Oleh: Dominggus Elcid Li*
Tinggal di Kota Kupang kita perlu terbiasa menikmati genangan air. Tak perlu marah, apalagi protes. Jika hujan tiba selain rumput-rumput yang merajalela dan ditemani nyamuk-nyamuk, genangan ada dimana-mana. Kota yang bertumbuh tanpa rencana menyimpan persoalan untuk generasi masa depan. Kota yang dibuat asal jadi hanya membuat orang pasrah tergenang.
Saat malam mengantung, dan hujan turun deras di Bulan Februari, dan genangan air buatan manusia dimana-mana kita hanya bisa berandai. Ya, seandainya semua direncanakan dan dikerjakan dengan baik. Tentu tak perlu ada genangan. Apalagi banjir.
Seorang Om berkabar. Kakinya patah. Air genangan yang tumpah ruah ke jalan membuat ia tergelincir dan terperosok dan kakinya patah. Ia harus istirahat enam bulan ke depan. Ya, seandainya genangan air itu bisa diatur. Tetapi apakah kita bisa mengatur air, jika pikiran kita pun tak bisa diatur dan senantiasa tergenang?
Seandainya ada yang dipikirkan. Pikiran apa yang dihasilkan? Jika pikiran tidak bisa diatur, dan jemari bergerak tanpa terkendali dari satu genangan ke genangan yang lain, apa mungkin ada yang dihasilkan? Perencanaan yang dibuat setengah jadi, cuma menghasilkan genangan. Tak kemana-mana.
Seandainya air tidak diabaikan mungkin genangan bisa dihindari. Hujan yang turun dari langit biasanya mengalir. Namun jika dalam kreasi manusia malah membuat genangan dimana-mana, ini kita kasi nama apa?
Dari kampung ke kampung di dalam kota, terlihat barikade-barikade pagar yang menghalang agar air tak masuk ke rumah. Bagi yang beruntung, mau, dan punya uang tentu mampu memasang ‘bendung kecil’ di depan rumah agar tidak terendam. Sedangkan yang lain kadang sudah tak tahu harus berbuat apa.
Seorang RT yang saya hormati di kawasan perkantoran kami adalah salah satu yang harus siap tergenang. Seandainya kontur jalan menyediakan lorong air ke dalam got yang sudah dibangun. Tentu Pak RT tidak harus menanggung sendiri. Seandainya got ada gunanya, Pak RT tentu tidak murung setiap kali hujan deras tak henti, dan halaman rumahnya berubah menjadi danau. Endapan lumpur diam berhari-hari. Menunggu kemarau tiba dan mengeraskan tanah kembali.
Kadang kita tidak habis pikir, tempat resapan air pun ditimbuni tanah. Katanya ingin dibuat taman. Tapi kenapa harus membuat genangan air? Air bisa diatur, dan itu dimulai dalam pikiran. Tanah-tanah basah (wetlands) yang ditimbuni hanya membuat genangan bahkan banjir yang dulu tak pernah ada. Dalam proyek pembangunan hal pertama yang dicek adalah ‘proyek fisik’ sudah berjalan 100%. Tidak pernah dibuat analisa sederhana setelah ‘manusia berkarya’, apa yang terjadi? Genangan tentu bukan kecelakaan, jika perencanaan itu ada.
Perencanaan yang hanya mengatur fisik proyek, hanya mengatur tentang kerja manusia. Tentang uang yang dibutuhkan untuk merubah landscape. Namun tidak menghitung apa terjadi setelah alam diubah. Itu pun kalau ada yang dipikirkan, selain karena sudah terlanjur lelah hidup dalam genangan yang tak ada saluran keluar. Orang hidup hanya dari genangan satu ke genangan lain, tanpa ada sirkulasi. Mampet. Sumpek. Buntu. Pasrah. Ruwet.
Pernah ada yang mengeluh tentang genangan, lalu ada batu batako yang berkomentar ‘Coba bayangkan ini musim kemarau, jangan hanya protes saat musim hujan, musim hujan cuma 3 atau 4 bulan kalau kita beruntung.’ Batu batako memang tidak perlu berpikir. Ia cuma mimesis, mengulang yang muncul, dan menyebutkan yang didengar, tapi tidak menganalisa. Tidak perlu pikiran. Baginya genangan yang tercipta ‘akibat’ buatan manusia adalah ‘takdir’. Ya, setidak-berdaya-nya itu genangan air. Dibuat manusia sendiri, dan seolah lupa. Jika yang dibangun hanya menghasilkan genangan, apa itu bisa disebut pembangunan?
Di sela pembangunan taman, mall, bangunan besar, jalan, trotoar, maupun rumah-rumah yang dibangun sendiri cuma menghasilkan genangan untuk diri sendiri atau orang lain. Lantas setelah dibangun, diresmikan di musim kemarau. Lalu tergenang di musim hujan. Pembangunan kok cuma satu musim…
*Penikmat gerimis, bekerja sebagai peneliti di IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change)
Foto : Elcid Li