Minggu, November 24, 2024
Google search engine

Perayaan Rabu Abu

Oleh : Pdt. Jozef M.N.Hehanussa

Apakah Rabu Abu dilaksanakan oleh semua Gereja atau Denominasi?
Keliru jika kita mengatakan bahwa Rabu Abu adalah tradisi Gereja milik Gereja Katolik atau Gereja Ortodoks, khususnya Ortodoks Barat. Ingatlah bahwa pemisahan Gereja antara Gereja Barat yang kemudian disebut dengan Gereja Katolik Roma dengan Gereja Timur, atau kemudian disebut juga degan Gereja Ortodoks Timur, baru terjadi pada tahun 1054. Sedangkan perpecahan dalam tubuh Gereja Katolik Roma yang kemudian menghasilkan berbagai aliran Gereja Protestan baru terjadi tahun 1517. Jadi harus disimpulkan bahwa tradisi rabu Abu pada awalnya adalah tradisi milik Gereja Kristen atau Gereja Kristus. Saat itu tradisi ini dikenal dalam bahasa Inggris dengan nama Lent Tradition atau lebih bermakna dalam bahas Yunaninya: Tessarakosti, atau dalam bahasa Latinnya: Quadragesima.
Saat ini hampir semua denominasi Gereja, seperti Katolik, Reformed, Lutheran, Calvinis, Anglikan, Metodis, Baptis, Injili, Mennonit dan Ortodoks Barat merayakan Rabu Abu. Gereja Ortodoks Timur atau ortodoks Yunani tidak merayakannya, karena masa puasa 40 hari sebelum paskah atau yang biasa dikenal dengan Lent Tradition dimulai pada hari Senin atau sebelum hari Minggu pertama dari Lent Tradition. Sedangkan yang merayakan Rabu Abu mengambil hari Rabu sebelum hari Minggu pertama dari Lent Tradition. Gereja Pentakosta-Karismatik umumnya tidak merayakan Rabu Abu ini.

Apa yang mau dirayakan dalam perayaan Rabu Abu ini?
Pertama-tama yang harus dipahami adalah penorehan abu dalam bentuk salib di dahi seseorang pada perayaan Rabu Abu bukanlah unsur satu-satunya dalam perayaan Rabu Abu. Perayaan Rabu Abu sebenarnya merupakan penanda dimulainya masa 40 hari puasa dalam Gereja sebelum diakhiri dengan Paskah.
Catatan-catatan sejarah menjelaskan penetapan Prapaskah ini sebagai penetapan oleh para rasul, atau setidaknya di zaman pasca para rasul atau tak lama setelah pasca apostolik. Masa Prapaskah dan puasa ini lebih banyak dihubungkan dengan persiapan untuk pembaptisan pada hari Minggu Paskah. Pada awal abad kedua, puasa ini dilakukan dua hari sebelum pelaksanaan baptisan pada hari Minggu Paskah. Pada awal abad ketiga, setidaknya di gereja Aleksandria, puasa sudah diperpanjang menjadi seminggu. Pada abad keempat, Konsili Nicea sudah menunjuk kepada persiapan 40 hari untuk Paskah. Ini memberi kesan bahwa Gereja-gereja secara umum sudah melakukan hal tersebut. Tetapi 40 hari ini oleh Gereja Anglo-Saxon dinamakan sebagai Lent Tradition atau Pra-Paskah atau Musim Semi dimulai pada hari Minggu keenam sebelum Minggu Paskah. Meskipun sudah menetapkan 40 hari sebelum Paskah, namun puasa hanya berlangsung 36 hari karena puasa tidak dilakukan pada Hari Minggu. Gereja Roma kemudian menetapkan awal Prapaskah itu pada hari Rabu sebelum hari Minggu pertama Prapaskah, sehingga sekarang lamanya puasa menjadi 40 hari karena ditambahkan dengan Rabu Abu, Kamis, Jumat dan Sabtu, sebelum hari Minggu pertama Prapaskah. Pilihan hari Rabu ini sesuai dengan kebiasaan bahwa orang Kristen diminta untuk berpuasa pada hari Rabu dan Sabtu, terutama sebelum pelaksanaan baptisan. Hal ini bisa ditemukan dalam tulisan Didache.
Yang penting diingat adalah puasa ini dilakukan untuk mengingat puasa Yesus di padang gurun yang berlangsung selama 40 hari; begitu pula puasa Musa 40 hari selama di gunung Tuhan ketika menerima hukum Tuhan (lih. Kel. 34:28) & puasa Elia sebelum bertemu Tuhan di gunung Horeb (lih. 1 Raja-raja 19:8)
Dengan demikian perayaan Rabu Abu tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan puasa yang berlangsung selama 40 hari sebelum Paskah.

Kapan Rabu Abu dan Tradisi Puasa ini mulai dipraktikkan dalam Gereja?
Puasa sendiri merupakan praktik yang sudah lama tersebar luas dalam kehidupan gereja. Puasa menjadi salah satu latihan rohani atau spiritual untuk pengendalian dan pemurnian diri. Dengan berpuasa orang berlatih mengendalikan dorongan, keinginan, selera atau nafsu manusia. Bahkan puasa menjadi salah satu praktik penting dalam tradisi Yahudi, sebagaimana Yesus juga berpuasa. Tampaknya pengaruh puasa dalam Gereja ini berasal dari kelompok Kristen Yahudi.
Irenius dari Lyon dan Tertullianus dari Afrika Utara (keduanya hidup di abad ke-2 & ke-3) sudah menginformasikan tentang puasa selama 1-2 hari atau 40 jam sebelum Paskah. Dionysius dari Aleksandria (hidup di abad ke-3) sudah berbicara tentang puasa sampai dengan 6 hari sebelum Paskah. Dalam sura-surat Athanasius dari Aleksandria di tahun 329-333 M masih hanya menyebut tentang puasa 6 hari sebelum Paskah. Tetapi dalam suratnya tahun 334 M, dia sudah menyebutkan puasa yang berlangsung 40 hari. Sejarawan Bizantium, Socrates (hidup di abad ke-4 & ke-5) sudah berbicara tentang orang-orang Kristen Roma yang berpuasa selama 3 minggu. Pada pertengahan abad ke-4 sudah mulai diketahui tentang puasa selama 40 hari. Jadi ada perkembangan waktu lamanya berpuasa. Dalam sebuah himne doa malam dari Bizantium juga sudah disebutkan tentang 40 hari puasa. Gereja di Anthiokia pada akhir abad ke-4 juga sudah menyebutkan puasa selama 40 hari sebelum Paskah. John Chrysostomos (dari abad ke-4 dan ke-5) dan Egeria, seorang peziarah perempuan yang melakukan perjalanan ke Tanah Suci, yang hidup di abad ke-4, sudah menyebut puasa masa Prapaskah ini dalam catatan-catatan mereka. Paus Leo I atau Leo Agung pada abad ke-5 sudah menyatakan bahwa masa puasa 40 hari berturut—turut ini berakhir dengan Kamis Putih yang dipisahkan dari puasa Jumat Agung dan Sabtu Sunyi.
Penggunaan abu yang dihubungkan dengan puasa juga sudah menjadi praktik yang lama atau kuno. Hal ini sudah dikenal sebagai satu kesatuan dalam tradisi puasa dan perkabungan orang Yahudi (lih. Ester 4:1; Ratapan 2:10; Yeh. 27:30). Abu perayaan ini menjadi simbol kerendahan diri dalam pertobatan atau penyesalan dosa dan karena itu orang yang mengaku dosanya siap, menyucikan hatinya, memperbaiki hidupnya, dan itu dilakukan dengan menjalani puasa.
Begitu pula praktik penorehan abu sendiri adalah juga sebuah praktik yang lama. Tertulianus, Bapa Gereja, menyebutnya sebagai sebuah ekspresi atau cara orang menunjukkan kepada publik bahwa dia bertobat dan bahwa dia lemah sebagai manusia seperti debu yang ada di dahinya. Karena itu manusia membutuhkan Kristus. Pada abad keempat pembubuhan tanda salib di dahi dengan abu ini juga sudah dilakukan pada orang yang dibaptis. Cara ini dimaknai bahwa seseorang siap menjadikan salib bagian dari hidupnya dan tidak malu memikul salib. Simbol salib inilah yang kemudian di kenakan pada dahi seseorang saat perayaan Rabu Abu sebagai tanda mengambil bagian dalam salib Kristus. Terkait dengan praktik penorehan Abu, menurut Sinode Benevento (tahun 1091), abu ditaburkan di kepala laki-laki, sedangkan tanda salib dari abu ditorehkan di dahi perempuan.
Karena penorehan abu ini tidak berdiri sendiri atau terlepas dari makna perayaan Rabu abu dan tempatnya dalam perayaan Quadragesima atau 40 hari masa puasa ini, maka dalam liturgi gereja umumnya, penorehan abu ditempatkan sebagai bagian dari pengakuan dosa. Atau ada yang juga menempatkannya setelah pemberitaan Firman dengan pemahaman bahwa firman ini mendorong dan menegaskan panggilan umat untuk mengakui dosa dan merendahkan dirinya di hadapan Allah.
Dalam sebagian besar liturgi Rabu Abu dan pembubuhan abu ini, dibacakan mazmur tobat yang kebanyakan diambil dari Mazmur 51. Yang perlu diingat adalah praktik penorehan abu ini tidak dapat dipisahkan juga dari keberadaannya sebagai penanda seseorang masuk dalam masa puasa 40 hari.

Apa dasar pijak atau dasar teologis untuk pelaksanaan Rabu Abu ini?
Jika kita mencari dasar atau alasan untuk melaksanakan Rabu Abu, seperti dasar untuk kita melaksanakan Paskah atau Natal, maka pencarian itu akan membuahkan kesia-siaan. Alkitab bahkan tidak memperlihatkan sebuah peristiwa khusus selama 40 hari sebelum penyaliban Yesus dan yang bisa dijadikan alasan atau penanda dari pelaksanaan masa Prapaskah yang ditandai dengan Rabu Abu ini. Gereja-gereja perdana juga tidak mencari dasar pijaknya dalam kisah hidup Yesus yang ditulis dalam Alkitab. Gereja hanya ingin membangun sebuah cara atau kebiasaan orang percaya dalam mempersiapkan diri untuk menghayati kesengsaraan dan kebangkitan Kristus. Caranya adalah dengan melatih spiritual warga Gereja melalui upaya mengekang diri dan semua keinginan manusia yang membuat manusia tidak dapat menjadi satu dengan kematian dan kebangkitan Kristus (lih. Roma 6). Caranya adalah dengan berpuasa yang sudah lama juga dipraktikkan dalam Gereja, mulai dari hanya 2 hari menjadi sampai dengan 40 hari. Rabu Abu lebih mendorong orang percaya untuk menghayati karya Allah di dalam penciptaan, dosa, kematian, anugerah, dan keselamatan.
Tertulianus Bapa Gereja mengatakan bahwa orang yang bertobat harus “hidup tanpa kegembiraan dalam kekasaran kain kabung dan kemelaratan abu.” Karena itu Eusebius, Sejarawan gereja perdana mengatakan bahwa orang yang mengaku dosanya di depan umum terutama karena telah meninggalkan iman percayanya oleh imam abu ditaburkan di atas kepalanya.
Karena itu salah satu teks Alkitab yang sering dipakai dalam upacara Rabu Abu adalah Kejadian 3:19 : “sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Karena manusia itu hanya debu maka dalam minggu Prapaskah dia diberi waktu khusus untuk merendahkan diri menghayati penderitaan Kristus, dan menata dirinya untuk bisa lebih mencerminkan salib Kristus dan karya keselamatan melalui kebangkitan Kristus.
Ayub 42:3-6 dan Yoel 2:12-18 juga sering dipakai oleh Gereja-gereja untuk menekankan penyesalan dan pertobatan ini dalam Rabu Abu ini.
Dengan demikian Rabu Abu adalah perayaan pengakuan ketidakberdayaan manusia, ketika manusia menyatu dengan penderitaan dan kematian Kristus dan untuk itu membutuhkan rekonsiliasi dengan Tuhan.

Dari mana abu yang dipakai dalam perayaan Rabu Abu berasal?
Abu yang dipakai saat penorehan abu dalam perayaan Rabu Abu sebenarnya berasal dari daun-daun palem yang dipergunakan saat perayaan Minggu Palem atau Minggu Palma. Di Gereja-Gereja yang sudah merayakan Rabu Abu ini secara rutin, seperti Gereja Katolik, daun-daun Palma yang dibawa dalam perayaan Minggu palma akan dikumpulkan dan dibiarkan sampai mengering, setelah itu dibakar sampai menjadi abu. Abu inilah yang kemudian akan dicampur dengan minyak, biasanya minyak zaitun – di Katolik digunakan air suci atau minyak Krisma atau minyak pengurapan yang biasa dipakai saat sakramen krisma atau penahbisan imam atau pemberkatan altar dll. Pencampuran abu dan minyak ini bertujuan agar abu bisa digunakan untuk dioleskan dan menempel di dahi umat atau warga Gereja. Namun saat ini abu tersebut juga sudah dijual atau bisa didapatkan di toko-toko kebutuhan peralatan ibadah, terutama toko-toko yang menjual peralatan ibadah untuk umat Kristen Katolik.

Apa yang biasa dilakukan sebagai bentuk penghayatan masa puasa 40 hari Prapaskah?
Pada masa lalu, puasa dalam Gereja dilakukan dalam wujud hanya makan sekali dalams ehari yaitu di malam hari. Ini namanya puasa ketat. Orang dilarang makan daging, ikan, telur dan mentega. Di Gereja Timur, penggunaan anggur, minyak dan produk susu dibatasi.
Pada masa kaisar Theodosius Agung, ketika agama Kristen sudah menjadi agama negara, karena semua orang mengharapkan pengampunan jiwa maka hukuman tubuh tidak dilakukan selama masa Prapaskah. Orang juga menerima grasi dari pemerintah. Hal-hal yang bersifat kesenangan, seperti festival-festival, perayaan ulang tahun, pernikahan, dan perayaan-perayaan kegembiraan sejenis, ditiadakan. Melakukan hal-hal tersebut dianggap tidak menghayati kehikmatan puasa Prapaskah.
Orang Kristen membagikan daging kepada orang miskin, mengunjungi orang sakit dan orang yang dipenjara. Mereka menghibur orang yang asing atau sendiri. Mereka mengupayakan damai ketika terjadi perbedaan atau perselisihan.
Gereja juga membagikan makanan untuk orang miskin.
Saat ini kita bisa melakukan puasa antara lain dengan membatasi kebiasaan-kebiasaan kita yang lebih banyak memperlihat ego kita atau memperlihatkan ketidakpedulian kita dengan orang lain. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai simbol kita merendahkan diri di hadapan kita dengan menunjukkan kasih dan kepedulian kita kepada sesama.

Kesimpulannya
Dengan demikian jangan lagi kita menganggap perayaan Rabu Abu ini sebagai ikut-ikutan tradisi Katolik atau tradisi Gereja mana pun. Ini tradisi kita bersama sebagai Gereja milik Kristus. Belum terlambat bagi kita yang sudah lama tidak merayakan tradisi tersebut untuk bersama-sama menghayati persekutuan kita sebagai Gereja dalam pertobatan di hadapan Kristus. Termasuk bertobat dari arogansi kita sebagai Gereja yang kadang menganggap Gereja kita lebih baik dari yang lain.
Marilah kita bersama-sama mempersiapkan diri dan merayakan Rabu Abu sebagai bagian dari arak-arakan pengakuan percaya dan pertobatan kita dan memberi diri untuk hidup dalam kasih dengan sesama manusia dan sesama ciptaan sebagaimana Kristus yang memberi hidupnya untuk kebaikan manusia dan seluruh ciptaan.

Sumber Berita : https://youtu.be/Z5n5lwME3HE / channel Keluarga Pandu

Sumber Foto : Internet

 

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments