terjadi. Itu termasuk juga dalam ucapan-ucapannya yang bisa disebut nubuatan atau ramalan. Elemen ramalan itu selalu bertumpu kuat pada situasi masa kini Israel saat itu, bukan pertama-tama masa depan yang masih jauh sekali. Nabi berbicara tentang persitiwa masa depan yang sangat berarti dan menentukan bagi pendengarnya. Nabi tidak melupakan kondisi sosial masa hidupnya dan berbicara tentang sebuah kejadian masa depan yang tidak punya hubungan dan arti bagi bangsanya”

Yesaya 9:1-6 berhubungan dengan kondisi konkret Israel, yakni kesuraman, hidup dalam himpitan yang negeri Israel sedang hadapi. Penjajahan dan penindasan yang Israel hadapi akibat ulah dua raja Rezin dari Aram dan Pekah dari Israel (Yes. 7:1) membawa penderitaan dan kepahitan. Yang paling merasakan kepahitan adalah penduduk daerah Zebulon dan tanah Naftali.

Itu dua wilayah paling subur di Israel. Kita sama-sama tahu bahwa penjajah suka mengambil kekayaan negeri jajahan. Daerah paling kaya dan paling subur yang sering menjadi sasaran eksploitasi penjajah.

Di tengah penderitaan dan kepahitan yang dialami penduduk daerah Zebulon dan Naftali Yesaya memberitakan datangnya seorang pembebas. Orang Kristen memahami pembebas yang disebutkan Yesaya adalah Yesus. Tetapi yang Yesaya maksudkan bukan pertama-tama Yesus. Coba kita lihat gambaran di ayat 2. Metafora untuk menggambarkan suasana hari pembebasan itu diambil dari pengalaman sukacita para petani di musim panen, yang cocok dengan kondisi para petani di daerah Naftali dan Zebulon.

Nah, kalau Yesus bukan raja damai yang pertama-tama muncul di pikiran Yesaya, lalu siapa raja damai itu. Di Yehuda, segera sesudah Yesaya meninggal dunia ada seorang raja membuat reformasi besar-besaran. Raja itu membarui undang-undang agraria. Tanah para petani yang diserobot oleh para penguasa dan orang-orang kaya harus dikembalikan. Pasa-pasal dari undang-undang lama yang mewajibkan para petani untuk ikut berperang dihapuskan. Ini berarti para istri petani dan anak-anak tidak perlu merasa gelisah akan menjadi janda dan anak yatim karena ayah mereka gugur di medan perang, lalu mereka harus terjerat hutang dan dijadikan budak-budak.

Undang-undang itu adalah yang kita miliki sekarang dengan nama kitab Ulangan. Para petani di Israel menyambut undang-undang itu sebagai momen pembebasan yang luar biasa. Studi yang ketat dan teliti dari para ahli PL menyimpulkan bahwa raja yang melakukan reformasi besar-besaran itu adalah dua orang: Hizkia dan cicitnya Yosia.

Lalu bagaimana dengan Yesus? Apakah Yesus bukanlah Raja Damai yang ada dalam pikiran Yesaya saat mencatat ayat 5-6? Bukankah semua kualitas yang Yesaya sebutkan tentang Raja Damai itu cocok 100% dengan hidup dan pekerjaan Yesus?

Tentu saja tidak ada salah menyebut Yesus sebagai Raja Damai dan Mesias. Tetapi kekayaan pesan Raja Damai dan Mesias akan dipermiskin dan menjadi kering kalau nubuat Yesaya itu dilepaskan dari konteks sosial dan politik orang Israel pada masa hidupnya.

Menurut PL, nabi-nabi dan Israel secara keseluruhan Raja Damai dan Mesias bukan pertama-tama satu tokoh, satu orang atau satu pribadi. Raja Damai dan Mesias adalah terutama sebuah pergerakan, sebuah semangat kerohanian dan energi spiritual, kekuatan batin yang mengerakkan aksi dan memandu perilaku pemerintahan untuk menciptakan keadilan, menegakkan kebenaran dan menghadirkan pembebasan dan pembaruan.

Karena Raja Damai dan Mesias adalah sebuah pergerakan batin dan kekuatan spiritual maka kemesiasan makna kolektif. Mesias bukan hanya satu orang, tetapi satu kelompok orang yang hatinya tergerak untuk membuat perubahan, untuk mengakhiri penindasan dan untuk menjadikan kehendak Allah berkuasa dalam hidup bersama.

Yesus datang sebagai yang berdiri di kepala barisan pergerakan mesianis. Ia memanggil dan menghimpun orang-orang untuk berjuang dengan energi spiritual yang tinggi untuk menciptakan keadilan, menegakkan kebenaran dan menghadirkan pembebasan dan pembaruan. Para nabi PL memang melihat datangnya Yesus Raja Damai, Yesus adalah Mesias, tetapi bukan sebagai tokoh tunggal. Yesus lebih dilihat sebagai pemimpin yang menginspirasi manusia untuk menampilkan diri sebagai agen-agen pembaru, pembawa damai, penegak keadilan dan pemberi kesejahteraan bagi orang banyak.

Kalau kita merayakan Natal hanya sebabagi moment menyambut kedatangan Yesus sebagai Raja Damai dan Mesias, kita memiskinan Natal menjadi hanya sebuah perayaan liturgis di malam 24 Desember dan ibadah 25 Desember. Setelah itu kita kembali hidup dalam kebiasaan lama, terus merawat korupsi, tetap saja mempraktekkan ketidak-adilan dan melanggengkan feodalisme dalam berorganisasi dan bermasyarakat.

Sebaliknya, kalau kita menyambut kedatangan Yesus sebagai Raja Damai dan Mesias dalam arti Dia adalah panglima yang berdiri di depan untuk memberi teladan hidup yang diperbarui, maka tanggal 24 dan 25 Desember boleh berlalu, tetapi semangat kerohanian dan energi spiritual, kekuatan batin yang mengerakkan aksi untuk menciptakan keadilan, menegakkan kebenaran dan menghadirkan pembebasan dan memberantas kebohohan dan merebut kekuasaan dengan jurus tipu dan berikan tips akan menjadi budaya kehidupan sehari-hari. Amin. (Mohon hanya untuk konsumsi pribadi. Jangan disebarluaskan. tks).

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments