TAKLALE.COM-Maumere, Mendengar nama-nya sudah sejak tahun 1970-an ketika saya masih sekolah di SDK – Nita I. Pasalnya, ia adalah salah satu misionaris SVD yang datang ke Flores bersama P. Walter Boyle yang sempat menjadi Pastor Paroki Kami di Koting. Dan pada waktu yg bersamaan Saudara-ku ini menjadi Pastor Paroki Thomas Morus Maumere.
Sering bertemu dengan beliau sejak tahun 1993 paskah Gempa dan Tsunami – Maumere. Kami sering terlibat dalam diskusi serius baik dalam iven² formal maupun non formal. Biasa….! Topik pembahasan selalu berkaitan dengan Ketidak-adilan, Kemiskinan Struktural dan mengenai apa yang harus dilakukan Gereja Struktural dan Kader² awam katolik dalam melakukan transformasi sosial.
Pada suatu ketika, saya, pak Edu Sareng dan beberapa teman dari Sanres sedang kerja bakti di Pos Pelayanan kami di Patisimba. Liwatlah P. John, SVD sambil bersepada di hadapan kami. Beliau berhenti sejenak dan menyapa, seterusnya ngobrol sejenak. Pak Edu Sareng sempat bertanya ketika itu: ” Pater, mengapa belakangan ini para gembala (para klerus) mulai tampak berjarak dari domba²-nya (Umat). Apa jawab Pater: “hei… saya heran sekali kamu-kamu ini… Gereja Katolik sudah ratusan tahun di Flores, tapi kamu masih saja mau menjadi Domba”.
Jawab-pan yang menohok ini, kemudian melahirkan kesadaran baru. Paling tidak bagi saya, untuk tidak selalu mengganggap diri lemah dan berharap dilayani kalau bisa melayani. Menganggap diri bodoh dan tidak berdaya, kalau punya kesempatan berbuat sesuatu. Sejatinya jangan terus – terusan menikmati posisi dan status sebagai korban atau obyek pengembalaan belaka (Domba), tapi berusahalah agar bisa menjadi gembala bagi domba² yang tertindas dan terpinggirkan oleh struktur sosial yang tidak adil.
Legitimasi terhadap reposisi sikap dan peran ini kemudian di perkuat ketika, di antara akhir tahun 1999 atau awal 2000-an saya di undang oleh P. John, SVD untuk memberikan kesaksian tentang pengalaman advokasi pada sebuah acara refleksi komunitas SVD di Kapela santo Petrus Ledalero. Di sini saya semakin yakin pada pilihan saya untuk menjadi gembala walaupun bukan klerus.
Dari apa yang saya dengar, sebelum ini sebenarnya, ada satu peristiwa menarik dan bersejarah bagi gereja di Flores, yakni: Pater melakukan “Jalan Salip Keadilan” (Jumad Agung) di Kota Maumere mengenang seorang jelata yang meninggal karena ditindas aparat. (Mohon klarifikasi kalau salah)
Pada tahun 2004, Pater secara khusus berusaha menemui saya untuk berdiskusi tentang pengalaman perjuangan bersama Masyarakat Adat Tana Ai dari Suku Goban Runut dan Suku Soge Natarmage di Lokasi HGU PT. Diag ketika itu. Saya menduga hasil dari diskusi ini keluarlah sebuah tulisan P. John, SVD tentang:” Hukum Adat dan Hukum Positif Beseberangan: Mana Peran Teolog Kristen? Catatan dari Pulau Flores”
Saya sertakan satu kutipan menarik dari tulisan tersebut: Gereja sebagai pihak yang terlibat dalam sengketa tanah, meskipun ada beberapa pastor lokal yang telah mencoba mengungkapkan dan mendukung keluhan-keluhan warga desa, namun warga grejani di Flores pada umumnya dan di Maumere khususnya, tanpa kecuali selalu membela kepentingannya sendiri dan karenanya doyan menafsirkan hukum positif secara sempit, dan sigap meminta aparat kepolisian untuk memaksakan klaim-klaimnya.
Belum terlihat isyarat bahwa para Pemimpin Gereja terbuka untuk menyuarakan Reforma Agraria. Kalau para Pastor setempat belum berhasil menjadi mediator, maka lebih sedikit lagi upaya serupa oleh Keuskupan.
Saya juga pernah dikritik oleh Pater karena sering meninggalkan istri dan anak sendirian di rumah untuk bepergian jauh ke luar daerah. ” John kamu tidak adil, selalu bepergian jauh sementara istrimu sendirian tinggal di rumah mengurus 3 orang anak yang masih kecil² dan dlm keadaan hamil pula. Ini terjadi antara tahun 2004 – 2005 ketika istri saya hamil anak ke 4 / anak bungsu.
Pada tahun 2011, ketika memimpin misa peringatan 1 tahun meninggalnya Putra kedua saya Yakobus Jeynaro Balaputra (anak ini dikenal cukup baik oleh para penghuni Candraditya). Dalam kotbahnya, Pater kembali menyindir saya:” Kematian diusia dini (anak²) janganlah dengan gampang dianggap sebagai takdir. Sebab Allah dan Tuhan sangat mencintai anak² dan kehidupannya”. “Kematian seperti ini hanya mungkin terjadi karena semua institusi (keluarga dan Negara) yang seharusnya melindungi dan memenuhi hak² mereka itu, abai menjalankan kewajibannya”. Saya percaya ini pater.
Pater jam 06:30 pagi tadi engkau telah pergi untuk selama²nya menghadap sang pengutus-Mu. Persis seperti kritikmu bahwa saya tidak adil karena sering pergi² meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama. Ternyata hari ini saya merasa tidak adil terhadap-mu. Karena tidak berada di Maumere untuk bersama keluarga dan teman² mengatar kepergian-mu ke tempat peristarahat terskhir.
Sebagai balasannya saya akan tetap ingat semua isi persahabatan kita. Kritik dan sindiran-mu yang menohok akan terus menjadi motivasi saya dalam menjalankan perjuangan bersama mereka yang tertindas. Bangga telah bersamamu selama ini.
Saya sungguh² mendoakan kalian Semua yang pernah saya kenal serius: P. Guido Tisera, SVD, P. Amatus Woi, SVD, P. Yoseph Suban Hayon, SVD, P. Hendrik Dori Wuwur, SVD, P. Petrus Nong Lewar, SVD, P. Paskalis Berekmans, SVD, P. Philipus Panda, SVD, Sr. Eustocia, SsPs dan P. John Prior, SVD…. AMIN.
TABE.
(Sumber : Fb John Bala yang diposting pada Sabtu, 2 Juli 2022 dan dimuat atas seijinnya)