Terima kasih Sinode GMIT sdh memberi liturgi yg indah hari ini. Saudara-saudara di Rote terutama di Rikou/Ringgou pasti senang sekali bisa menggunakan bahasa sendiri dalam ibadah. Hanya orang Rote yg bisa membedakan dialek-dialek Rote. Di jemaat GMIT lain di Rote entah mereka menyesuaikan atau tetap mengikuti dialek dalam liturgi. Di jemaat kami, Rehobot Bakunase, lagu-lagu paduan suara juga dinyanyikan dalam bahasa Rote, walau dialeknya Rote Tengah. Terima kasih.
Sebagai orang Rote saya suka terenyuh dengan syair-syair seperti ini, karena terjemahan thd lagu-lagu ke dalam bahasa daerah itu mau tak mau harus ada yg diterjemahkan dlm bahasa kiasan bukan bahasa harfiah semata. Justru itu yg membuat kita merenung dan berpikir.
Salah satu contohnya kata Tiadea Rada’aran disebutkan beberapa kali. Itu adalah kata paralel. Keduanya mempunyai arti yang sama yaitu bersandar namun bukan bersandar dlm pengertian biasa. Tiadea berasal dari dua kata yg digabungkan. TIA artinya teman. DEA artinya belakang atau punggung. Jadi TIADEA artinya tempat bertemannya punggung. Ketika punggung kita mendapatkan teman artinya punggung menemukan sandaran.
Sedangkan Rada Aran atau RADAKARAN juga berasal dari gabungan dari dua kata yaitu RADA dan ARAN. Rada artinya menengadahkan atau bertumpu. Sedangkan aran artinya dada. Dalam bahasa Rote, mertua disebut Ara juga. Mertua laki-laki disebut Ara aman dan mertua perempuan disebut Ara inan.
Mungkin karena pemahaman bahwa sebagai pengganti orang tua kandung, mertua adalah tempat bersandar. Kembali ke Rada Aran yang artinya bersandar dengan dada. Jadi ketika dada kita kita tumpuhkan pada sesuatu artinya kita melimpahkan segala tubuh kita pada sesuatu. Itulah menyerahkan diri atau berharap. Atau lebih harfiah bersandar dengan dada. Inggrisnya mungkin “lean on”. Indah bukan, artinya? Apalagi kalau kata itu adalah nama anak anda? Yang anda beri nama karena sebuah pergumulan. Ada teman yg bertanya kpd saya “kok bukan Radakaran?” Saya jelaskan bahwa itu dialek orang Ringgou dan Landu. Kalau dialek Rote lain berbeda lagi. Di Thie misalnya dipakai ‘Radakaran’.
Di penghujung ibadah saya sempat berpikir “mengapa dulu ketika masih remaja, ayah dan ibu saya begitu menginginkan kami anak-anaknya mencintai budaya Rote dan kami tidak suka? Papa dan mama bikin sanggar dan melatih kami menari justru kami menolak. Setiap kali latihan saya melarikan diri ke kali. Waktu itu pikir saya apa sih yg bagus dari budaya Rote?
Tapi sekarang, entah mengapa saya sangat menginginkan anak-anak saya mencintai budaya Rote, padahal saya juga tahu mereka juga bersikap seperti saya waktu masih muda? Ah nanti suatu saat juga mereka sadar seperti saya. Mungkin setelah mereka melanglangbuana melihat luasnya dunia baru mereka sadar mereka punya sesuatu yang patut dibanggakan dan dicintai. #bukuku#ceritatok#ceritatidimuri
sumber : Fb Matheos Viktor Messakh