Kamis, November 21, 2024
Google search engine
BerandaINKLUSIReligi dan SpiritualitasBagasi Natal dalam Kendaraan Minggu Adventus

Bagasi Natal dalam Kendaraan Minggu Adventus

Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo

(Edisi ke-4)

Masalah yang sering dipersoalkan untuk menangguhkan perayaan Natal sampai 25 Desember adalah untuk mencegah kebosanan sekaligus merawat kesakralan dan kekhusukan seremoni itu. Kesakralan dan kekhusukan Natal kehilangan greget karena sudah ramai dirayakan sebelum hari H penyelenggaraannya.

Pertimbangan ini sangat perlu diperhatikan. Tapi kalau hanya karena masalah kejenuhan ini fatwa pelarangan Natal sebelum 25 Desember dikeluarkan, justru mencerminkan kekerdilan berpikir dan kekeringan kreativitas berteologi tentang Adventus dan Natal. Justru di sini tugas para teolog, pemimpin umat untuk mengatur ekspresi iman warga umat percaya agar perwujudannya bermakna dan berkualitas membebaskan banyak pihak.

Supaya pesan Adventus tidak dirampok karena perayaan Natal sudah membahana sebelum tanggal 25 Desember, supaya kekhusukan dan kesakralan perayaan Natal tidak menjadi tawar karena sudah diadakan di Minggu Adventus, maka kreatitivitas liturgis dan kejeniusan meramu emosi Adventuslah yang harus diperuncing.

Minggu Adventus, seperti sudah dipahami bersama adalah waktu perenungan diri, pemeriksaan batin dan olah ulang spiritualitas yang mengalami distorsi. Umat diminta melakukan puasa, pertobatan karena kedatangan Kristus sudah di ambang pintu. Puasa Kristen seperti sudah disebutkan di edisi pertama adalah memperbanyak praktek cinta dan bela rasa terhadap sesama. Aspek ini bisa menjadi pijakan ekspresi iman yang dieksplorasi agar Minggu Adventus dan Natal tidak sekedar menjadi sebuah tradisi seremonial tetapi menjadi moment cinta kasih dan bela rasa. Saya ingat seorang teman pendeta pernah berucap begini: “Adventus dan Natal are not only a matter of receiving, but a matter of giving.” Nah bagaimana prinsip ini diwujudkan?

Manusia di mana pun dan kapan pun memiliki gelombang elekteonik batin yang sama. Ia dipenuhi sukacita kalau diundang ke pesta seorang sahabat, bukan untuk memberi hadiah, tetapi untuk menerima hadiah, bukan hadiah kaleng-kaleng, yang luntur tidak dijamin tetapi hadiah abadi, keselamatan kekal. Tahu apa yang akan dia buat? Tidak cukup dia melakukan persiapan diri dan batin. Dia juga akan bersilaturahmi kepada orang-orang sekelilingnya untuk menceritakan arus kuat sukacita di hatinya karena mendapatkan undangan itu. Ia ingin berlari memeluk setiap orang yang dia lihat hanya untuk menceritakan dan menunjukkan undangan itu. Ia juga tak segan-segan memberi hadiah kepada orang lain, karena dia membayangkan hadiah terbesar yang bakal dia terima di pesta sahabatnya. Bukankah ini gejolak batin umat Kristen selama Minggu Adventus dan Natal?

Nah.. emosi dan adrenalin batin Minggu Adventus ini yang harus dieksplorasi oleh mereka yang bersemayam di kursi empuk institusi religius. Agar ibadah Natal umat di kesatuan rayon, sektor, gugus atau kolom selam masa raya Adventus tidak merampok atau mengeliminir pesan utama Adventus, pada saat yang sama agar kesakralan dan kekhusukan makna Natal tidah tampil monoton, yakni sekedar kesalehan liturgi dan kemeriahan seremonial memang perlu dikonstruksi.

Kreativitas mengolah pesan Adventus dan jeniusitas menjabarkan makna Natal untuk menampung sekaligus mengarahhkan gejolak emosi umat Kristen merayakan Natal di masa-masa Adventus dalam bentuk-bentuk liturgis-devosional yang tajam, membumi dan mewujudkan bela rasa terhadap sesama, justru membuat tidak cukup Natal dirayakan di tanggal 25 Desember dan 6 Januari.

Sebuat saja sebuah contoh konkret. Natal yang dirayakan di Minggu Adventus perlu dikemas dalam bingkai ajakan kepada seluruh hadirin agar memberi bagi anak-anak yatim, atau memperhatikan rumah janda yang reot. Usai perayaan Natal yang masih dalam minggu Adventus satu delegasi diutus bertemu dengan anak Yatim dimaksud untuk menyerahkan persembahan cinta kasih umat Tuhan. Ini yang saya maksudkan dengan kejeniusan meramu perayaan Natal agar vibrasi maknanya tidak monoton dan memfosil.

Saya ingat pengalaman masa kecil. Mama saya adalah ketua perempuan GMIT tingkat rayon. Di Minggu Adventus, kami anak-anaknya mendapat tugas mengunjungi rumah-rumah tangga untuk memunggut beras jempitan yang diprogramkan oleh para ibu. Lalu, nanti ibu-ibu di hari yang sudah disepakati berkumpul untuk mengumpulkan beras-beras itu dan membagikannya menurut jumlah rumah tangga janda dan yatim di dalam rayon. Ibu-ibu itu nanti secara bersama-sama akan melakukan kunjungan ke rumah para janda dan anak-anak yatim membawakan persembahan cinta kasih mereka. Nah, emosi seperti ini yang perlu dieksplorasi dan diwadahi dalam ibadah Natal di masa Adventus.

Kemeriahan Minggu Adventus perlu dielaborasi dalam tema-tema sosial atau etis. Katakanlah Adventus Pertama dikemas dalam tema: “Menantikan Tuhan Bersama Anak Jalanan dan Pemulung.” Adventus. Kedua: “Bersorak Bagi Tuhan Bersama Alam dan Lingkungan”, dst. Pendampingan perlu dilakukan terhadap kelompok-kelompok sel dalam jemaat yang ingin menyelenggarakan Ibadah Natal di Minggu Adventus agar tema-tema itu diwujudkan bukan hanya dalam ungkapan-ungkapan liturgi (bersupa doa, pengakuan dosa, puisi, Lukisan dll) dan dalam aksi konkret.

Jadilah Natal bukan sekedar sebuah atraksi tetapi aksi. Di Alkitab, Natal adalah tindakan Allah menjumpai manusia di ruang kehidupan, bukan di ruang doa, meditasi, liturgis dan pujian verbal (Bersambung di edisi ke-5).

(sumber : Facebook Eben Nuban Timo II tanggal 5 Desember 2021)

Foto : FB Castro Ludji

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments