Politik Harga Beras ala Bung Hatta
share on:FacebookTwitter Google +
Sudah sering terjadi, ketika harga beras melambung tinggi, petani justru tak kecipratan apa-apa. Kok bisa begitu?
Pernah di suatu masa, tepatnya di bulan April 2020, Presiden Joko Widodo dibuat pusing oleh fenomena ini. Harga gabah kering giling turun 5 persen, sedangkan harga beras naik 0,4 persen.
“Ini pasti ada masalah. Kalau harga gabah kering giling turun, mestinya harga berasnya juga ikut turun,” kata Jokowi.
Bukan rahasia lagi, kalau rantai distribusi beras yang panjang, dari petani hingge ke konsumen, telah menciptakan ruang yang leluasa bagi pemburu rente untuk mengeruk keuntungan. Dari tengkulak, pemilik penggilingan, pedagang grosir, agen, hingga pedagang eceran.
Sebetulnya, kalau Presiden Jokowi dan para penyelenggara Negara mau belajar dari pemikiran Bung Hatta, mungkin persoalan itu tak perlu terjadi.
Dalam buku “Beberapa Fasal Ekonomi bagian I”, yang berisi risalah-risalah Bung Hatta sepanjang 1935 hingga 1941, terselip pembahasan khusus soal politik beras.
Menariknya, Hatta memulai tilikannya dengan melihat relasi desa dan kota. Berbeda dengan negara-negara Eropa, desa dan kota di Indonesia berkembang terpisah.
“Kota-kota di Indonesai tidak timbul karena kemajuan masyarakat sendiri, melainkan karena tindakan ekonomi dari luar,” kata Hatta.
Sebagian besar kota di Indonesia dibangun oleh Belanda. Selain sebagai pemukiman, kota menjadi ekor bagi perusahaan-perusahaan mereka di Eropa. Di kota lah kantor-kantor perusahaan itu dibuka.
Di sisi lain, kata Bung Hatta, sebagian populasi rakyat Indonesia tinggal di desa. Di masa itu, jumlahnya di kisaran 70-80 persen. Artinya, desa merupakan jantung utama pasar dalam negeri.
Nah, menurut Bung Hatta, seharusnya ada relasi ekonomi timbal-balik antara desa dan kota: desa penghasil utama bahan pangan, sedangkan kota menghasilkan barang hasil industri (sandang, elektronik, dan lain-lain).
Dengan logika ini, desa menjadi pasar utama bagi produk-produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh kota. Artinya, maju dan tidaknya kegiatan ekonomi di kota berkait erat dengan situasi ekonomi di desa.
“Kemiskinan desa berarti orang kota kehilangan pasarnya. Dan kehilangan pasar berarti mengurangi keuntungan dan perniagaan,” terangnya.
Dalam konteks itulah Hatta meletakkan politik harga berasnya. Mengingat beras sebagai salah satu penghasilan utama rakyat di desa, maka harganya harus menguntungkan petani di desa.
Untuk itu, agar rakyat desa berpenghasilan, punya daya beli, maka harga beras harus dinaikkan. Harga beras harus diselaraskan dengan harga barang-barang dari kota.
Namun, kenaikan harga barang, tanpa dibarengi kenaikan pendapatan, bisa berbahaya bagi perekonomian. Karena itu, Hatta menganjurkan, upah buruh dan komponen lain terkait pendapatan dinaikkan.
Dalam hal ini, negara perlu campur tangan dengan menetapkan harga beras. Kalau sekarang, kita mengenal istilah harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET).
Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Belum tentu kenaikan harga beras akan menguntungkan orang desa, kalau rantai distribusinya tidak dipegang oleh rakyat desa dan pemerintah. Boleh jadi yang untung hanya para pemburu rente.
Nah, agar itu tidak terjadi, Bung Hatta mengusulkan adanya pengorganisasin distribusi. Organisasi distribusi merupakan bentuk kerjasama desa dan kota.
Di desa, rakyat membentuk organisasi yang mengumpulkan barang-barang hasil produksi rakyat desa. Dari beras dan barang-barang pangan lainnya. Di kota, rakyat juga membentuk organisasi, yang khusus mengatur pengangkutan dan penjualan.
“Tetapi badan organisasi ini bukanlah badan yang mencari keuntungan, melainkan badan ekonomi yang bersifat sosial,” tegas Bung Hatta.
Tentu saja, organisasi inilah yang akan menghilang rantai distribusi beras yang panjang, yang selama ini menjadi tempat bergelantungan para pemburu rente.
Memang, idealisme atau kerelaan untuk bekerja demi kepentingan bersama menjadi kunci berjalannya organisasi-organisasi itu. Karena itu, ini sejalan dengan prinsip dan cita-cita koperasi.
Organisasi distribusi itu, baik di desa maupun di kota, bisa diorganisasikan dalam bentuk koperasi. Jadi, ada koperasi yang mengumpulkan hasil produksi rakyat di desa. Kemudian, ada koperasi yang mengurusi pengangkutan. Kemudian ada koperasi yang mengurusi penjualannya di kota-kota.
Namun, organisasi ini butuh modal. Untuk mengumpulkan barang hasil produksi rakyat desa, setidaknya mereka bisa membayar uang muka. Belum lagi, kebutuhan untuk biaya transportasi, membuat outlet/toko-toko penjualan, promosi, dan lain-lain.
Untuk urusan ini, negara perlu turun tangan. Mulai dari memberi dukungan permodalan hingga membantu proses transportasi. Tentu saja, persoalan transportasi ini menjadi kunci.
“Mempermurah harga jasa transpor adalah suatu bagian esensial dari pada politik harga beras,” kata Hatta.
Tentu saja, melancarkan jalur perhubungan antar desa dan kota menjadi kunci. Selain itu, kehadiran kereta barang, yang menghubungkan pusat-pusat kota dengan daerah-daerah penghasil pangan, juga bisa memperlancar urusan pengangkutan ini. (berdikarionline.com, 23 Maret 2021)
RUDI HARTONO