Sabtu, November 16, 2024
Google search engine
BerandaVIEWSKolomMENGARAHKAN PANDANGAN PADA SUMBER KESELAMATAN

MENGARAHKAN PANDANGAN PADA SUMBER KESELAMATAN

oleh: Pdt.Frans Nahak*

Bilangan 21:4-9 dan Yohanes 3:14-15

Tahun 2019 dunia dihebohkan dengan covid-19. Virus ini menyebar dengan begitu cepat dan jutaan orang di seluruh dunia yang menjadi korban karena keganasan virus tersebut. Setiap bangsa di bawah kolong langit mencari obat (vaksin) untuk melindungi rakyatnya dari ancaman covid-19. Pada akhirnya vaksin dapat ditemukan. Pertanyaannya adalah: vaksin terbuat dari bahan apa? Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, prof. Dr. C. Kartasasmita menyatakan bahwa vaksin itu dibuat dari virus yang dilemahkan. Divaksin berarti virus yang dilemahkan dimasukkan dalam tubuh sehingga terjadi kekebalan tubuh. Bacaan Alkitab di minggu sengsara keempat bercerita tentang orang Israel yang dipagut ular memandang kepada patung ular maka akan diselamatkan.

Dalam Alkitab, menurut hukum Yahudi, orang yang dipakukan pada kayu salib adalah seorang penjahat sehingga salib adalah lambang kutuk (Gal. 3:13). Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menjelaskan bahwa pemberitaan tentang Kristus yang disalibkan bagi orang-orang Yunani adalah sebuah kebodohan dan bagi orang Yahudi adalah batu sandungan, namun bagi orang yang dipanggil Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah (I Kor. 12:22-24). Paulus memberi sebuah kebaruan dari pandangan yang lama tentang salib. Hal ini identik dengan cerita di atas, untuk menangkal virus dalam tubuh disuntik dengan virus. Orang Israel yang dipagut ular memandang kepada patung ular diselamatkan.

Perjalanan keluar dari Mesir adalah peristiwa terpenting bagi bangsa Israel, yang terjadi pada bulan purnama/nisan, menurut kalender Yahudi. Dalam pasal 21, ada beberapa peristiwa penting, yaitu: bangsa Israel terpaksa mengelilingi Edom, peristiwa kematian Harun, ular tembaga, dan Israel tiba di dataran Moab. Pasal ini menyoroti ujian dipandang gurun dan pemberontakan bangsa Israel, justru ketika mereka harus bersiap masuk Kanaan.
Pemberontakan menyebabkan mereka dipagut ular tedung dan banyak orang yang mati. Namun saat mereka mengaku dosa, Tuhan memerintahkan Musa membuat patung ular tedung dari tembaga dan digantung di sebuah tiang. Setiap orang yang terpagut ular tedung bila melihat patung tersebut akan selamat dan tetap hidup. Kita dapat membagi bacaan ini dalam beberapa bagian:

Pertama, ayat 4-5, kondisi yang membuat mereka memberontak. Musa memilih daerah Edom menuju Kanaan. Musa berjanji kepada raja Edom tidak akan merusak ladang bangsa Edom atau pun menggunakan airnya, dan apa bila terjadi keadaan darurat, ia akan membayarnya. Negosiasi ini dilakukan agar Israel tidak mengitari/berjalan memutari daerah Edom. Tetapi raja Edom menolaknya, sehingga bangsa Israel harus berangkat dari Hor dan berjalan mengelilingi laut Terberau. Mereka mengambil jalan laut Merah, sebuah jalan menuju kota Elath yang berdiri di ujung utara teluk Aqabah. Rute ini akan membawa mereka melalui Arabah, yang adalah bentangan dataran rendah dari utara laut berupa gurun yang mengerikan karena berpasir gembur dan kadang-kadang terjadi badai pasir yang mengerikan muncul di lingkungan laut Merah. Panjangnya jalan yang harus dilalui bangsa itu membuat orang-orang Israel menjadi tidak sabar dan terus mengeluh. Keadaan mereka yang harus mengelilingi Edom menjadi alasan melawan perkataan Allah dan Musa. Mereka berbicara dengan suara keras (wayedabber).
Orang Israel yang bersungut-sungut terhadap kepemimpinan Musa yang seolah-olah membawa mereka pada penderitaan. Mereka muak dengan makanan yang mereka nikmati. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak bersyukur terhadap apa yang mereka telah terima dari Allah selama ini.

Kedua, ayat 6-7, hukuman dan pertobatan. Allah “mengirim” ular. Ungkapan ini menggambarkan bahwa yang mengirim (hannekhasyim hasserafim) arti harfiah: ular yang berapi/menyala, maksudnya adalah ular beracun dalam jumlah banyak untuk menggigit/mematuk bangsa Israel. Setiap orang yang dipatuk oleh ular akan mengalami mut (kematian).
Kata ular (nakhasy) yang digabungkan dengan kata saraf (arti harfiah: bersayap). Jadi jika diterjemahkan kata nakhasy saraf berarti ular yang bersayap, seperti ular naga. Budimoeljono mengatakan bahwa ular menyimpan sebuah kosmologi dan eskatologi sehingga ada bangsa-bangsa mengkultuskannya. Ada pemujaan terhadap ‘kekuasaan’ ular bagi keluarga di kerajaan Mesir yang meyakini bahwa ular mampu mengusir roh kejahatan. Bangsa-bangsa di sekitar Israel menganggap bahwa ular merupakan hewan yang memiliki kekuatan gaib. Kemungkinan gambaran dalam adegan ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang dipercaya Musa pada saat masih di Mesir.

Budaya Timur Tengah kuno memiliki mitologi yang dikenal dengan Ouroboros, yaitu sebuah simbol kuno dari seekor ular yang memakan ekornya sendiri agar dapat hidup terus, hal ini ia lakukan untuk memperoleh hidup abadi.
Clarke mengatakan bahwa ular yang dijelaskan oleh Musa adalah ular yang ‘berapi’ karena dapat menimbulkan panas, radang hebat, dan kehausan (simbol dari racun/bisa) yang dapat menyebabkan kematian. Ciri ular seperti ini, kemudian, digambarkan sebagai ular tedung. Budimoeljono menjelaskan bahwa Allah mengirimkan Israel ular tedung sebagai peringatan terhadap Israel akibat perbuatan mereka yang melawan pemeliharaan Allah. Ular yang dikirim menunjukkan cara Allah bekerja untuk mengembalikan bangsa itu kepada perjanjian yang telah disepakati antara Allah dengan mereka.
Ayat 7, diungkapkan tentang penyesalan dan permohonan ampun yang disuarakan oleh bangsa Israel terhadap dosa dan kesalahan yang mereka perbuat. Hal ini terlihat ketika beberapa orang dari mereka datang menemui Musa dan berkata, “kami telah berdosa”. Peristiwa bangsa Israel digigit Ular yang menyebabkan banyak diantara mereka mengalami kematian dan mendatangkan ketakutan bagi yang lain, mendorong mereka yang masih hidup datang kepada Musa dengan rendah hati untuk mengakui dosa-dosa mereka. Penyesalan mereka tampak dalam ungkapan, “Sebab kami berkata-kata melawan TUHAN dan engkau” dan hal ini menunjukkan bahwa mereka takut menghadapi kematian akibat gigitan ular tedung tersebut, sehingga mereka menyadari dan mengakui kesalahan mereka.

Mereka meminta Musa untuk berdoa kepada Tuhan. Kata ‘berdoalah’, berasal dari kata hitpallel, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lebih tepat bermakna ‘menengahi atau memohon pembelaan’. Penggunaan kata menunjukkan bahwa bangsa Israel meminta Musa untuk menjadi perantara/penengah antara mereka dengan Tuhan agar kepentingan bangsa Israel untuk mendapat belas kasihan Tuhan dapat terwujud. Kata ‘dijauhkan’ berasal dari kata weyaser yang memiliki arti ‘memalingkan muka. Permohonan bangsa Israel adalah supaya Tuhan berkenan untuk memalingkan wajah-Nya kepada mereka.
Permintaan bangsa Israel ini dikabulkan oleh Musa, terlihat dalam kalimat yang mengatakan, “Musa berdoa untuk bangsa itu” meskipun dia telah ditolak dengan sangat sedih, namun dengan mudah berjanji untuk berdoa kepada Tuhan bagi mereka.

Ketiga, ayat 8-9, pengampunan dari Tuhan. Reaksi Allah terhadap doa Musa adalah memerintahkan Musa membuat ular api dari tembaga dan meletaknya sebagai pertanda (ay. 8). Ular tembaga dibuat Musa sebagai tanda peringatan, dengan pengertian bahwa setiap orang yang terpagut ular dan kemudian mereka memandang Tuhan melalui patung ular tembaga sebagai ‘tanda’ kehadiran Tuhan yang membuat mereka akan hidup dan selamat.
Patung ular tembaga melambangkan alat penghukuman sekaligus simbol dari pengakuan dosa, kerinduan terhadap pembebasan dari hukuman, dan sarana penyembuhan Allah. Budaya ini biasa terjadi di Timur Tengah, karena dalam budaya tersebut dijelaskan bahwa kekuatan makhluk berbahaya dapat disembuhkan dengan membuat patung dari makhluk yang berbahaya itu sendiri.
Kata ‘melihat’ diterjemahkan dari kata raah, sedangkan dalam ayat 9 digunakan kata ‘memandang’ yang diterjemahkan dari kata wehibbit, yang memiliki arti mengamati dengan saksama/mendalam yang diikuti oleh rasa hormat. Perubahan kata dari ‘melihat’ (ay. 8) menjadi ‘memandang’ (ay. 9) memperlihatkan bahwa untuk mencapai kesembuhan setelah dipagut ular, bangsa Israel harus memandang patung ular tembaga yang diletakan oleh Musa tersebut dengan penuh rasa hormat. Dengan demikian, patung ular tembaga itu hanya sekedar simbol dan pemaknaan bahwa Tuhan ada di tengah-tengah mereka.

Renungan :

Pertama, kebutuhan hidup terkadang membuat kita bersungut-sungut. Akhir-akhir ini dengan adanya kenaikan bahan-bahan pokok seperti beras, gula, telur, dll., membuat kita juga bersungut-sungut kepada pemerintah. Kita juga mempersalahkan suami atau istri dan anak-anak dalam bekerja mencari nafkah. Dari bacaan Firman Tuhan saat ini kita belajar bahwa jika kita bersungut-sungut tentang kebutuhan hidup, maka kita tidak hanya bersungut-sungut kepada sesama tetapi juga kepada Tuhan yang telah memimpin kehidupan kita. Sungut-sungut terjadi karena kita lupa akan kebaikan Tuhan yang menyertai kita selama tahun 2023, pandemi covid-19 dan bencana alam seroja, dll. Badai itu membuat kita kuatir akan kelangsungan kehidupan kita, namun Tuhan memelihara kita dan gereja-Nya. Orang Israel tidak mensyukuri dan meyakini majizat Tuhan yang telah membebaskan mereka dari tanah Mesir dan pemeliharaan-Nya di padang guru. Di minggu sengsara keempat kita diingatkan oleh Firman Tuhan untuk memandang kepada Tuhan, sumber hidup, dengan mengucap syukur karena Dia telah membebaskan kita melalui penderitaan Yesus.

Kedua, melalui Firman Tuhan saat ini, kita diingatkan untuk berefleksi tentang dosa-dosa kita terhadap alam yang mengakibatkan El Nino. Simbolisme ular tembaga dapat menjadi sebuah contoh bagi kita untuk memandang kepada Yesus yang menderita, dengan penyesalan yang sungguh-sungguh dari kita sehingga Allah memulihkan kita. Penyesalan dinyatakan dalam perbuatan kita dengan memanfaatkan musim hujan yang minim tahun ini untuk menanam. Menanam dapat menyelamatkan bumi dan manusia dari panas bumi. Seperti penjelasan di atas bahwa ular itu adalah ular yang ‘berapi’ karena dapat menimbulkan panas, radang hebat, dan kehausan (simbol dari racun/bisa)yang dapat menyebabkan kematian.
Simbol ular yang adalah murka Allah telah ditanggung oleh Yesus Sang penebus. Ular tedung menakutkan, racunnya mematikan, sehingga umat tak berani mendekat langsung menghadap kepada Allah, kini telah diganti oleh Yesus yang adalah Anak Allah, penuh belas kasih yang mendekatkan kita kepada Allah (bdk. Yoh. 3:14-15). Racun ular telah ada penawar yakni pengorbanan Yesus Kristus. Salib merupakan simbol keadilan dan pengampunan. Mari kita memandang kepada Tuhan yang menderita, disalibkan mati dan bangkit untuk kita.

Ketiga, mari memandang kepada Yesus karena penderitaan-Nya memperbaharui hidup kita, sehingga memberi kebaruan hidup, kebaruan pandangan. Perayaan minggu sengsara menjadi bermakna bagi kita, jika kita merubah pola pikir yang lama. Teknologi semakin canggih dan setiap saat ada penemuan-penemuan baru di berbagai bidang kehidupan. Misalnya teknologi dalam bidang kesehatan, bisa merubah virus menjadi obat kekebalan tubuh, bisa merubah tumbuhan tak yang bisa dikonsumsi menjadi obat, serangga atau binatang melata menjadi obat bagi tubuh manusia. Penderitaan Yesus dipandang dari segi kosmos telah memulihkan segala sesuatu di alam semesta ini untuk menolong dan menyelamatkan manusia.
Jika makna salib memberi kebaruan, maka kita harus berani menerima kebaruan tersebut dengan tetap memandang kepada Dia. Dalam percakapan-Nya dengan Nikodemus, Yesus memberi kebaruan dengan mengangkat contoh tentang peninggian ular di padang gurun dengan makna Anak Manusia ditinggikan supaya orang percaya memperoleh keselamatan (Yoh. 3:15). Amin. FN.

*Pendeta GMIT di Klasis Amanuban Timur

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments