oleh : Dominggus Elcid Li*
Konstelasi geopolitik global akan terus bergejolak di tahun 2024. Titik-titik picu utama di Eropa (Ukraina), dan kini ‘disusul’ perang terbuka di Timur Tengah yang ditandai dengan serangan langsung pertama dari Iran ke wilayah Israel. Serangan ini merupakan bagian dari rentetan saling serang dalam shadow war antar kedua negara dan faksi-faksi militer terkait yang selama ini dijalankan di Timur Tengah.
Seperti serangan Rusia ke Ukraina yang tidak dapat dicegah oleh siapa pun, saling serang Israel dan Iran, juga tidak mampu dicegah siapa pun. Kondisi stalemate ini cenderung tidak bisa diurai oleh siapa pun di Eropa maupun di Amerika, atau di benua lain. Dua negara theokrasi dunia ini akhirnya saling berhadap-hadapan dalam perang, yang tentunya akan menarik gerbong negara-negara lain untuk terlibat, baik negara-negara dalam kawasan, maupun negara-negara sekutu strategis dalam konstelasi global. Dalam konteks theokrasi, Iran bersandar pada fatwa Ayatollah, sedangkan Israel juga bersandar pada sabda Rabbinate. Dalam imajinasi theokrasi, seruan penghentian perang oleh Presiden AS, Joe Biden, dianggap bukan lah siapa-siapa bagi kedua negara.
Publik dunia sebenarnya sangat berharap agar serangan Hamas ke Israel yang menjadi pemicu pendudukan langsung Gaza dalam beberapa bulan terakhir yang juga menjadi pentas genocida bisa diselesaikan, dan minimal gencatan senjata (cease fire) bisa dijalankan.
Namun untuk pertama kalinya jargon Hak Asasi Manusia, terasa begitu usang. Aroma ‘perang agama’ ada di depan mata. Puluhan ribu warga Palestina yang meninggal selama blokade dan serangan Isreal di Gaza, serta seribuan warga Israel yang meninggal di gedung konser karena serangan Hamas, hanya lah permulaan dari korban dan tragedi yang lebih besar di depan mata.
Perang Pasca Perang Dingin (cold war)
Perang global terakhir ditandai dengan berakhirnya perang dingin. Meski demikian, perestroika Gorbachev hingga saat ini dianggap sebagai kesalahan besar oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, khususnya terkait eskpansi NATO di negara-negara eks Soviet, termasuk Ukraina.
Hari-hari ini Posisi PBB (United Nations) juga semakin hari semakin lemah pasca Perang Dunia Kedua. Peran PBB amat terbatas ketika berhadapan dengan kepentingan negara-negara besar. Kritik Presiden Indonesia, Sukarno, tentang perlunya norma-norma dunia internasional baru di tahun 1960-an, yang melanjutkan rekomendasi Konferensi Bandung (Asian African Conference) tahun 1955, tidak pernah dibaca dengan saksama. Sebaliknya kritik Sukarno, dijawab dengan penggulingan kekuasaan, dan tragedi berdarah. Kedaulatan negara-negara baru dianggap tidak ada.
Jargon Hak Asasi Manusia (Human Rights) dan Kemanusiaan (humanity) ternyata ada batasnya dalam kerangka politik global. Kasta-kasta manusia dalam kebijakan politik internasional sangat terkait dengan kekuatan dan aliansi militer negara bersangkutan. Era perang global ditandai dengan ketidakmampuan sistem global menanggapi perbudakan moderen, dan meletakan relasi diplomatik untuk menyelesaikan perselisihan antar negara. Akibatnya dimana-mana, pengungsi (refugees) dan gelandangan tanpa negara (stateless) bermunculan. Kematian para pengungsi dimana-mana, dan pengusiran pengungsi yang terjadi di Eropa dan Indonesia juga menunjukkan melemahnya kemanusiaan.
Kaum Pacifis di Era Perang Baru
Seruan pembuatan blok politik baru yang diusung Presiden Sukarno dan para pemimpin negara-negara lain lewat Konferensi Asia Afrika hingga hari ini masih sangat relevan untuk dilanjutkan. Meskipun pandangan Sukarno ini juga dianggap absurd oleh sebagian orang yang mempertanyakan netralitas sebagai jalan alternatif dalam konteks perang.
Seorang warga negara lain pernah berkomentar tentang posisi Indonesia ini, ‘Tidak mungkin anda duduk di atas pagar, pada saat perang, yang ada anda akan menjadi sasaran tembak’. Sukarno memang menjadi sasaran tembak bersama. Mao Tse tung menulis puisi tentang daun-daun yang gugur terlalu awal tentang peristiwa ini.
Kini, di Indonesia yang ‘para pemimpinnya gila’, hanya sibuk mengurus trah dan klan politik keluarga, tidak mungkin ada cendekiawan-cendekiawan politisi kelas dunia lahir dari Indonesia. Dengan pengetahuan normatif, kemampuan para diplomat pun terasa amat terbatas. Konsep tegak lurus partai politik pun terasa amat menyakitkan kaum marhaen, karena yang sedang dilembagakan adalah dinasti, bukan watak orang merdeka Sukarno. Partai-partai lain juga tidak ada bedanya. Nepotisme yang pernah dikutuk kini disembah menjadi kebiasaan baru.
Eskalasi perang di Eropa dan Timur Tengah, tentu akan berimbas ke Indonesia. Sudah terbukti naluri faksi agama bisa dimainkan pada saat Pilkada Jakarta. Perang Israel-Iran kembali membuktikan jika anda bersembayang terlalu serius, anda malah tidak bisa berpikir. Khususnya berpikir tentang kemungkinan lain selain perang, sebab garis hidup-mati langsung diarahkan ke atas. Bagaimana anda bisa berdialog dengan orang yang menggap kematian sebagai hal suci, perang adalah pintu surga, dan yang lain (others) sebagai sasaran tembak?
Di Indonesia penetrasi sosial media yang merata di berbagai daerah dari Barat Indonesia hingga Timur Indonesia juga menjadi sasaran proxy war dari Iran dan Israel. Agitasi Iran menyebar merata di media sosial di Barat. Di Timur penyebaran dan penggunaan Bintang Daud di ruang publik juga marak, dan kerap diasosiasikan dengan salib.
Diksi ‘Judeo-Christian’ pun baru muncul pasca Perang Dunia II. Ini yang membuat saya merenung lama, ketika melihat bendera Israel diletakan persis di samping tiga salib pada saat Paskah di satu pojok jalan di kampung. Di satu sisi, minggu Paskah kita sedang merenung minggu penderitaan, dan di saat yang sama membayangkan anak-anak Gaza yang mati tertimpa bom, kelaparan, dan bantuan kemanusiaan lewat jalur udara. Wajah kawan-kawan asal Palestina dan Israel melintas di benak. Tragedi terlihat, tetapi tidak ada jalan keluar.
Pilihan dan Waktu yang terbatas
Percepatan Pemilu satu putaran bisa diasumsikan terkait dengan eskalasi geopolitik dunia. Kunjungan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan ke Presiden People’s Republic of China, Xi Jinping, mungkin juga dalam bacaan strategis ini. Setiap kali ada perubahan landscape politik dunia selalu dimulai dengan perang. Hadirnya negara baru, semacam Indonesia juga tidak lepas dari kekalahan Belanda di Asia, dan Eropa. Hegemoni AS atas Indonesia hari-hari ini pun sudah jauh berkurang, baik karena Trump, maupun afiliasi perang dingin era Soeharto yang melemah pasca 1999.
Untuk Indonesia agenda sederhana dalam negeri cuma dua. Pertama, pastikan sekian kelompok tidak terbawa-bawa dalam perang yang akan berlangsung panjang. Kedua, pastikan kepala negara berbicara sebagai negarawan yang mampu melihat landscape politik baru dunia. Tentu, butuh imajinasi, terutama untuk membayangkan kematian-kematian yang mungkin dan bagaimana kita dan dunia keluar dari tragedi.
Mudah-mudahan para elit penguasa negeri ini, sejenak keluar dari kebiasaan buruk lama, dan mau berusaha meletakan pikiran bijak sebagai panglima, dan bukan kebiasaan pat gulipat yang akan menyengsarakan rakyat di era perang.
*Peneliti di IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change)