Belakangan ini rakyat Indonesia dibuat bingung dan resah mengenai aturan dan penetapan harga yang selalu berubah-ubah terkait kewajiban tes polymerase chain reaction (PCR) yang digunakan sebagai syarat untuk bepergian menggunakan moda transportasi pesawat terbang. Sempat menyentuh harga di atas 2 jutaan rupiah, kini biaya tes PCR turun menjadi 275 ribu rupiah untuk wilayah Jawa dan Bali dan 300 ribu rupiah untuk daerah lain.
Keresahan dan kebingunan itu makin menjadi-jadi ketika Majalah TEMPO melaporkan adanya dugaan keterlibatan pejabat negara yang menggunakan kekuasaan untuk “bermain” dalam bisnis tes PCR, yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir.
PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang mengelola laboratorium GSI menjalankan bisnis tes PCR dan memiliki lima cabang di Jakarta dan sekitarnya memiliki keterkaitan dengan perusahaan yang berkaitan dengan kedua Menteri itu, yakni PT Toba Sejahtera, PT Toba Bumi Energy dan PT Adaro Energy.
Berdasarkan pada laporan itu, kuat dugaan adanya upaya gratifikasi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat negara dalam melindungi kepentingan bisnisnya. Sebab, PT GSI baru didirikan pada April 2020 dan beroperasi pada Agustus 2020 namun sudah mampu mengadakan lebih dari 700 ribu kali tes PCR dan sudah membukukan pendapatkan sebesar 3,29 miliar rupiah.
Pertanyaannya, apakah mekanisme pengadaan barang dan layanan jasa yang dilakukan oleh PT GSI sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau justru ada ketentuan-ketentuan hukum yang dilanggar oleh mereka? Berkaitan dengan hal itu, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindaklanjuti laporan investigasi Majalah TEMPO terkait dugaan adanya pejabat negara yang terlibat dalam bisnis tes PCR ini.
Menurut kami, pejabat negara tidak boleh menggunakan kekuasaan untuk kepentingan bisnisnya sendiri, apalagi bisnis terhadap rakyat. Sejak awal, PRIMA menolak dengan tegas adanya praktik oligarkis dalam system pemerintahan dan bernegara.
Rakyat Indonesia sampai saat ini masih sangat prihatin akibat adanya pandemi Covid-19 yang menghajar sendi-sendi perekonomian dan kehidupannya. Rakyat masih berupaya untuk bertahan hidup dalam situasi yang tidak menentu. Tapi, ada segelintir orang dan pejabat negara malah mengambil untung dari kondisi memprihatinkan seperti ini. Sungguh ironis. (Press Release PRIMA)