oleh: RINI HARTONO
Awal Oktober lalu, seorang ibu rumah tangga Wonogiri, Jawa Tengah, nekat mengakhiri hidupnya karena tidak kuat diteror oleh pinjaman online (pinjol). Kejadian itu hanyalah puncak gunung es dari keresahan warga negara atas maraknya pinjol.
Presiden Joko Widodo pun sudah merespon keresahan ini. Selain menyerukan perlunya literasi keuangan dan digital, Presiden memerintahkan moratorium penerbitan izin fintech baru dan memberantas pinjol ilegal.
Menurut kami, mengatasi pinjol ilegal dan sejenisnya tak cukup dengan literasi keuangan dan digital maupun memberantas pinjol ilegal. Sebab, ada beberapa faktor penting yang menyebabkan pinjol ilegal dan sejenisnya merebak.
Pertama, sebagian besar masyarakat kita masih miskin dan rentang terhadap kemiskinan. Berdasarkan data Faisal Basri (merujuk data BPS 2019), jumlah penduduk rentan (insecure) dengan pendapatan per kapita Rp 25 ribu mencapai 52,8 persen atau 148 juta orang.
Bila merujuk ke Laporan Bank Dunia tahun 2020, apabila kita menggabungkan kelompok miskin (poor), rentan (vurnerable), dan menuju menenengah (aspiring middle class), maka jumlah penduduk yang tidak aman pendapatan (rentan) mencapai 78,3 persen.
Kelompok masyarakat kategori miskin dan rentan ini masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, dari pangan, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan lain-lain. Demi kebutuhan hidupnya, mereka kerap terjebak utang. Gali lubang, tutup lubang.
Sebelum isu pinjol merebak, kelompok sosial ini sudah menjadi korban dari bank plecit atau bank keliling, yang menawarkan kemudahan mendapat pinjaman, tetapi berbunga tinggi.
Kedua, jangkauan dari perbankan masih sangat rendah. Masih ada 52 persen atau 95 juta penduduk Indonesia dewasa yang tidak tersentuh perbankan (unbankable). Sementara 47 juta penduduk dewasa belum tersentuh kredit perbankan. Lalu, ada sekitar 69,5 persen UMKM di Indonesia belum mengakses perbankan.
Penyebabnya, perbankan memasang pembatas yang sangat tebal bagi setiap warga untuk mengakses kredit. Semisal keharusan kelayakan kredit (creditworthiness), yaitu penilaian terhadap calon peminjam terkait kemampuannya membayar angsuran kredit.
Dalam banyak kasus, akses kredit ke perbankan mensyaratkan agunan. Masalahnya, untuk warga miskin, apalagi yang tinggal di perkotaan, dengan status rumah mengontrak dan pekerjaan tidak tetap, hal tersebut sangat sulit dipenuhi.
Rendahnya inklusi keuangan perbankan inilah yang menjadi pintu masuk bagi pinjol, bank plecit, bank keliling, koperasi simpan pinjam bergaya rentenir, dan lain-lain.
Menjawab persoalan itu, tak cukup hanya dengan mendorong literasi keuangan dan digital. Tidak akan selesai hanya dengan memberantas pinjol ilegal.
Menurut kami, pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih komprehensif.
Pertama, memudahkan warga negara maupun pelaku usaha kecil/UMKM untuk mengakses kredit perbankan dengan bunga rendah dan persyaratan yang ringan.
Perlu dipertimbangkan, demi mencegah potensi kredit macet atau gagal bayar, perbankan tak hanya mensyaratkan agunan dan penilaian kelayakan kredit, tetapi juga turut memfasilitasi pengembangan pelaku usaha penerima pinjaman lewat pelatihan kewirausahaan, pengelolaan bisnis, manajemen keuangan, dan teknik pemasaran.
Karena itu, Indonesia butuh semacam bank khusus (semacam Bank UMKM) untuk menyalurkan kredit ke UMKM. Bank ini tidak berfungsi hanya sebatas bank, tetapi juga menjadi mitra untuk membantu pemajuan UMKM.
Kedua, menetapkan plafon tertinggi bunga pinjaman untuk semua lembaga keuangan penyalur pinjaman ke masyarakat, baik perbankan, koperasi, fintech, dan lembaga keuangan lainnya.
Ketiga, menjamin hak-hak dasar rakyat, terutama pangan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan, dengan mempertimbangan penerapan jaminan penghasilan dasar (Universal Basic Income).
Keempat, mendesak Negara untuk memutihkan kredit macet di bawah Rp 10 juta demi menalangi dampak pandemi.
Kelima, menghapuskan/melarang bentuk penagihan yang berbentuk teror, merendahkan martabat manusia, dan perampasan harta benda.
*Wasekjen DPP Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dan pelaku UMKM