oleh : Pdt.Semuel Victor Nitti
Pada masa VOC kemudian Pemerintah Hindia Belanda, Sekolah-sekolah didirikan sebagai strategi penginjilan. Karena itu Kepala Sekolah sekaligus adalah seorang pendeta. Umumnya sekolah-sekolah itu hanya sampai kelas 3. Hanya ada satu sekolah di setiap wilayah yang sampai kelas 6. Melalui sekolah itulah anak-anak dibaptis sementara orangtua mereka masih menganut agama suku. Karena itu guru berfungsi sebagai “bapa sarani” bagi anak/murid yag dibaptis. Rumah sekolah dan rumah guru dibangun secara gotong royong oleh masyarakat, sedangkan gaji guru dibayar oleh Zending, kemudian oleh pemerintah Hindia Belanda.
Biasanya sesudah sekolah berdiri maka anak-anak dikristenkan lalu perlahan-lahan orang-orang tua pun dikristenkan/dibaptis. Para orangtua yang dibaptis kemudian membangun rumah gereja mereka sendiri. Dengan demikian masyarakat menjadi subyek yang membangun rumah sekolah, rumah guru dan rumah gereja. Zending Belanda, kemudian pemerintah Hindia Belanda hanya membayar gaji guru yang sekaligus adalah pendeta.
Sesudah kemerdekaan RI, diikuti dengan berdirinya GMIT, sekolah-sekolah yang diasuh oleh Zending/Pemerintah Hindia Belanda mendapat nama baru: Sekolah GMIT (SR GMIT, SD GMIT). Tetapi gaji guru dibayar oleh pemerintah RI. Apalagi pada awal kemerdekaan pemerintah belum memangun sekolah negeri di desa-desa dan kampung-kampung. Jadi GMIT memasang nama tetapi pemerintah RI menempatkan guru dan membayar gaji guru. Inilah awalnya gereja tidak menaruh perhatian terhadap pembiayaan pendidikan. Hal ini tidak menjadi masalah selama pemerintah RI belum membangun sekolah negeri, karena pemerintah RI menempatkan guru-guru negeri (pegawai negeri) ditempatkan di sekolah-sekolah GMIT dan membayar gaji para guru tersebut. Itulah sebabnya saya memasang judul tulisan ini SD GMIT – NEGERI. Sementara itu pembangunan rumah sekolah dan rumah guru masih menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah kampung. Pemeliharaan rutin sehari-hari dilakukan oleh para murid sampai pada awal tahun 1970an.
Tetapi ketika pemerintah RI membangun sekolah negeri ditambah lagi dengan sekolah Inpres maka di Timor muncul dua macam sekolah yaitu sekolah negeri dan sekolah gereja. Apalagi ketika pemerintah RI mengambil kebijakan untuk menempatkan guru-guru yang pegawai negeri hanya di sekolah negeri maka sekolah-sekolah GMIT mulai mengalami kekurangan guru. Berdasarkan pengalaman bahwa sekolah negeri dibangun dan dirawat oleh pemerintah maka akhirnya masyarakat pun meninggalkan tanggungjawab merawat sekolah-sekolah GMIT. Demikianlah sekolah-sekolah GMIT akhirnya dianak-tirikan oleh pemerintah dan diabaikan oleh GMIT. Dalam kondisi ini banyak warga gereja berpendidikan guru mengajar secara sukarela di sekolah-sekolah GMIT selama mereka menanti kesempatan untuk melamar dan diangkat menjadi guru negeri dan selanjutnya kebanyakan ditempatkan sebagai guru negeri di sekolah negeri. Demikianlah nasib sekolah sekolah GMIT yang dianak-tirikan oleh pemerintah dan diabaikan dan atau dilalaikan oleh GMIT.
Jadi kondisi memprihatikan dari sekolah-sekolah dasar berlabel GMIT adalah kondisi yang tercipta secara bertahap dan berproses dari sejak GMIT berdiri tahun 1947. Dan nampaknya GMIT belum berpikir, merencanakan dan bertindak sistematis untuk mengatasi masalah pendidikan dasar ini. Di antara masa panjang keprihatinan sekolah-sekolah GMIT dan kelalaian GMIT merencanakan penanganan secara sistematis dan tuntas itu saya juga berada pada pimpinan GMIT selama 15 tahun. Perhatian GMIT hanya pada bagaimana mengatasi kesulitan pembiayaan hidup para pendeta.
Pada masa kini telah terjadi “banjir pendeta” sehingga ada banyak Jemaat Mandiri yang menerima pendeta, padahal jumlah KK-nya tidak mencapai 50. Dan daftar tunggu para tamatan sekolah teologi untuk menjadi pendeta makin memanjang, sehingga banyak yang menunggu lebih dari 6 tahun baru bisa memasuki masa vicariat. Mungkinkah GMIT merancang strategi agar tidak membiarkan penumpukan calon pendeta dan menghindari pendewasaan paksa Jemaat- Jemaat yang warganya tidak lebih dari 50 KK, dengan menjadikan para calon pendeta yang menumpuk di daftar tunggu menjadi PENDETA – GURU ? Tujuannya agar mengurangi penumpukan calon pendeta-penanti dan mengatasi masalah kekurangan guru pada sekolah-sekolah GMIT. Tentu saja dibutuhkan rencana strategis yang memungkinkan para calon pendeta memenuhi syarat menjadi guru dan tersedianya dana untuk membiayai Pendeta-Guru. Saya memperhatikan bahwa kalau Jemaat-Jemaat GMIT didorong untuk berhenti berlomba membangun gedung ibadah yang serba mahal, apalagi dengan membongkar gedung gereja yang masih bisa bertahan puluhan tahun, maka pemborosan harta milik Tuhan yang dipercayakan Tuhan kepada Jemaat-Jemaat GMIT akan menjadi kekuatan besar untuk “perluasan pekabaran Injil di mana-mana”, termasuk melalui sekolah-sekolah GMIT sebagaimana didoakan setiap minggu dalam ibadah minggu sebelum atau sesudah persembahan.
Salam dari Oebufu!
#Ceritaito
sumber : Fb Pdt.Semuel Victor Nitti (22/07/24)