Daniel K. Listijabudi*
Kisah Para Rasul 2 : 1-13
Bahasa apa?
Apakah “ragam bahasa yang diucapkan para murid dalam Kisah Para Rasul (KPR) adalah “bahasa roh yang diilhamkan Roh Kudus sehingga bersifat supranatural, namun dimengerti oleh manusia” ataukah seperti konsep “glossolalia” dalam 1 Kor 14 (yang) menunjuk pada bahasa roh yang bahasanya tidak bisa dimengerti oleh manusia karena merupakan bahasa rahasia yang diilhamkan langsung oleh Roh Kudus.” (p. 1,2) ?
Menyoal Istilah
Tentang istilah yang dipakai, dalam KPR 2, dituliskan :
– Kisah 2:4 Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.
– Acts 2:4 And they were all filled with the Holy Spirit and began to speak in other tongues, as the Spirit gave them utterance (RSV).
Di dalam teks Yunani, dipakai frase heterais gloossais “bahasa lain”. Mungkin ini bisa disebut dengan istilah lain, yakni “xenolalia” berkata-kata dengan bahasa asing (xenos). Contohnya, demikian: Ada seseorang dari etnis Batak Toba, tiba-tiba oleh daya Roh bisa berbahasa Rusia. Seseorang beretnis Jawa dan hanya bisa bahasa Jawa, tetiba menjadi lancar berbahasa Jerman atau Mandarin. Teman berkebangsan Indonesia-Belanda, tiba-tiba karena daya Roh lancar menyaksikan berita Injil dalam bahasa Madura; saya orang Tionghoa peranakan berkultur hibrid (terpengaruh budaya Jawa rada kasar dari Jepara plus dan sekaligus terpengaruh Jawa halus Jogja karena pernikahan dengan adik kelas saya yang adalah mahasiswa teologi asal GKJ dan tinggal cukup lama di Salatiga dan di situ menggunakan bahasa Jawa (relatif) halus dalam pergaulan pastoral sesehari sebelum lalu pindah kembali ke Jogjakartahadiningrat (salah satu pusat kultur Jawa), yang hanya sedikit ikut-ikutan hapal-hapalan berbahasa Belanda (walau sekolah di Amsterdam, jadi rada bisa sedikit-sedikit mengucapkan dank u wel, alstublieft, goede morgen, dll), tiba-tiba karena karunia Roh Kudus tiba-tiba bisa berbahasa Korea selancar Lee Min Ho….
Sementara, dalam 1 Kor (14: 4), tertulis:
– Orang yang berbicara dalam bahasa yang ajaib hanya menguatkan dirinya sendiri saja, sedangkan orang yang menyampaikan berita dari Allah menolong jemaat menjadi maju (versi BIS/BIMK).
– Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat (TB LAI).
– He who speaks in a tongue edifies himself, but he who prophesies edifies the church (RSV)
Bahasa Yunani yang dipakai : “ho laloon glossee”, artinya: “ia yang berbicara dalam bahasa/ucapan” – “he who speaks in a tongue” (RS). Apa ini? Mungkin saja maksudnya, “bahasa atau ucapan yang tak dikenal” (unknown language, seperti diusulkan Alkitab versi Reviseb Webster Update, 1995)
Inilah yang biasanya dimaksud dengan “glossolalia”, maksudnya bahasa lidah (walau glossa dan lalia, artinya sama-sama: bahasa, ucapan atau lidah). Penerjemah Alkitab menerjemahkannya bahasa Roh (yang kalau harfiah khan mestinya dari frase pneuma-lalia, ya to?). Praktek-prakteknya bisa ditemui dalam ibadah publik atau devosi pribadi teman-teman kharismatika/pantekostalit, atau siapa saja yang dikaruniai. Orangnya bisa berkata-kata dalam bahasa yang rahasia, yang diucapkannya kepada Allah, yang dapat membangun dirinya sendiri, tapi tidak membangun umat jika dalam ibadah bersama tidak ada orang yang dikarunia untuk menafsirkan ἑρμηνεία, hermeeneia (1 Kor. 12:10 ) – bukan menerjemahkan- bahasa itu (untuk membantu orang lain yang tak dikaruniai sama seperti penutur atau penafsir).
Misalnya, salah seorang jemaat (lelaki), karena rahmat Allah, tiba-tiba dalam kebaktian Pendalaman Alkitab, berdiri dan berkata-kata dalam bahasa rahasia (bahasa lidah), yang tak bisa didapati di kamus manapun terkait diksi, vocabulary, apalagi makna sintaksis kalimat-kalimatnya (walau kadang pelaku di beberapa gereja nampaknya mengucapkan hal-hal yang kedengarannya mirip). Nah, si jemaat ini sendiri terberkati oleh pengalaman rohaninya, namun kita semua melongo tak tahu apa yang ia katakan, sampai tiba saatnya salah seorang jemat (perempuan) yang dikaruniai Allah dengan kemampuan menafsirkan berdiri dan menjelaskan pada kita semua, sehingga kita tak lagi melongo karena bingung, tapi tetap berdecak karena kagum. Ckckckckckckck……
Apa yang (mungkin) terjadi?
Persoalan dalam memahami gejala yang diceritakan dalam teks:
“Para murid berkata-kata dalam bahasa bisa “mendengar para rasul (yang adalah orang Galilea) itu berbicara dalam bahasa mereka sendiri” (2: 6). Kata mereka: “Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita: kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma,11 baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab (KPR 2:8-11 TB LAI ).
Terhadap hal ini, terbukalah adanya 2 opsi:
1. Para rasul yang adalah orang Yahudi, yang lingua franca-nya, adalah bahasa Aram, memang BERBICARA (berkata-kata) dalam bahasa-bahasa yang asing bagi penuturnya yakni “Media, Elam, Mesir,dll….” karena daya Roh Kudus ( xenolalia, hetero-glossa).
2. Para rasul berbicara dalam bahasa Aram atau Ibrani, namun Roh Kudus membuat para pendengar (para Yahudi Diaspora) MENDENGAR kata-kata para rasul itu dalam bahasa asli yang digunakan para pendengar di negerinya.
Mana/apa yang diubah Roh: Kata-kata para rasul ATAU Pendengaran para pendengar? Karunia pada hari Pentakosta adalah karunia bicara ATAU karunia mendengar (tentang hal-hal besar yang dikerjakan Allah)?
Dalam studi patristik, dalam artikel On Pentecost, What Language Was Heard? (http://orthochristian.com/104031.html), misalnya kedua pendapat ini memiliki pendukungnya masing-masing. Gregorius sang Teolog, mengikuti interpretasi literal: “the Apostles were not speaking in Hebrew, but in foreign languages” ~ para rasul tidak berbicara dalam bahasa Ibrani, tapi dalam bahasa-bahasa asing. Sementara Gregorius dari Nyssa, meyakini bahwa they were speaking in Hebrew, but that “every man heard them speak in his own language” ~ mereka (para rasul) berbicara dalam bahasa Ibrani, namun bahwa setiap orang yang mendengar mereka, mendengarnya dalam bahasa para pendengar itu sendiri-.
Selengkapnya berikut tulisan Bobosh:
(Gregory the Theologian) asserts that the phrase “each one heard them speak in his own language” requires punctuation for the best interpretation. He suggests that a comma should be inserted after the word “heard” so that the text would have the sense “they spoke the languages of those who heard them. What prompts the Theologian to add this punctuation and provide the text with this interpretation is his pious desire to honor the Holy Apostles. He notes that otherwise this aspect of the miracle would refer to the crowds who were listening rather than to the Apostles who were speaking and that the magnitude of the miracle would be decreased. ……
Alternatif lain terhadap tafsiran klasik di atas adalah, bahwa “one voice came forth, but they heard many” (satu suara (bahasa) diujarkan, namun para pendengar mendengarnya sebagai yang jamak). Ini pendapat dari Gregory of Nyssa. Selengkapnya Bobosh menguraikan: “apparently follows this interpretation when he speaks of the “divine power being portioned out into many languages” for the benefit ofall. For Saint Gregory of Nyssa, each person received the one “proclamation in his own dialect…comprehending the meaning of what was said by words familiar to him….. The Holy Spirit “translated” Saint Peter’s words in the hearts of each listener into his own respective language. This is what leads Saint Gregory of Nyssa to exclaim, “we must realize that the Holy Spirit speaks to us in our own words as we have learned from the narration of Acts.”
Contoh untuk memperjelas dari pendapat Gregorius Nyssa adalah sbb: Pak Cecep yang memang orang Sunda sedang mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Sunda, namun didengar dan dipahami oleh Pak Lalenoh (nama Sangihe Talaud) dam bahasa Sangir, Pak Joko, pada saat yang sama, mendengarnya sebagai bahasa Jawa, Bu Lumbantobing mendengar bahasa yang keluar dari mulut Pak Cecep tadi sebagai bahasa Batak Toba, serta Pak van Es malah mendengar ucapan Pak Cecep itu dalam bahasa Belanda, sementara Pak Ong yang terdidik dalam studi Asia Timur klasik merasa mendengar kata-kata Pak Cecep itu dalam bahasa Tionghoa). Keren, bukan?
Mungkin sekali, kita ingin meminta ketegasan: Mana yang benar?
Kalau opsi 1 (pendapat Gregorius sang Teolog) yang kita yakini maka itu berarti sebagian gereja Pantekostalit Kharismatik (yang menekankan bahasa roh , sebagai bahasa surga), mesti menimbang ulang tafsirannya. Apa pasal? Sebab yang diucapkan Petrus dkk adalah (sekedar) bahasa manusia (lain). Keajaibannya adalah: bahasa tertentu yang tadinya tak dikuasai sekarang secara ajaib mampu diucapkan oleh penutur. Betapapun, ini toh masih soal bahasa manusia, bukan soal bahasa yang bukan bahasa manusia. Tambahan lagi, jika opsi 1 yang kita bela, maka penutur manusianya agak keren (karena bisa multi bahasa tanpa belajar).
Jika opsi 2 (pendapat Gregorius dari Nyysa) yang kita pegang kuat, maka penuturnya biasa saja karena Petrus dkk yah biasa saja lah….mereka toh berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Yang hebat adalah Roh Kudus yang bisa punya “mesin translasi” langsung di telinga dan hati orang…..
Entah yang mana yang lebih Anda sukai (untuk mengimbangi kecenderungan penghakiman gereja kharismatik yang kadang-kadang tertuju pada terhadap gereja-gereja arus utama), saya hendak mengingatkan bahwa kita bisa terjebak dalam sikap yang sama dengan kelompok Pantekostalit tertentu yang kadang punya kecenderungan menghakimi tampilan yang natural, “biasa”, kurang extravagans dari gereja main-line, dengan membalik pernyataan: Manusia pelaku peristiwa Pentakosta tak pernah dimaksudkan agar dipersepsi menjadi terlalu keren, sebab perubahan bukan pada “kemampuan” penutur, melainkan pada karya Roh, jadi terbukalah pada keajaiban kuasa Allah bukan pada capaian manusia.
Lalu Bagaimana?
Ada baiknya (menurut saya), jika kita tidak mengerdilkan peristiwa KPR 2: 1-11 ini dengan kecenderungan untuk memaksakan satu opsi (tentang bagaimana sesungguhnya kejadian dari hal itu) ke atas opsi yang lain. Teks, selain menjadi sarana dari maksud penulis, juga adalah realitas hermeneutik yang mempersilakan diri dibaca (be read) pembacanya (baik oleh implied readers maupun oleh present readers yang tak terbayangkan oleh penulis atau editor asli dari teks). Malah, teks minta dibaca ulang (be reread) terus menerus melewati dan melalui berbagai perspektif, pendekatan, metode, dan “advokasi”. Ia, yakni teks, memiliki kapasitas yang menangkup berbagai makna dan diinterpretasi beraneka rupa (tergantung perspektif, pendekatan dan metode yang kita gunakan dalam membedahnya).
Keliaran teks oleh sebagian orang dianggap berbahaya, namun sejauh metode diperiksa dan digunakan dengan kritis dan proper, teks dan pemaknaan ke atas teks yang mengandung daya kejutan, yang potensial menghadirkan kegembiraan, meramaikan festival pemaknaan, adalah hal yang patut disyukuri. Teks, memang bisa multivalensi, bukan? Kita mengembara ke kemungkinan-kemungkinan pemaknaan, itu berarti ke kemungkinan-kemungkinan aktualisasi daya Roh yang mengherankan. Sila saja, asal dinamika, kreatifitas pemaknaan dan aktualisasinya (selain didukung oleh argumentasi yang bertanggung jawab-dan malah bisa otokritik secara metodis) senantiasa berkoordinat pada tersaksikannya pekerjaan-pekerjaan besar yang dikerjakan Allah (2: 11).
Ketegangan dan keregangan makna berjejalin dengan daya Roh Allah, yang menolak ditunggalkan, diabsolutkan, dipenjara oleh manusia. Roh itu, agaknya, suka sekali dengan terobosan, kejutan dan membiarkan titik-titik percabangan menjadi sarana pengembangan kehidupan yang dialektis dan dinamis. Hidup, studi, pekerjaan, pengalaman manusia dalam ziarah pribadi dan bersama yang dimutlakkan oleh rumus-rumus dan mematikan alternatif-alternatif lain membuat orang seolah aman karena tembok yang dibangunnya sendiri (yang dengan itu lalu tidak toleran pada bangunan orang lain). Namun jika tak ada sama sekali ruang hubung, jendela kejutan, dan labirin jejalanan yang menghentak perspektif, maka kita patut mawas diri: jangan-jangan bukan Roh Kudus yang menghinggapi kita, tapi “roh” yang kita ciptakan sendiri dan kita sembah sendiri pula.
Hal yang lebih signifikan adalah menggumuli lalu mengkaryai signifikansi dari karya Roh yang membuat orang BERBICARA dan juga membuat orang bisa MENDENGAR dalam praksis kehidupan kita dalam interaksi kita dengan sesama manusia, dalam keragaman sosio-kultur-religiusnya. Kiranya perbuatan-perbuatan baik dari Tuhan terwartakan melalui kita dan dapat kita dengarkan melalui interaksi-interaksi dengan “liyan’ itu.
Selamat merayakan Pentakosta. Berkat Allah melimpahlah.
Salam hangat dari Jogja
Hari Pentakosta/dkl
*Dosen Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
(sumber : Facebook Daniel K. Listijabudi)