oleh : Zakaria J. Ngelow
Sili Suli, Jejak Pelayanan Tuang Ketua: Historiografi Pdt. Jan Linting. (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Rantepao: BPS Gereja Toraja, 2024), xvii+220 hlm.
Bapak/Ibu Panitia, Undangan dan Hadirin, selamat siang, selamat berjumpa di forum ini. Dengan bersyukur kepada Tuhan, saya sampaikan selamat atas perayaan PKB Gereja Toraja di hari Sumpah Pemuda 2024.
Selamat dan sukses kepada Panitia Penyusunan Historiografi Pdt Jan Linting atas terbitnya buku Jejak Pelayanan Tuang Ketua ini.
Buku ini dengan sederetan biografi tokoh-tokoh Gereja Toraja merupakan sumbangan penting bagi pelayanan Gereja dan masyarakat di masa depan.
Pdt. A.J. Anggui, M.Th., menyebut buku ini “saleko”, kerbau istimewa dalam budaya Toraja, yang harganya sangat mahal. Beliau juga dengan baik sekali telah menyampaikan informasi mengenai sosok Tuang Ketua, seorang pemimpin gereja dan masyarakat yang luar biasa, karismatik dan legendaris.
Tugas saya membedah buku karya Bung Sili Suli ini. Tadi Pak Anggui anjurkan buku Jejak Pelayanan Tuang Ketua ini dibaca bersama dengan biografi Frans Karangan [Komandan Frans Karangan Dalam Gejolak Sejarah] dan Buku Sejarah Sosial Toraja oleh. Terance W. Bigalke. Saya ingin menambahkan biografi Pak Anggui, yang juga ditulis oleh Sili Suli, Di Bawah Bimbingan TUHAN.
Saya mengapresiasi Bung Sili Suli, penulis biografi, yang dalam 10 tahun terakhir menghasilkan belasan buku biografi beberapa tokoh gereja dan masyarakat Toraja pun tokoh lainnya, di samping beberapa buku sejarah.
Historiografi?
Catatan pertama atas buku ini menyangkut subjudul, “Historiografi Pdt. Jan Linting”. Kata “historiografi” dipakai 22 kali dalam buku, namun tidak dijelaskan mengapa kata ini yang dipakai, sementara buku-buku lainnya dengan kata “biografi”. “Historiografi” lebih menunjuk pada metode atau perspektif penulisan sejarah, bukan tulisan itu sendiri. Dari buku-buku sejarah orang bisa mengkaji metodologi atau perspektif penulisan sejarah atau biografi. Biasanya historiografi dibedakan atas historiografi tradisional, colonial, nasional dan modern, dengan penekanannya masing-masing. Dalam historiografi modern, yang bersifat kritis-akademis, dikembangkan pula perspektif sosial, ekonomi, politik, feminis, dan sebagainya, termasuk perspektif pasca-kolonial.
Mengenai ungkapan “Tuang Ketua”, penulis juga tidak memberi penjelasan, kecuali bahwa sapaan itu mulai populer setelah Pdt. Linting bertemu dengan Presiden Sukarno di istana negara (1953). Dalam perspektif jabatan rangkap Ketua Sinode dan Ketua PARKINDO apakah jabatan Ketua waktu itu bersifat paternalistik? Dan ini bisa benar mengingat warisan paternalisme pola kepemimpinan zending [dan budaya Toraja]. Kalau ini benar, perlu diteliti apakah kepemimpinan paternalisik kuat dalam Gereja Toraja, yang merupakan pewaris sistem presbiterial-sinodal Calvinisme, yang sebenarnya bersifat kolegial-egaliter.
Konteks Pelayanan
Pdt. Jan Linting (2 Mei 1915 – 11 Oktober 1993) memimpin Gereja Toraja sebagai Ketua Sinode sejak tahun 1951 – 1975 (kecuali 1961-1963). Sebelum itu beliau menjadi guru (sejak 1931) dan setelah tidak menjadi Ketua Sinode masih tetap mengabdi, khususnya dalam memimpin pelayanan pendidikan Gereja Toraja sebagai Ketua YPKT.
Membaca Jejak Pelayanan Tuang Ketua, sebanyak 35 bab, yang terentang dalam kurun waktu 1931-1993, adalah menyusuri perkembangan Gereja Toraja, khususnya, dan masyarakat Toraja/Indonesia pada umumnya.
Dalam kaitan itu, dapat dikemukakan catatan lain terhadap buku ini, yakni tidak secara khusus memberi uraian mengenai konteks pelayanan sang tokoh. Biografi sebaiknya tidak hanya tentang tindakan bermakna hidup seseorang, melainkan memberi gambaran tentang dunia di mana sang tokoh hidup dan berbuat. Hemat saya, dalam konteks sejarah Gereja Toraja beliau menjalani tiga babak perkembangan Gereja Toraja, yakni zaman zending, pelembagaan Gereja Toraja, dan pengembangan pelayanan Gereja Toraja. Dan dalam konteks sejarah masyarakat Toraja/bangsa Indonesia beliau mulai terlibat dalam pergerakan nasional melalui aktivitas di PCT (Partai Christen Toraja?), dan selanjutnya sebagai tokoh politik Kristen (PARKINDO) menghadapi masalah-masalah sosial-politik-keamanan di Toraja, baik yang terkait dengan gangguan gerombolan DI/TII, maupun perlawanan masyarakat Toraja kepada Andi Sose (1953, 1958).
Dapat dicatat bahwa dalam buku biografi Brigjen Frans Karangan, peran Parkindo (dan Gereja Toraja) menghadapi khususnya Andi Sose, kurang ditonjolkan. Pada hal tokoh-tokoh politik, para pemimpin gereja dan laskar rakyat (OPD, OPR) bahu membahu mendukung perlawanan Frans Karangan terhadap Andi Sose.
Setelah Orde Baru berkuasa peran PARKINDO di Toraja meredup dan kemudian secara nasional dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (1973). Maka pelayanan Pdt. Yan Linting makin terkonsentrasi ke pelayanan gereja, khususnya pelayanan pendidikan melalui YPKT. [Semoga sejarah YPKT juga dipikirkan untuk ditulis.] Pendidikan Kristen sejak Indische Kerk (1908) di Toraja menentukan kemajuan masyarakat Toraja pada abad lalu sampai sekarang.
Karena penulis juga sudah mengerjakan biografi Pdt. A.J. Anggui, maka duet kepemimpinan Pdt. Jan Linting sebagai Ketua dan Pdt. Anggui sebagai Sekretaris mestinya diuraikan untuk memperlihatkan tantangan-tantangan pelayanan yang dihadapi Gereja Toraja dan bagaimana mereka menghadapinya.
Salah satu aspek yang terungkap adalah masalah penyelenggaraan pendidikan teologi, yang rupanya menghadapi banyak masalah sehingga pada Sidang Sinode 1965 di Makassar, Pdt. Th. Kobong, sebagai pimpinan Sekolah Theologia Rantepao, mengusulkan menutupnya saja, namun akhirnya dicapai kesepakatan meneruskan al. dengan membentuk suatu yayasan untuk mengelolanya. Pembukaan STT Rantepao pada hemat saya sangat strategis khususnya dalam mengembangkan tenaga pendeta untuk melayani jemaat-jemaat yang makin banyak jumlahnya. Sekolah ini juga menjadi mitra strategis dalam pembinaan jemaat-jemaat Gereja Toraja, yang sebelumnya mengandalkan para kader lulusan kursus teologi zending (1949). Pengembangan tenaga dosen sekolah ini memungkinkan Gereja Toraja mempunyai sejumlah teolog yang bersama-sama dapat menyusun Pengakuan Gereja Toraja (1981).
Mengenai Seko.
Dalam buku ini nama daerah/masyarakat Seko disebut 19 kali. Di h.32 dicatat mengenai Lamba’ Kalambo, yang dibunuh NICA di Eran Batu, Rantepao. Dapat dikoreksi bahwa ada dua tokoh pemuda Seko, Lamba’ Kalambo dan Betulang Tomallo’, yang ditembak mati NICA bulan Maret 1946. Di h. 37 dicatat empat orang hadir mewakili Klasis Seko Padang dan Klasis Seko Lemo pada Sidang Sinode Am pembentukan Gereja Toraja tanggal 25–28 Maret 1947 di Rantepao. Di h. 108 dicatat: “Pada tanggal 3–20 November 1962, Pdt. Linting, selaku Ketua YPKT, bersama Pdt. Silas Boroh dan Pdt. Anderias Rumpa berkunjung ke Seko dan Makki dalam rangka pengurapan pendeta.” Informasi diulangi dengan lebih lengkap di h. 140 dst. Tetapi informasi perkunjungan ini perlu dikoreksi. Keseluruhan pelayanan kepada masyarakat Seko waktu itu dilakukan di Makki dan Karama, daerah Kalumpang (Mamuju), tempat pengungsian masyarakat Seko, bukan di Seko.
Sebagai informasi, masyarakat Seko mengungsi sejak tahun 1953 ke beberapa daerah: Masyarakat Seko dan Seko Lemo ke Karama dan Makki di Kalumpang; sebagian terus ke Toraja (sampai sekarang menetap di To’tallang, Kec. Awan Rantekarua, Toraja Utara), pada akhir tahun 1960-an sebagian pulang ke Seko, yang lain pindah ke Seriti). Masyarakat Seko Padang mengungsi ke utara, ke daerah Kulawi sampai Omu/Lembah Palu (mendirikan jemaat Gereja Toraja pertama di Omu dan sekitarnya tahun 1962). Sejumlah masyarakat yang tidak sempat mengungsi dikuasai gerombolan DI/TII dan dipaksa menganut agama Islam. Daerah Seko baru relatif aman pada tahun 1965, sehingga para pengungsi dapat memilih pulang ke Seko atau menjadi orang Seko diaspora …
*Disampaikan secara online pada acara Bedah Buku dalam rangka Perayaan HUT PKBGT XVI di Bori, Toraja Utara, 28 Oktober 2024.
SUMBER : FACEBOOK ZAKARIA NGELOW (29/10)
Catatan Penulis Sili Suli
Terima kasih atas koreksinya Pak Pendeta Zakaria Ngelow . Mohon izin untuk menanggapi catatan yang sudah disampaikan ;
1. Untuk judul utama yaitu Jejak Pelayanan Tuang Ketua, saya ambil sebagai penghormatan kepada Tim Kerja BPS Gereja Toraja yang dibentuk pada tahun 2012 yang menggagas judul buku tersebut. Mengenai mengapa sampai disebut Tuang Ketua, tidak saya jelaskan secara eksplisit dalam prolog saya, tetapi diceritakan dalam salah satu bab di buku tersebut.
2. Mengenai Subjudul yakni Historiografi Pdt. J. Linting, memang tidak saya jelaskan apa itu historiografi. Tetapi pertimbangan saya menggunakan subjudul ini adalah karena buku ini adalah sebuah biografi yang beraroma historiografi karena terkait dengan secuil sejarah KUGT, JPKT dan Parkindo.
3. Mengenai kunjungan Pdt J. Linting, Pdt. Silas Boroh dan Pdt. Anderias Rumpa ke Makki dan Seko, saya merujuk pada catatan Pdt. Anderias Rumpa dan wawancara dengan Pdt. Kalambo di Moncongloe.
Sekali lagi terima kasih atas kesediaan Pak Pendeta membedah buku ini dan memberikan catatan korektif atas isi buku ini.
Sehat dan terus berkarya Pak Pendeta.
TUHAN memberkati