Jumat, November 8, 2024
Google search engine
BerandaINKLUSIReligi dan SpiritualitasKEKRISTENAN DAN INTELEKTUALITAS (2)

KEKRISTENAN DAN INTELEKTUALITAS (2)

sambungan dari Kekristenan dan Intelektualitas (1)

Bagaimana dengan Gereja?
Ada waktu yang cukup lama, misi gereja yang mengatasnamakan Yesus terutama adalah untuk keagungan peradaban Barat. Gereja berperan mentransfer pengetahuan modern Barat. Tapi, sekian lama itu pula misi itu tanpa pengetahuan “Khotbah Yesus di atas Bukit”. Yang ada adalah dominasi, klaim, dan penaklukan kesadaran dan pengetahuan budaya di mana gereja ditancapkan dan didirikan.

Namun, ketika para misionaris atau para zendeling itu menemukan orang-orang setempat dan mendidik mereka, barulah kekristenan memiliki arti. Resistensi kemudian berubah menjadi negosiasi dan dialog. Selalu saja ada yang paradoks dalam setiap perjumpaan, bahwa kekristenan nanti menjadi daya gerak kehidupan ketika ia direkonstruksi dengan kosmologi dan konteks kehidupan sehari-hari di mana ia hadir. Selama ia hanya sebagai “doktrin” klaim kebenaran maka ia tidak akan berfungsi untuk suatu transformasi. Maka, dapat dikatakan bahwa alasan orang-orang pribumi menjadi Kristen di masa lalu itu adalah karena agama baru ini telah diinterpretasi dengan kosmologi dan konteks orang-orang setempat itu untuk menemukan daya geraknya. Jika kekristenan di masa itu tidak berguna untuk membebaskan mereka dari kolonialisme atau disorientasi praktek agama lama, pastilah ditolak.

Ada aspek mistis religius di dalamnya, tapi paling penting ada daya tranformasi yang kuat dalam cara berpengetahuan baru yang ditawarkan oleh kekristenan. Itulah intelektualitas kekristenan. Sekolah berdiri di mana-mana. Mesin cetak diperkenalkan. Ilmu pengetahuan modern diajarkan. Semua itu, menurut orang-orang setempat masa itu (mereka adalah leluhur kita) sebagai cara berpengetahuan baru yang dapat memerdekakan mereka, terutama dari belenggu atau kerangkeng struktural. Jadi, kekristenan diterima karena menawarkan pengetahuan yang progresif, transformatif dan membebaskan! Itulah fungsi intelektualitas kekristenan di masa kolonialisme.

Bagaimana dengan sekarang? Di banyak tempat di negara ini, kekristenan telah menjadi organisasi mapan sebagai gereja dengan identitas dan nama yang membanggakan secara politis dan ekonomis bagi kaum yang tercabut dari kosmologi budayanya. Kekristenan diperlakukan tidak ubahnya seperti perusahaan transnasional atau partai politik tersamar yang berlambang salib secara tersamar pula. Di beberapa tempat, jaringan dan struktur kekuasaan gereja seluas dan sekuat jaringan dan struktur partai politik. Gereja atau kekristenan yang mapan secara politis-ekonomis dan sosial, sejarah menunjukkan justru akan terus melemah secara intelektualitas.

Peran intelektual gereja atau dalam bahasa rohani disebut “suara kenabian” yang berupa kritik dan pemikiran-pemikiran konstruktif yang transformatif untuk kepentingan banyak orang hilang dalam diskursus publik. Sebab, sudah menjadi kodrat kekuasaan yang ekskploitatif dan cenderung melayani kepentingan segelintir orang untuk selalu berusaha membungkan pemikiran-pemikiran kritis. Sebab, kekuasaan apapun untuk dapat tumbuh subur maka perlu didesain suatu masyarakat yang fatalistis yang hidup dengan kesadaran palsu karena tidak cukup asupan pengetahuan kritis. Kesadaran kritis kemudian diganti dengan kesadaran palsu. Agama dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat tanpa intelektualitas. Doktrin kesalehan, dan bahwa kehidupan di dunia hanya sementara sehingga kesialan atau penderitaan yang sejatinya dominan akibat kekuasaan yang merusak itu adalah kehendak Tuhan, akan menjadi khotbah-khotbah yang digemari.

Jadi, fenomena kemunduran, kejatuhan dan hilangnya peran gereja bagi peradaban adalah ketika ruang publik tidak lagi diwarnai dengan pemikiran-pemikiran kritis (intelektualitas) kekristenan. Hari-hari ini, wacana kekristenan di ruang publik dominan dalam bentuk pemujaan doktrin aliran, pengajaran remeh-temeh mengenai persembahan, sakralitas simbol dan jabatan gerejawi, seksualitas, moralitas personal, dan lain-lain yang tidak mencirikan intelektualitas. Semua itu justru adalah fenomena kekristenan sedang memasuki “masa gelap”.

Gereja dan kekristenan seperti itu membutuhkan pembaharuan. Pertama-tama adalah teologinya, yaitu intelektualitas yang kritis dan transformatif. Jika tidak dimulai dari hal itu, pembaharuan hanya akan berkisar pada hal remeh-temeh yang tidak berfaedah bagi peradaban yang semakin kompleks. Pembaharuan gereja tanpa intelektulitas, ia hanya akan menjadi pemurnian yang berkisar di seputar wacana “saleh-kafir” saja! (dennipinontoan, 09/05/2022)

(tulisan ini diambil dari laman facebook Denni Pinontoan dan dimuat atas seijinnya)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments