Politik semakin jauh dari ideal. Segala keterbelakangan, ketimpangan sosial ekonomi, segala kemelaratan tidak menjadi agenda kontestasi Pilkada. Rentetan Pilkada dalam beberapa tahun belakangan hingga kini menjelma menjadi pertunjukan perjudian orang-orang berduit. Adu gagasan hanya menjadi semacam ritual tanpa makna karena gagasan pun bisa dibeli dengan duit. Mulai dari ibu kota negara hingga pelosok republik yang kita dengar hanyalah debat-debat tim sukses akar rumput yang berbicara si A punya sekian puluh M atau si B dengan sekian ratus M yang akan ‘membeli putus’ suara rakyat.
Persepsi akar rumput tentang politik pun berubah dari politik yang konotatif dengan tipu-tipu menjadi identik dengan adu Rupiah. Dari Ibu Kota yang kita pelajari adalah ‘dalam uang kita bersaudara’. Perbedaan ras, agama, golongan menjadi terjembatani dengan uang. Visi dan praktek politik berubah wajah dalam bentuk pragmatis dan oportunistik radikal.
Dunia politik kemudian semakin dipersepsikan sebagai wilayah kotor, penuh intrik dan perbuatan licik yang dengan uang mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, sangat berorientasi pada kepentingan kelompok modal sehingga dalam ranah tersebut yang dikenal adalah strategi eksploitasi abadi.
Dalam kapitalisme pasar yang dianut saat ini, akar rumput juga sibuk berdebat menghitung modal politik si A atau si B yang berasal dari keluarga feodal atau pun pejabat yang baru menjual tanah sekian puluh milyar sebagai modal kontestasi politik.
Pelajaran dari gelanggang politik saat ini memperlemah sendi-sendi demokrasi akar rumput. Rakyat dalam kemeleratan dan kemiskinannya sibuk berdebat soal berapa besar uang yang dipunya si A dan si B. Dan seolah-olah paling besar uangnya yang akan menentukan kesuksesan memimpin kedepan.
Tentu, bicara tentang pertarungan politik tidak bisa dipisahkan dari biaya politik. Tetapi bertarung secara all-out dengan meniscayakan moneypolitic membuat politik kehilangan makna.
NTT Yang Berjalan di Tempat
sumber foto : depositphotos
NTT membutuhkan perubahan. Banyak calon berkualitas menghendaki perubahan tetapi tanpa kekuatan dana. Di satu pihak, kemiskinan dan ketimpangan menyulitkan aksi kolektif. Kelas menengah yang terbentuk dalam satu dekade terakhir tidak mampu menyatukan diri dalam sebuah jejaring ideologis yang bisa dimobilisasikan. Situasi ini disenangi para pedagang politik yang mengusai atau mampu membayar partai politik.
Banyak orang muda menjadi jenuh dan jengkel dengan realitas nyata berpolitik yang tenggelam dalam urusan masing-masing dan tidak mau campur dalam urusan politik. Seolah-olah mengorbankan waktu bersama-sama dalam sebuah gerakan perubahan adalah kesia-siaan.
Pada dasarnya manusia adalah makhuk yang relational dan resiprokal (timbal balik). Dalam konteks politik borjuasi kondisi ini tampak nyata dan lebih mudah mengajak orang terlibat didalamnya, dengan imbalan jabatan, uang, proyek dan sebagainya ketimbang mengajak orang berjuang bersama demi kehidupan bersama yang lebih baik.
Esensi politik yang adalah etika melayani dan memperjuangkan ketidakadilan. Tetapi yang menjadi perubahan radikal saat ini terjadi pada kualitas pertanyaan akar rumput soal pilkada.
Akar rumput kita tidak lagi bertanya ”apa cita-cita besar si politisi?, atau ”kenapa katong harus dukung dia, programnya apa? ”agenda perubahannya seperti apa?” Realitasnya menjadi terbalik: politik semakin mengawinkan primordialisme (“dia orang (suku) apa? dia agama apa?) dengan uang (Dia kuat ko?, dia modal berapa?).
Demokrasi dapat berjalan baik jika ada rasa tanggung jawab. Agenda pendidikan politik terhadap warga akar rumput mandek total. Perginya para donor internasional membuat masyarakat sipil kelimpungan sumberdaya dan menjadikan para aktivis berlindung di bawah ketiak pemodal yang setiap waktu agresif menyandra pesta-pesta demokrasi yang mahal ini menjadi kemenangan modal.
Kembalikanlah politik yang pada hekekatnya adalah partisipasi warga yang dengan kesadaran diikut sertakan dalam sebuah proses politik dan dalam membangun sebuah sistem demi kesejahteraan bersama. Menjadikan rakyat sebagai pusat dari semua kontestasi politik yang dibasiskan pada kontestasi agenda demokrasi ekonomi. Jangan membiarkan kontestasi politik menjadi kontestasi modal.
Politik adalah pertempuran antara keyakinan (ideologi) yang kemudian berwujud dalam kebijakan publik dan kebijakan publik pada dasarnya keluar dari sebuah keyakinan. Tentu, berpolitik itu belajar dan melakukan (learningbydoing) ketika kita mengkritisi kita juga harus mengambil tanggung jawab didalamnya disisi lain juga harus membangun basis massa yang melek terhadap apa esensi dari politik. Kita harus menarik berbagai macam kesimpulan dan menjadi pemain aktif dalam berpolitik.
Media dan masyarakat sipil dan kita (rakyat) tidak hanya sekedar datang mencoblos dan memberikan pilihan pada masa pemilihan tiba, tetapi harus secara aktif menyatakan apa yang ingin di lakukan, apa yang kita (rakyat) ingin dengan daerah ini; bagaimana pemenang kontestasi pilkada mengelola sumberdaya kita dengan melibatkan warga secara aktif?
Karena kita akan masuk dalam pesta demokrasi dimana rakyat akan memilih siapa pemimpinnya lima (5) tahun kedepan, dengan sebuah kesadaran “Politik” memilih dengan pilihannya sendiri atau memilih dengan keterpaksaan? Money politik adalah bentuk politik yang penuh keterpaksaan (coersive). Bagaimana dengan NTT? Dalam uang kita bersaudara?
Sumber Foto : Facebook Un Weo
(Oleh : Yersi U. P. Weo Anggota Komunitas Akar Rumput NTT dan dimuat di SATUTIMOR.COM)