Oleh: Dominggus Elcid Li*
Mengurai benang kusut pendidikan nasional bukan hal yang mudah, apalagi jika tidak ada riset dasar tentang situasi pendidikan nasional yang amat beragam, sambil mengingat luas wilayah negara dan warganya yang tersebar di ribuan pulau. Tidak cukup banyak pembuat kebijakan yang berusaha memahami dengan serius kondisi ini. Padahal isu guru satu paket dengan isu pendidikan. Tidak mungkin ada murid merdeka belajar, jika nasib guru tidak diperhatikan. Tidak mungkin murid bisa mendapatkan guru yang baik, jika gaji guru seharga 50 ribu per bulan, atau 100 ribu per bulan, dibayar 6 bulan sekali.
Kementerian Keuangan amat ketat dalam mengawasi pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) baru, termasuk guru. Akibatnya guru dengan status PNS jumlahnya terus menurun. Di satu sisi, hal ini penting untuk mengurangi beban APBN pemerintah pusat. Di sisi lain ‘beban itu’ dibuang ke lembah antah berantah. Nasib guru tidak menjadi perhatian utama negara.
Pun ketika dana pendidikan nilainya tertinggi dalam satu dekade, mencapai 608,3 Triliun Rupiah (Tahun 2023). Namun, kenaikan anggaran ini tidak berarti nasib guru bisa diperhatikan atau menjadi lebih baik. Kata kunci anggaran 2023 ada pada ‘disrupsi teknologi dan inovasi’. Artinya anggaran itu hanya menyentuh ujung atas pendidikan. Peningkatan keterampilan )_(skill)_ mengajar guru dan pergeseran substansi pendidikan lewat perubahan kurikulum tidak akan banyak bergerak jika gaji guru dengan sekian kategorinya tidak diperhatikan.
Kategori guru secara umum dibedakan sebagai guru PNS dan guru non PNS. Selanjutnya guru dipilah dalam guru sekolah negeri dan sekolah swasta. Guru non PNS dipilah lagi menjadi guru honor. Guru honor dipilah lagi guru honor kabupaten (basisnya APBD), guru honor yayasan, dan guru honor komite sekolah. Ya, salah satu dalil yang dipakai adalah dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) bisa dimanfaatkan untuk membayar gaji guru (maksimal 50%). Pemerintah sendiri tidak punya data, berapa gaji guru honor terendah di berbagai daerah, dan berapa jumlah mereka. Asumsi ini seolah menyatakan bahwa ‘anggaran cukup atau tidak cukup itu menjadi urusan guru honor itu sendiri’.
Ya, itu menjadi tanggungjawab guru honor sendiri, karena tidak ada orang lain yang akan membantu. Dengan kondisi ini, daerah-daerah yang miskin (ditandai dengan PAD dan APBD-nya kecil) para pejabatnya hanya akan mengurusi hal-hal yang memakan biaya rutin. Di tangan mereka yang tidak sensitif terhadap persoalan pendidikan, gambaran pendidikan semakin buram.
Di Indonesia, salah satu kemunduran besar sedang terjadi di wilayah pendidikan dasar. Tindakan mengabaikan nasib guru, dampaknya sedang dirasakan. Kemampuan membaca dan menghitung semakin terjun bebas. Jika kita menunggu di perguruan tinggi, kita jelas terlambat. Jika kita menunggu di ujian nasional SD pun sudah sangat terlambat. Merdeka belajar tidak ada artinya jika pendidikan dasar diabaikan. Merdeka belajar membutuhkan guru-guru di pendidikan dasar yang punya imajinasi memadai, dan tidak dalam posisi tersandera ‘apakah hari ini kami bisa makan’.
Disrupsi pendidikan nasional Indonesia yang bukan diakibatkan oleh kemajuan teknologi digital sedang terjadi. Disrupsi pendidikan nasional Indonesia terjadi karena ketidakmampuan berbagai lembaga negara mengatur prioritas anggaran, dan menentukan titik intervensi di bidang pendidikan. Dosen-dosen di perguruan tinggi mengeluh kemampuan membaca dan menulis para mahasiswa menurun. Bahkan kemampuan matematika juga menurun. Ini bukan persoalan merdeka atau tidak merdeka, ini persoalan pendidikan dasar yang begitu lama diabaikan.
Pendidikan adalah pilar republik. Jika para pejabat negara berpikir tentang 2045, tentu mereka tidak hanya memikirkan jalan yang panjang, atau alat militer yang canggih, tetapi soal kualitas pendidikan. Selama pejabat republik mengabaikan kondisi para guru yang situasinya amat beragam di wilayah Indonesia, selama itu diskriminasi terbuka dijalankan.
Contohnya dana BOS diberikan hanya dengan menghitung jumlah siswa/i sebuah sekolah. Nominal dana BOS yang diterima per sekolah besarnya sesuai dengan jumlah siswa/i dikalikan dengan satuan biaya _(unit cost)_. Dana BOS tidak memperhatikan kemampuan sebuah daerah atau lembaga dalam membiayai operasional sekolah. Sangat mungkin dana BOS yang diberikan tidak tepat sasaran, karena indikatornya ‘semua menerima yang sama’ dan prinsip _equity_ tidak dikenal.
Angka jumlah siswa sebuah sekolah tidak memberikan gambaran tentang kondisi sekolah. 200 siswa SD yang berada di Kelurahan Menteng (Jakarta), tidak sama artinya dengan 200 siswa SD yang berada di Desa Kele (Timor Tengah Selatan). Angka dua juta rupiah di Jakarta sama artinya mungkin seharga gaji seorang tukang membersihkan sekolah di sana, namun angka dua juta di pedalaman Timor Tengah Selatan sama artinya biaya operasional 1 SD swasta.
Dengan angka ini, sulit mengeluarkan gaji guru dari angka 100 ribu atau 50 ribu rupiah per bulan. Lebih sulit lagi jika kita memeriksa pendapatan keluarga amat jauh dari angka estimasi BPS, banyak keluarga yang penghasilan per bulannya di bawah 100 ribu rupiah.
Beberapa tahun lalu di Denpasar, hadir seorang pembicara dari India. Dari sebuah organisasi bernama Pratham. Pratham dalam bahasa Sansekerta artinya ‘yang pertama’ atau ‘yang terutama’. Ia menjelaskan tentang langkah mereka menyelesaikan buta huruf dan persoalan matematika. Dengan instrumen sederhana organisasi yang didirikan beberapa orang professor di Mumbai tahun 1995 ini membuat alat tes sederhana untuk memeriksa kemampuan membaca dan berhitung.
Sebelum pandemi COVID-19, dengan modifikasi alat serupa yang dipakai Pratham, dengan beberapa teman kami memeriksa kemampuan membaca dan menulis di sekolah-sekolah dasar (negeri dan swasta) di Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT). Materi kelas dua, diberikan kepada murid kelas 4 dan 5 SD. Hasilnya hanya 26% yang mampu. Beberapa anak sama sekali tidak mengenali huruf. Tes yang memakan waktu 10 hingga 15 menit dan bisa dikerjakan oleh para relawan ini bisa dipakai untuk memetakan persoalan utama pendidikan dasar. Di India, jutaan anak terbantu dengan intervensi ini.
Di salah satu sekolah, seorang anak yang paling rapi dan bersih menjawab ‘Jam setengah tiga pagi ia sudah harus bangun’. Katanya karena air semakin sulit, untuk mandi harus bangun lebih awal agar bisa mendapat giliran awal antrian air lebih cepat. Setelah mandi pun, mereka masih harus jalan kaki ke sekolah yang tidak selalu dekat.
Namun hal yang paling getir adalah anak-anak yang sudah berjalan jauh dan bangun pagi itu tidak mendapatkan kursi di sekolah, karena kursi tidak ada. Tidak terasa air mata saya meleleh ketika sedang mewawancarai.
Dalam kerangka republik seharusnya sekian kesenjangan _(inequality)_ dalam bidang pendidikan bisa diselesaikan. Nasib para guru seharusnya tidak diserahkan pada belukar. Dengan anggaran 600-an Triliun, seharusnya situasi pendidikan nasional bisa dipetakan secara mendasar, dan sekian kesulitannya bisa di-identifikasi.
Untuk mempertahankan republik, kita harus berbenah dari sekolah dasar. Anak-anak korban perdagangan _(modern slavery)_ orang juga disebabkan oleh pendidikan dasar yang buruk. Tidak lah adil jika sebagian orang bicara soal _digital nomad_, sementara sebagian besar yang lain harus menjadi pekerja nomaden dalam formasi perbudakan. Dalam waktu satu tahun terakhir ini, semoga kebijakan Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan bisa membuka persoalan ini.
*Peneliti di IRGSC _(Institute of Resource Governance and Social Change)_. Doktor Sosiologi dari _University of Birmingham_ (UK), tinggal di Kupang, NTT.