Tiga tahun lalu Yunus Lay adalah seorang tukang ojek yang biasa mangkal di Pertigaan Oepura-Sikumana, tepatnya di terminal Oepura. Melihat teman-temannya yang lain beralih menjadi penjual sayur keliling, iapun mencoba keberuntungnya sebagai penjual sayur. Perhitungannya ternyata tidak meleset.
“Dulu, saat masih ojek beta juga bantu orangtua, tapi setelah jual sayur, biar sonde banyak ju tapi lebih enak. Beta bisa kirim, bisa ju tabung sedikit-sedikit. Sekarang sudah lebih ringan karena hanya tinggal satu adik saja yang masih di Kampung,” kata sulung dari enam bersaudara yang biasa dipanggil Amaholo ini.
Tidak saja bisa membantu orang tuanya di kampung, Yunuspun bisa membiayai kuliah adiknya Mariana Ude Lay yang baru saja meraih gelar sarjana pendidikan di akhir 2013 lalu. “Beta bisa begini karena dia, beta bangga punya kakak seperti Kak Yunus,” kata Mariana.
Yunus adalah salah satu di antara 15 orang komunitas Sabu yang berjualan sayur di sekitar kota Kupang. Menurutnya ada juga teman-teman dari etnis lain yang berjualan dan jumlah mereka cukup banyak.
Kerja sebagai penjual sayur keliling tentu saja tidak lebih gampang dari pekerjaan sebagai tukang ojek.
“Biasanya dia berangkat pagi-pagi, jam empat sudah di pasar. Ya sonde harus lebe sedu, karena dia lebe suka belanja sebagian besar bahan saat malam, sekitar jam tujuh. Jadi pagi-pagi hanya belanja seperti ikan dan daging,” kata istri Yunus, Diana Tonisian Haga Kore. Diana juga mengaku senang, karena ternyata para pedagang di Pasar Kasih Naikoten, Kupang bisa memberi harga yang lebih murah kepada para pedagang keliling.
Yunus mengaku bahwa sama seperti sesama pedagang keliling lainnya, ia sudah dikenal oleh para pedagang di pasar. Sehingga kadang tawar-menawar kadang tidak diperlukan lagi. “Semacam ada kemudahan bagi kami. Kalau untuk pembeli umum harga sayur misalkan lima ribu rupiah, untuk kami bisa dilepas dengan harga tiga ribu lima ratus rupiah,” kata ayah berusia 32 tahun ini.
Sehari-hari Yunus berjualan sayur keliling di seputaran Jalan Nangka hingga kompleks Sekolah Polisi Negara Kupang. Yunus bersama istrinya masih menyewa kost-kosan di Jalan Sesawi Oepura. Pasangan muda ini juga sedang menantikan anak kedua mereka setelah bulan Mei lalu kehilangan putra pertama mereka yang meninggal akibat sakit.
Karena keluarganya bergantung dari apa yang dihasilkan Yunus sehari-hari, kadang dia harus memaksakan diri. “Yang paling susah kalau dia sakit. Kadang dia bandel dan paksa diri tetap kerja,” kata Diana yang sedang menantikan putra keduanya ini.
“Yang lucu, kalau misalnya beta sakit dan tidak sempat jualan satu hari, pasti besoknya ada langganan yang mengeluh: ‘Kemarin tidak ada lauk di rumah gara-gara tunggu Ama tapi sonde muncul’,” kata Yunus sambil tertawa menirukan para langganannya.
Yunus mengaku para pelanggan – kebanyakan adalah ibu-ibu, yang kenal baik dengannya tak sungkan berhutang. Namun ia malah bersyukur karenanya. “Kalau kasih hutang ada enaknya, karena tiap awal bulan mereka bayar, kami jadi bisa menabung,” jelas Yunus.
Keuntungan Yunus dari berjualan sayur keliling ini, cukup untuk membiayai keperluan rumah tangganya bahkan ia mengirimkan uang untuk orang tuanya di kampung dan bahkan bisa menabung. Seminggu ia bisa mendapatkan keuntungan bersih Rp. 300.000,- hingga Rp. 500,000.-
“Memang tidak tentu, tapi selalu ada untung. Kadang-kadang bisa lebih dari itu. Ini minggu saja sudah lebih dari tujuh ratus ribu,” katanya.
Cuaca yang tidak menentu menjadi keuntungan tersendiri buat anak dari pasangan Lambertus Ude Lay dan Lodia Koro ini. “Kami lebih senang berjualan saat musim hujan begini. Sebab banyak orang yang tidak suka ke pasar karena menghindari becek atau hujan. Jadi sayur kami lebih cepat laku,” katanya.
Namun kadang malang tak dapat ditolak jika ban pecah, atau motor rusak. “Ban pecah atau motor rusak bukan pernah terjadi tapi sering terjadi,” katanya. Kadang Yunus dan teman-temannya sesama penjual sayur keliling harus meminjam atau menyewa motor teman lain agar tak rugi.
Bersama teman-teman sepenanggungannya Yunus membuat arisan mingguan dengan besaran setoran Rp. 25.000.- per orang. “Katong banyak dibantu dengan itu kelompok arisan. Dari persekutuan itu juga kami bisa saling membantu kalau ada yang kesusahan,” kata Yunus dibenarkan teman-temannya.
Yunus, tak punya cita-cita besar. Satu mimpinya adalah membuka usaha fotocopy dan toko Alat tulis kantor (ATK) di pulau asalnya, Sabu. Berbekal pengalaman istrinya Diana yang pernah lama bekerja di toko ATK dan fotocopy, pasangan ini merasa punya bekal yang cukup untuk terjun ke bisnis ini. “Sampai sekarang, kalau di toko tempat dia kerja punya banyak kerjaan, mereka sering panggil untuk membantu,” kata Yunus.
Yunus tetap berharap suatu saat bisa mewujudkan rencana ini bersama istrinya. {S}
Diposkan pada 12 Februari 2014 oleh theny panie untuk Satutimor.com
Foto-foto: Theny Panie