Ditulis oleh: Farhan Abdillah Dalimunthe(*)
Beberapa waktu belakangan ini wacana terhadap Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 kembali menyeruak dan menjadi diskursus bagi para politisi kita. Ya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memang berencana untuk mengamandemen UUD 1945 dalam rangka menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dalam sidang tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2021 yang lalu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyampaikan tentang perlunya melakukan perubahan atau amandemen UUD 1945 untuk menambahkan GBHN atau Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)[1] .
Hanya saja, rencana tersebut mendapat penolakan dari sebagian partai politik di parlemen. Pasalnya, ada kekhawatiran jika amandemen tersebut tidak hanya membahas GBHN saja, melainkan akan melebar ke pasal-pasal yang lain, salah satunya masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Akan tetapi, pada Rabu, 25 Agustus 2021 lalu, Presiden Jokowi memanggil semua petinggi partai politik koalisinya di istana. Pertemuan tersebut dihadiri oleh tujuh ketua umum dan sekretaris jenderal partai koalisi, yakni PDIP, NasDem, Golkar, Gerindra, PKB, PPP dan PAN. Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya menyebut pertemuan tersebut salah satunya adalah membahas wacana amandemen terbatas UUD 1945[2] .
Dalam sejarahnya sendiri, amandemen terhadap UUD 1945 sudah empat kali dilakukan. Menariknya, semua prosesnya dilakukan dalam kurun waktu tiga tahun. Proses amandemen yang kesannya tergesa-gesa, dipaksakan dan penuh pesanan itu berhasil membongkar dan merubah pelbagai landasan dasar sistim politik dan ekonomi Indonesia. Amandemen tersebut juga merombak batang tubuh dan menghapus penjelasan UUD 1945.
Setelah proses amandemen dan adanya perubahan mendasar sistem bernegara itu, kondisi politik Indonesia semakin kacau, kekuasaan politik yang seharusnya digunakan dan diarahkan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur nyatanya hanya dikendalikan oleh segelintir orang untuk memenuhi hasrat penumpukkan kekayaan mereka sendiri.
Di sektor ekonomi, amandemen UUD 1945 juga menjadi pembuka jalan untuk merubah filosofi mendasar sistem ekonomi Indonesia pasal 33 UUD 1945. Dengan menghapus dan menambah beberapa ketentuan, pasal itu kemudian menjadi lebih permisif terhadap kepemilikan swasta dan modal asing, peran serta Negara dalam memiliki dan mengelola kekayaan alam diminimalisir. Dan, lagi-lagi, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang menuju kehancuran. 1 persen orang menguasai hampir 50 persen aset kekayaan nasional (Credit Suisse, Oxfam dan TNP2K)[3] .
Bisa disimpulkan bahwa proses amandemen UUD 1945 yang terjadi di Indonesia hanyalah untuk memenuhi kepentingan elit tertentu. Amandemen juga menjadi proyek untuk merubah desain sistem ekonomi dan politik agar sejalan dengan kepentingan segelintir orang saja. Lantaran proses amandemen ini hanya untuk kepentingan elit, rakyat sama sekali tidak pernah dimintai persetujuan atau pendapat mengapa UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusi bernegara itu harus diamandemen dan apa urgensinya.
Padahal, berdasarkan pengalaman dari banyak negara, setiap terjadi perubahan terhadap satu pasal dalam konstitusi selalu dilakukan referendum untuk meminta pendapat dan persetujuan dari rakyat. Hal itu juga sudah diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 yang menyebutkan bahwa apabila MPR berkehendak untuk mengubah UUD 1945 maka terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum.
Amandemen UUD 1945 tidak bisa dilakukan dengan serampangan dan seenak hati saja sesuai dengan kepentingan elit yang berkuasa. Perubahan mendasar konstitusi bernegara juga tidak semudah itu dirubah hanya untuk merestrukturisasi sistem ekonomi dan politik agar dapat melegitimisasi penguasa untuk terus mengangkangi republik ini.
Oleh karena itu, sikap kami jelas, meski kemungkinan untuk mengamandemen UUD 1945 itu ada, karena kehidupan bernegara ini terus bergerak dan akan senantiasa mengalami perubahan. Namun, dengan tegas kami menolak jika amandemen itu ingin merubah filosofi atau bangunan dasar bernegara seperti anti-kolonialisme, anti-liberalisme dan anti-oligarki. Apalagi, amandemen tersebut hanya untuk melayani kepentingan oligarki.
Selain itu, belajar dari amandemen sebelumnya yang sama sekali tidak melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusannya, ke depan proses amandemen harus melibatkan rakyat sepenuhnya melalui mekanisme referendum. Dengan begitu, rakyat bisa menentukan sendiri, apakah menyetujui adanya amandemen dan pasal-pasal mana saja yang boleh diamandemen.
[1] https://news.detik.com/berita/d-5683580/di-sidang-tahunan-bamsoet-suarakanamandemen-terbatas-uud-45
[2] https://www.merdeka.com/politik/jokowi-kumpulkan-partai-koalisi-nasdem-sebut-bahasamandemen.html
[3] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/10/30/1-orang-terkaya-indonesiamenguasai-46-kekayaan-penduduk
(*) Farhan Abdillah Dalimunthe
Juru Bicara Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (DPP PRIMA)