Siaran Pers
SAIFUL MUJANI RESEARCH AND CONSULTING (SMRC)
Jakarta, 27 Oktober 2022
Perbedaan pendidikan pemilih berpengaruh signifikan dalam pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Demikian kesimpulan studi ilmuwan politik Prof. Saiful Mujani dalam program Bedah Politik yang bertajuk ”Kelas Sosial, Pilpers, dan Pileg 2024” yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV, pada 27 Oktober 2022.
Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/j2iufgKjnME
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tersebut menjelaskan bahwa pengaruh tingkat pendidikan terhadap perilaku memilih biasanya dibingkai dalam konteks kelas sosial. Kelas sosial dipercaya berpengaruh terhadap pilihan politik. Ketika membahas kelas sosial dan perilaku memilih, indikator yang dipakai antara lain adalah tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pendapatan.
Apakah perbedaan pendidikan yang merupakan cerminan dari perbedaan kelas sosial memiliki pengaruh terhadap pilihan politik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif?
Saiful menunjukkan bahwa dalam survei SMRC dua tahun terakhir (2021-2022), dengan total sample 8319, secara umum perbedaan pendidikan berpengaruh signifikan dalam perilaku memilih. Jika tingkat pendidikan dibagi antara SLTP, SD, dan tidak bersekolah dengan SLTA ke atas, proporsinya hampir seimbang. Yang berpendidikan SLTP ke bawah sekitar 53,2 persen, sementara yang SLTA ke atas sekitar 46,8 persen.
PEMILIHAN PRESIDEN
Studi ini menunjukkan bahwa yang memilih Anies Baswedan cenderung berasal dari kalangan menengah ke atas. Ada 20 persen dari yang berpendidikan SLTP ke bawah yang memilih Anies, sementara yang SLTA ke atas 27 persen.
Saiful menjelaskan bahwa Anies relatif baru dalam politik Indonesia, karena itu yang potensial mengenalnya pertama kali adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi dibanding masyarakat pedesaan yang kurang akses pada berita dan mereka umumnya memiliki pendidikan yang lebih rendah.
Sama dengan Anies, Ganjar Pranowo dalam politik nasional juga relatif pendatang baru. Anies dan Ganjar adalah gubernur, karena itu, menurut Saiful, pada dasarnya meraka adalah tokoh lokal. Tapi menjelang pemilihan umum, mereka masuk menjadi tokoh nasional, setidaknya dalam pemberitaan.
Itu yang menjelaskan mengapa proporsi pemilih Ganjar lebih besar pada yang berpendidikan tinggi dibanding yang rendah. Dari yang berpendidikan SLTA ke atas, Ganjar dipilih sekitar 31 persen, sementara yang berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 26 persen.
Hal ini berkebalikan dengan profil pendukung Prabowo Subianto. Ada 36 persen yang berpendidikan SLTP ke bawah yang memilih Prabowo, sementara yang berpendidikan SLTA ke atas sebesar 28 persen.
“Proporsi pemilih yang berpendidikan lebih rendah lebih besar dari yang berpendidikan lebih tinggi pada pemilih Prabowo,” kata Saiful.
Saiful menyatakan bahwa bisa dipahami mengapa proporsi pemilih yang berpendidikan menengah ke bawah lebih tinggi yang memilih Prabowo karena Prabowo sudah sangat lama dikenal dalam kontestasi pemilihan presiden, sudah dua kali menjadi calon presiden.
“Karena itu masyarakat di bawah sudah mengenal Prabowo. Sementara Ganjar Pranowo belum cukup dikenal pada masyarakat bawah,” jelas Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.
Secara keseluruhan, ini menunjukkan perbedaan kelompok pendidikan memiliki pengaruh signifikan dalam pilihan calon-calon presiden.
“Unsur perbedaan pendidikan tidak bisa diabaikan,” kata Saiful.
Saiful melanjutkan bahwa data ini memiliki implikasi pada sosialisasi. Biasanya orang yang berpendidikan lebih sulit diyakinkan. Orang pendidikan lebih kritis, bisa berdebat, dan tidak mudah dimobilisasi untuk memilih seorang calon. Sebaliknya, orang yang kurang berpendidikan biasanya menjadi target mobilisasi.
Dalam konteks ini, menurut Saiful, secara praktis, Prabowo lebih rentan karena pemilih cenderung lebih mudah dimobilisasi. Orang yang kurang berpendidikan lebih mudah dipengaruhi oleh yang berpendidikan lebih baik.
PEMILIHAN LEGISLATIF
Dalam pemilihan legislatif, secara umum, tingkat pendidikan juga berpengaruh. Orang yang memiliki pendidikan SLTP, SD, atau tidak bersekolah cenderung lebih tinggi pada pemilih PDIP. Ada 27 persen yang berpendidikan SLTP ke bawah yang memilih PDIP, sementara yang SLTA ke atas 23 persen. Hal yang sama terjadi pada Golkar, pemilih dari SLTP ke bawah 12 persen, sementara SLTA ke atas 9 persen. Pemilih SLTP ke bawah PKB 9 persen, SLTA ke atas 7 persen. PPP yang SLTP ke bawah 3 persen, SLTA ke atas 2 persen.
Kebalikan dari partai-partai ini, pemilih PKS justru lebih dominan dari yang berpendidikan SLTA ke atas, 7 persen, sementara yang SLTP ke bawah 3 persen. Pemilih Gerindra dari SLTP ke bawah 10 persen, SLTA ke atas 11 persen. Pemilih Demokrat 6 persen dari yang berpendidikan menengah ke bawah, sedang kalangan menengah ke atas 7 persen. PAN memperoleh suara dari dua kelompok pendidikan masing-masing 2 persen. Sementara partai-partai baru memiliki kecenderungan dukungan lebih kuat dari kalangan berpendidikan menengah ke atas (5 persen) dibanding menengah ke bawah (4 persen).
Secara umum, lanjut Saiful, PDIP dan Golkar memiliki basis pemilih yang lebih kuat dari kalangan berpendidikan menengah ke bawah. Sebagimana dalam Pilpres, pemilih dari lapisan bawah cenderung lebih rentan mobilisasi dan lebih mudah berubah.
“Kelas sosial, diukur dari pendidikan, berpengaruh dalam perilaku memilih di Indonesia,” pungkasnya.
–AKHIR SIARAN PERS–