Minggu, November 24, 2024
Google search engine
BerandaINKLUSIReligi dan SpiritualitasTradisi Rabu Abu dan Kamis Putih

Tradisi Rabu Abu dan Kamis Putih

oleh: Pdt. Andreas A. Yewangoe

Karena itu kalau kita mau menerapkan sesuatu yang selama ini belum menjadi tradisi, kita harus tahu betul seluk-beluknya. Dengan demikian kita terhindar dari kesan sekadar mencantolkan begitu saja di kebiasaan dan/ atau liturgia kita.

Sebenarnya saya tidak terlalu merasa perlu menjelaskan hal ini. Hanya ada kesan dengan membaca koran Satu Harapan, diskusi di UKAW itu seakan-akan khusus membahas hal itu. Tidak demikian. Rabu Abu dan Kamis Putih hanya muncul dalam interaksi dialog dalam seminar Paskah itu.

Yang ingin dikatakan adalah, bahwa kalau kita merayakan Rabu Abu dan Kamis Putih, kita harus tahu betul latarbelakangnya. Ini untuk menjaga jangan sampai perayaan itu terkesan dicantolkan begitu saja di acara kita sehingga lalu menjadi ringan maknanya.

Saya kira adalah fakta sejarah bahwa perayaan itu sangat lazim di dalam Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks. Di dalam gereja-gereja Reformasi hampir tidak lazim. Itu tidak berarti kita tidak boleh belajar. Tetapi kita juga harus tahu mengapa hal itu tidak lazim di dalam gereja-gereja Reformasi. Jangan-jangan ada persoalan teologis di belakangnya.

Dalam berbagai ensiklopedia kita bisa temukan penjelasan-penjelasan tentang hal ini. Misalnya rumusan ini:”Aswoensdag is een katholieke kerkgebeurtenis”. Artinya, Rabu Abu adalah peristiwa gerejawi di dalam Gereja Katolik. Ini adalah permulaan dari hari puasa selama 40 hari hingga tibanya Paskah. Di beberapa negara Amerika Latin, Rabu Abu didahului oleh Carnaval. Jadi Rabu Abu tidak hanya begitu saja dilakukan, tetapi ada puasa sebagai ungkapan penyesalan dan dosa. Pengakuan dosa itu dilakukan di hadapan imam atau uskup, mungkin seperti sakramen Pengakuan Dosa (biecht). Kamus itu selanjutnya mengatakan, Rabu Abu “is een dag van boetedoening, waarop een kruisje van as op het voorhoofd krijgen getekend.” (Rabu Abu adalah hari pembayaran denda (harafiahnya) (pengakuan dosa), di mana tanda salib dari abu ditorehkan di dahi seseorang). Abu itu juga bukan sebarang abu, tetapi abu dari dahan palem yang dipakai setahun sebelumnya.

Mengapa abu? Untuk mengingatkan bahwa kita juga lebu tanah, alias fana. Semboyannya: “Momento, homo, quod pulvis est et in pulverem reverteris“. (Renungkanlah, hai manusia, bahwa anda itu dari abu dibuat dan kembali lagi kepada abu). Jadi memang sangat bermakna untuk mengingatkan kefanaan kita.

Tentu saja abu adalah simbol yang lazim di dalam PL dan bahkan dalam tradisi kafir di dunia sekitar Alkitab.Puasa 40 hari itu tidak termasuk hari Minggu di dalamnya. Setiap hari Minggu itu ada nama dan upacaranya. Minggu 1 disebut, Invocabit (Ia memanggil saya), minggu 2 disebut, Reminiscere (pikirkanlah kebelaskasihanmu). Minggu 3 disebut, Oculi (Ogen/mata), Minggu 4 disebut, Laetare (bersukacitalah), minggu 5 disebut, Judica (Siapkanlah bagiku kebenaran/hak), minggu 6, Hari Minggu Palem di mana Yesus memasuki Yerusalem. Dalam Gereja Katolik, ini sangat teratur dan terstruktur secara baik, dan memang tertulis di dalam Hukum Kanonik.

Kita gereja-gereja Reformasi, terkesan hanya Rabu Abunya yang kita ambil, sedangkan puasa dan lain-lain termasuk “bayar denda/pengakuan dosa” tidak dilakukan. Tentu ada persoalan teologis di belakangnya yang membutuhkan diskusi mendalam. Kita terbuka saja untuk melakukan diskusi yang dewasa di mana proses saling belajar terjadi.

Tentang Kamis Putih, rasanya juga jelas. Itulah Perjamuan Terakhir yang dilakukan Yesus dengan para murid-Nya. Di situ sakramen eukharistia didirikan. Kamus itu mengatakan begini: “hij noemt dit brood zijn lichaam, ook wijn rondgaan en noemt hij zijn bloed.” ( Ia namakan roti itu tubuhnya, dan anggur yang diedarkan, darahnya). Saya kira kita tetap berada dalam diskusi yang tidak habis-habisnya, bgmn persisnya memaknai roti dan anggur itu. Apakah tetap roti dan anggur saja atau berubah menjadi sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus? Maka kamus itu meneruskan begini:”De eukharistia is dus meer dan een herinnering; de reddende God komt in Jezus telkens opnieuw onder ons, net zoals toen, en zal dat telkens weer doen” (Eukharistia adalah lebih dari sekadar peringatan; Allah yang menyelamatkan itu selalu datang di antara kita seperti dulu, dan kembali lagi ia lakukan senantiasa). Terkesan tidak ada yang salah dengan pernyataan ini. Tetapi kalau kita ingat debat para Reformator tentang Perjamuan justru persis di poin ini titik-beratnya,  Perjamuan itu sekadar peringatan atau lebih dari itu? Memang diskusi teologis mendalam dibutuhkan di sini. Kita tetap terbuka melakukan itu seperti nampak dalam Dokumen Lima (maksudnya diskusi yang diadakan di Ibukota Peru itu).

Kamus itu selanjutnya menyatakan: “De hele Jezus, met zijn leven, woorden, lijden, dood en verijzenis komt in brood en wijn aanwezig voor de gelovigen” (Yesus, dengan kehidupan, firman, penderitaan, kematian dan kebangkitannya hadir di dalam roti dan anggur bagi orang percaya). Sekali lagi, bukankah ini poin kontroversi dengan para Reformator?

Perjamuan terakhir itu adalah juga penentuan sakramen penabisan imam, menurut tradisi itu. Para Reformator menegaskan bahwa Yesus hanya menetapkan dua sakramen, yaitu Baptisan dan Perjamuan. Hanya dua sakramen ini yang punya dasar Alkitabiah.

Tentang upacara pembasuhan kaki, saya kira bisa saja dilakukan. Tetapi dia tidak hanya “simbol” kerendahan hati, melainkan adalah kerendahan hati itu sendiri yang harus terlihat dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan penjelasan ini saya harap makin jelas mengapa saya katakan kita harus mendalami latarbelakang sebelum diterapkan.

Apakah kita perlu belajar dari denominasi lain? Sudah pasti. Itulah gunanya gerakan oikoumene dan percakapan-percakapan teologis selama ini dilakukan. Kita juga terbuka untuk meninjau doktrin-doktrin kita. Hal itu misalnya telah dilakukan oleh GPM baru-baru ini. Kebetulan saya ikut membantu juga.

Karena itu kalau kita mau menerapkan sesuatu yang selama ini belum menjadi tradisi, kita harus tahu betul seluk-beluknya. Dengan demikian kita terhindar dari kesan sekadar mencantolkan begitu saja di kebiasaan dan/ atau liturgia kita.

Tentang mengulang perbuatan Yesus, sudah pasti dilakukan. Bahwa Ia memberi teladan untuk mengasihi sesama, bahkan yang memusuhi kita sekalipun adalah teladan yang mahal, toh harus dilakukan. Namun ada hal paling mendasar yang tidak bisa diulang yaitu bahwa Dia mengorbankan Diri dengan kesengsaraan dan kematian-Nya bagi penebusan dosa. Pengorbanan, kesengsaraan dan kematian-Nya ini berlaku sekali untuk selama-lamanya (bdk. Ibrani 7:26-27), dan kita hanya mampu berterimakasih atas ANUGERAH besar itu. Selamat Paskah.

(ditulis oleh Pdt. Andreas A. Yewangoe pada laman Facebooknya dan dimuat atas seizin dari penulis)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments