TAKLALE.COM-Sabu,-Dari lokasi Persidangan Sinode GMIT XXXV yang tengah berlangsung di Sabu Raijua. Kamis (12/10) kemarin, Rumah Harapan GMIT mendapat kesempatan untuk berbagi pengalaman dalam Lokakarya yang dalam bahasa lokal disebut KEHALE, yang berarti rumah tempat membicarakan berbagai urusan dalam keluarga. Rumah Harapan GMIT sendiri ada dalam kelompok tema khusus, Pencegahan Kekerasan Dalam Gereja dan Masyarakat.
Dalam lokakarya itu, Rumah Harapan GMIT berbagi cerita pelayanan selama ini dan menjaring dukungan untuk menjadi BPP berbadan hukum negara. Materi disampaikan langsung oleh Ketua Pengurus Rumah Harapan GMIT Ferderika Tadu Hungu, STh, MA.
Menurutnya, status Rumah Harapan saat ini yakni sebagai Satgas tidak lagi cukup sebagai dasar untuk mengerjakan program-program yang makin besar dan sudah dikerjakan oleh Rumah Harapan GMIT.
Ferderika menjelaskan, sesuai dengan usulan dari Sidang sebelumnya (2019) di Paulus, sudah saatnya Rumah Harapan GMIT untuk mandiri, “Ibarat baju kita, baju Rumah Harapan saat ini sudah kekecilan tidak cocok lagi,” tandasnya.
Dia mencontohkan, jika sudah berbadan hukum negara, Rumah Harapan GMIT akan lebih mampu untuk menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, seperti pemerintah, lembaga donor, universitas, dan LSM lainnya. “ hal ini akan memperluas jaringan organisasi, meningkatkan pertukaran pengetahuan, dan memungkinkan berbagi sumber daya dengan lebih baik,” katanya.
Tanggapan beragam datang dari peserta sidang yang hadir, termasuk mendukung harapan Rumah Harapan GMIT untuk beralih dari satgas menjadi BPP berbadan hukum, yang diharapkan dapat memperluas kerja baik yang selama ini sudah dilakukan oleh Rumah Harapan GMIT. Salah satunya disampaikan Pdt Alit Lola, peserta dari Klasis Fatuleu Barat. Saat dihubungi terpisah per telepon, Jumat siang (13/10), Pdt Lola menyampaikan dukungannya. “Dari sharing pengalaman itu, jelas tergambar bahwa Rumah Harapan GMIT sudah bekerja dengan luar biasa, patut didukung.”
Karenanya dia berharap dalam pleno sidang nanti, Rumah Harapan GMIT bisa mendapat dukungan yang baik sehingga peralihan yang diharapkan bisa terlaksana. “Berharap dalam pembahasan di Pleno bisa diterima.
Sayangnya memang banyak peserta yang belum tahu benar kerja dan tugas Rumah Harapan GMIT. Ini jadi PR buat Rumah Harapan GMIT untuk makin dikenal dan makin jadi berkat buat banyak orang,” tandasnya.
Sebagai informasi, Rumah Harapan GMIT merupakan salah satu Satuan Tugas dari Unit Pembantu Pelayanan Tanggap Bencana Alam dan Kemanusiaan Sinode GMIT, yang bekerja khusus melindungi dan mendampingi Korban Perdagangan orang dan Korban Kekerasan berbasis Gender.
Terhitung sejak tahun 2018 hingga 2022, Rumah Harapan GMIT telah menangani 273 kasus kekerasan berbasis gender dan 55 kasus perdagangan orang serta 398 kasus penerimaan jenasah Pekerja Migran Indonesia asal NTT yang dipulangkan.
Lokakarya KEHALE ini berlangsung terpisah pada beberapa lokasi, dengan topik berbeda, seperti Konservasi Air dan Pengembangan Bambu, Pelayanan Anak, Pelayanan Kaum Muda dan Digital Penanganan Resiko Bencana dan sebagainya. Sementara untuk tema Pencegahan Kekerasan Dalam Gereja dan Masyarakat berlangsung di gedung kebaktian Jemaat Syalom Raeliu, Klasis Sabu Barat. (Enyth | Rumah Harapan GMIT )