Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo
(Edisi ke-3 Sambungan)
Di masyarakat Kristen masalah waktu pelaksanaan perayaan Natal menimbulkan kontroversi. Masyarakat Kristen, di Papua dan di Minahasa misalnya, Natal sudah mulai dirayakan di minggu-minggu Adventus. Setidak-tidaknya ini yang saya tahu 6-7 tahun lalu. Jemaat-jemaat Kristen Indonesia umumnya terbentuk dari rayon, sektor, gugus atau kolom. Perayaan Natal bersama tanggal 25 Desember dianggap terlalu umum. Gebyar sukacitanya terasa hambar dan dangkal. Kesatuan umat di lingkungan yang lebih kecil ingin agar gebyar kebahagiaan Natal dirasakan secara lebih intens dalam group-group dan sel-sel yang lebih kecil. Bukan hanya sektor, rayon, gugus atau kolom yang memeriahkan Natal, kelompok-kelompok kategorial seperti anak, pemuda, kaum ibu, kaum bapaj, lansia, panti asuhan, semuanya merindukan nyanyian Malam Kudus dikumandangkan di ruang perenungan iman mereka. Yang seru ialah tiap kelompok ini menghendaki acara natal mereka dihadiri oleh pendeta atau gembala umat.
Ada lagi sebuah kenyataan riil, yakni perusahaan-perusahaan swasta yang biasa meliburkan karyawan-karyawati di hari-hari raya keagamaan. Sayang sekali kalau karyawan-karyawati pergi diam-diam. Natal merupakan momen penuh pesan sukacita dan damai. Sebelum balik ke kampung masing-masing pekerja-pekerja ini rindu untuk saling memaafkan dan berbagi kasih. Ibadah Natal menjadi ruang ekspresi sukacita itu.
Jadilah durasi perayaan Natal tidak cukup kalau dikurung hanya di tanggal 25 Desember. Tak heran kalau mulai 10 Desember sudah terdengar lagu Hai Mari Berhimpun di rayon, resor, gugus, kolom, dst. Lilin Natal pun sudah dinyalakan dan di ujung akhir ibadah semua ramai-ramai berucap: MERRY CHRISTMAS.
Praktek ini sering menyinggung perasaan teologis para personil yang bersemayam di pucuk hirarki organisasi Gereja. Lalu lahirlah fatwa yang mengharamkan perayaan Natal sebelum 25 Desember. Persoalan ini sungguh mengusik dan perlu disikapi secara bijak. Maka muncul pertanyaan: Bolehkah Natal dirayakan sebelum 25 Desember?
Pertimbangkanlah beberapa poin ini sebelum memberi jawaban affirmatif. Pertama, dalam gereja ada dua tanggal perayaan Natal. Orang-orang Kristen di Barat, yaitu yang sebelum Luther dan Calvin berpusat di Roma merayakan Natal di 25 Desember. Di seberang sana, ada orang-orang Kristen di Timur. Mereka biasa disebur orang Kristen Orthodoks. Tanggal perayaan Natal mereka adalah 6 Januari. Jadi mau pakai tanggal mana sebagai patokan hari H perayaan Natal?
Kedua, dalam setiap ritus keagamaan ada yang disebut esensi dan ada juga seremoninya. Esensi perayaan Natal adalah menyambut Kristus, bukan lagi sebagai yang lahir di Betlehem dan dibaringkan di palungan, tetapi untuk lahir dalam hidup pribadi, keluarga, rayon, gugus dan berdiam di palungan hati manusia. Minggu Adventus diadakan agar palungan hati yang kotor dibersihkan dan kandang kehidupan yang menyebar aroma tidak sedap didesinfektan. Essensi ini tidak bisa dibatasi hanya di tanggal 25 Desember atau 6 Januari. Setiap hari hendaknya menjadi hari Natal Kristus di hati dan hidup manusia. Membatasi perayaan Natal hanya pada satu atau dua hari sama dengan mengkeramatkan atau mengkultuskan hari dimaksud (bersambung di edisi ke-4).
(sumber : Facebook Eben Nuban Timo II – 03 Desember 2021)
Baca juga Tulisan edisi 1 “Adventus Simbol Kaya Makna bagi Ekspresi Religius” dan “Pohon Natal di Minggu Adventus” Tulisan 2