Minggu, November 24, 2024
Google search engine
BerandaINKLUSIReligi dan SpiritualitasPohon Natal di Minggu Adventus

Pohon Natal di Minggu Adventus

Edisi kedua catatan perenungan Minggu Adventus

Pdt.Eben Nuban Timo

Banyak diskusi alot dalam gereja yang mempersoalkan keberadaan simbol-simbol Natal di Minggu Adventus. Opini terbagi tiga kelompok. Pertama menolak penghadiran simbol dan ornamen Natal di ruang perenungan Adventus. Alasannya agar umat fokus, perhatian tidak dibelokkan. Pesan Adventus tidak boleh dikosongkan gara-gara eufori kebahagiaan Natal.

Kelompok kedua, setuju menghadirkan suasana Natal di tengah-tengah kekhusukan perenungan Adventus. Pohon-pohon Natal didirikan di setiap rumah, di sudut-sudut kota. Lagu-lagu Natal juga mulai menggema, bukan hanya dengan volume lembut, tetapi voltase tinggi. Adik saya – dia bukan penatua atau diaken, dia anggota jemaat biasa – berkata: “Khan Minggu Adventus ada sebagai momen menunggu dia yang datang. Kalau di politik wajah kota dipenuhi foto sang presiden, baliho, spanduk ucapan selamat datang. Anak-anak, pemuda, perempuan, kaum bapak melakukan gladi, teknical meeting menjelan kunjungan presiden, mengapa simbol-simbol Natal tidak boleh dihadirkan di Minggu Adventus?”

Mereka yang setuju kemeriahan suasana Natal diperluas ke belakang untuk mengisi ruang perenungan Adventus melakukan itu bukan untuk menggosongkan roh Minggu Adventus, justru hendak menggobarkan nyala api pengharapan yang menjadi isi Adventus dan mendorong semangat untuk praktek-praktek bela rasa di masa-masa Adventus.

Kelompok ketiga memilih posisi abu-abu. Mereka berujar bahwa adalah syah menghadirkan simbol-simbol Natal di ruang meditasi Adventus, hanya dekorasinya dibuat bertahap. Pohon Natal dipasang tetapi tak boleh ada bintang san hiasan lain; lagu Natal boleh dinyanyikan tetapi dengan setengah suara.

Tiga kelompok ini perlu dihargai pendapat dan pemaknaan masing-masing. Inilah kekayaan ekspresi dari perenungan iman orang kristen. Ruang liturgi dan devosi perlu terbuka untuk keberagaman ini. Karena debat-debat tadi adalah mengenai hal-hal yang ada di pinggiran. Elemen inti, yang ada di titip pusat pemaknaan Adventus dan Natal sama sekali tidak diganggu atau diciderai, yakni persiapan menyambut Dia yang datang. Tiga kelompok sikap tadi justru berdiri di inti pemberitaan yang sana. Ekspresi-ekspresi liturgisnya saja yang berbeda.

Jelasnya, silakan bagi anggota jemaat yang tidak ingin kekhusukkan Adventus dirampok oleh eufori Natal untuk berekspresi. Kebebasan juga perlu diberikan untuk dua kelompok pemaknaan lain. Gereja perlu melatih diri dalam lingkup internal untuk tidak memaksakan tafsir tunggal. Ini justru membuat gereja dapat tampil secara otentik di ruang publik sebagai rumah bagi semua. Tentu saja muncul pertanyaan: “Pimpinan Gereja sebagai representasi Umat, sebagai primus interpares perlu memilih satua sikap yang jelas. Ini perlu sebagai panduan.”

Memang harus begitu. Pimpinan umat harus memberi panduan dan panduan itu harus lebih mengarah ke masalah inti pemaknaan Adventus, bukan sibuk dengan masalah-masalah yang bukan inti. Pesan inti Minggu Adventus adalah menunggu Dia yang datang dengan cara pemeriksaan diri dan hidup dalam pertobatan. Inilah kerugmanya. Soal pohon Natal, lilin, bintang, lagu-lagu Natal itu ekspresi eksternal yang merupakan perwujudan kasad mata dari gejolak batin.

Kalau nyala api kerinduan menyonsong Tuhan yang datang itu akan lebih baik diungkapkan dengan memasang pohon Natal lengkap dengan aksesorisnya, biarkan gejolak batin itu mengalir keluar. Kalau sukacita menyambut datangnya Raja Damai bergerak menuju kepenuhan kalau yang bersangkutan menahan diri untuk tidak mendendangkan lagu-lagu Natal, ya monggo – itu ekspresi iman yang juga bermakna.

Para penulis kitab Injil saja berbeda dalam mengisahkan penampilan Yesus di ruang publik. Kitab Lukas tegaskan bahwa Yesus baru mulai bekerja setelah Yohanes pembaptis ditangkap dan dipenjarakan. Lukas lakukan ini karena mau memberi porsi penghargaan yang sama bagi pekerjaan Yohanes Pembaptis san Yesus. Pekerjaan keduanya tidak boleh tumpang tindih.

Yohanes membuat pemberitaan yang berbeda. Yesus tampil ke ruang publik mewartakan Allah dan KerajaanNya ketika Yohanes sedang merebut perhatian publik. Yesus tampil bukan untuk mengeliminir pemberitaan Yohanes atau merebut popularitas pendahuluNya. Yesus justru menegaskan kesatuan pesan dan pemberitaan antara mereka berdua.

Manusia adalah homo simbolicum. Ia membutuhkan simbol dalam mengekspresikan gejolak-gejolak batin dan arus pemaknaan hidup yang dihasilkan di kedalaman dapur spiritualnya, yakni nurani, budi, hati. Arus pemaknaan itu kalau didiamkan akan meledak. Manusia membutuhkan simbol untuk ekspresi batinnya tersalurkan. Kehidupan agama adalah gudang pemaknaan hidup yang paling kaya dan produktif. Minggu Adventus dan Natal adalah pentas yang disediakan gereja agar arus bawah sadar pemaknaan itu bisa ditampilkan. Gereja hadir untuk memfasilitasi pengungkapan pemaknaan itu, bukan menghalang-halangi apa lagi memfatwakan haram. Lain halnya jika ekspresi keagamaan itu berisi elemen destruktif dan inhumanis. Untuk hal terakhir ini gereja harus mengambil sikap tegas (Bersambung di edisi ke-3).

Sumber : Facebook Eben Nuban Timo II, Senin, 29 November 2021

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments