Siaran Pers
SAIFUL MUJANI RESEARCH AND CONSULTING (SMRC)
Jakarta, 24 Mei 2022
Dunia Islam cenderung negatif pada demokrasi, tapi Indonesia menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Hal ini dikemukakan oleh ilmuan politik, Prof. Saiful Mujani, pada program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Islam Memperlemah Demokrasi?” yang tayang di kanal YouTube SMRC TV pada Jumat, 27 Mei 2022.
Video utuh pemaparan Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/bCU06NyKlhI
Dalam presentasinya, Saiful Mujani menunjukkan data yang dihimpun dari Freedom House dan World Population Review. Saiful menjelaskan dari 187 negara di dunia, terdapat pola linear bahwa semakin banyak proporsi penduduk Muslim di sebuah negara, maka tingkat kebebasannya semakin rendah. Yang menarik adalah bahwa Indonesia outlier, keluar dari pola umum ini. Pola umumnya adalah Islam berhubungan negatif dengan demokrasi, tapi Indonesia tidak. Indonesia berpenduduk 87 persen muslim. Tapi demokrasinya relatif baik dibanding dengan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang lain di mana dukungan pada demokrasinya rendah.
“Skor kebebasan Indonesia sekarang 60. Diharapkan menjadi sekitar 80 di masa mendatang kalau tidak terjadi pemburukan demokrasi di Indonesia,” kata Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta itu.
Saiful menegaskan bahwa walaupun ada trend penurunan demokrasi, tapi dibanding negara-negara berpenduduk Muslim lain, Indonesia paling maju.
“Karena itu, kalau dikatakan bahwa Indonesia sebagai model demokrasi di negara-negara berpenduduk Muslim, itu ada alasannya,” lanjutnya.
Lebih lanjut Saiful menyatakan bahwa secara umum, data di atas mengkonfirmasi pandangan yang menyatakan Islam tidak bersahabat dengan demokrasi. Ini bisa dilihat pada negara-negara Muslim di Timur Tengah. Juga bisa dilihat pada Turki yang sebelumnya memiliki sistem demokrasi yang bagus, sekarang mulai rusak. Tunisia pernah mengalami demokrasi yang cukup baik, bahkan lebih baik dari Indonesia, tapi belakangan juga rusak.
“Harapannya tinggal Indonesia,” kata Saiful.
Dalam kasus Indonesia, peraih Ph.D political science dari Ohio State University, Amerika Serikat, ini menjelaskan bahwa ada kecenderungan orang Islam lebih kurang mendukung demokrasi dibanding orang Katolik dan Protestan. Ini berdasarkan data survei yang dilakukan oleh SMRC dalam 10 tahun terakhir tentang preferensi pada demokrasi menurut agama.
Senada dengan itu, data survei ini juga menunjukkan warga yang pro-Pancasila lebih kuat dukungannya pada demokrasi dibanding dengan yang pro-Islam. Namun demikian, ada penguatan dukungan dari kalangan yang pro-Islam pada demokrasi.
“Saya selama ini bertanya-tanya, apakah Pancasila itu cukup bisa menjadi dasar untuk demokrasi atau tidak? Sejauh ini lumayan, orang-orang yang memilih demokrasi dari kalangan yang pro-Pancasila sebagai dasar negara cukup besar,” tambahnya.
Data ini, menurut Saiful, mengkonfirmasi data global bahwa aspek Islam negatif pada demokrasi. Di tingkat mikro, Indonesia, juga demikian. Secara global dan lokal, ada konsistensi efek agama pada kinerja atau preferensi pada demokrasi.
Saiful berharap bahwa ke depan preferensi pada demokrasi akan semakin kuat pada dua kelompok sosial itu. Apapun agamanya, kata dia, mestinya demokrasi sama-sama kuat diterima sebagai sistem politik terbaik untuk sebuah negara.
Saiful menutup diskusi dengan penjelasan bahwa topik Bedah Politik kali ini terkait dengan peringatan 24 tahun demokrasi Indonesia.
“Diskusi kita tentang demokrasi ini untuk memperingati hampir seperempat abad demokrasi Indonesia yang dimulai pada bulan Mei 1998,” tutupnya.
–AKHIR SIARAN PERS–